Try new experience
with our app

INSTALL

Amorf part 1: Friendzone 

Tiga

  Nat mengaduk-aduk es buahnya sambil mencari rumput laut kesukaannya. Neira sambil memakan camilan terus memandangi ke arah Patra yang sedang duduk bersama Aira dan teman-temannya yang lain. Saat tatapan mereka bertemu, Neira menundukkan wajahnya yang tersipu malu. Patra yang melihat wajah salah tingkah Neira malah tersenyum, tampak gemas. Semburat merah di pipi Neira tampaknya tidak disadari oleh teman-temannya.
Rocha tampak mengerlingkan matanya, menyapu seluruh kantin. “Eh, ada Aira.” katanya sambil tersenyum saat Aira melambai. “Mukanya Aira bete banget, lho, Nat,” bisiknya pada Nat.
“Terus? Sabodo amat ah!” sahut Nat sambil membuang muka.
 

  Neira mengernyitkan dahi, tumben sekali temannya ini acuh tak acuh pada Aira, teman Nat. “Lo berantem ya, Nat, sama Aira? Kok bisa? Kenapa?” tanya Neira dengan muka penasaran.
Nat mengangkat bahu. “Gak berantem sihh…cuma kesel aja,” jawab Nat sambil menggigit bibir. “Abis... dia rusakin kotak musik gue. Bete, deh, jadinya.”
“Kotak musik elo yang perak itu? Suruh Aira ganti aja,” usul Neira.
“Bukan itu masalahnya… kotak musik itu…” ucapan Nat terputus saat menangkap basah Aira sedang menatapnya. “Mm… mahal.” ucapnya sambil cengengesan sambil mengerlingkan mata, tanda bahwa ia sedang tidak jujur.
“Boong yaa...?” tebak Rocha yang tahu tanda-tana kalau Nat berbohong.
“Eh. Ke kelas yuk. Ada PR akuntansi kan?” ujar Nat sambil beranjak dari tempatnya.
Rocha langsung menepuk jidatnya. “Oh iya!! Duhh… gue lupa!” kata 
Rocha panik.
Neira tersenyum. Seakan mengerti apa yang dipikirkan teman-temannya, ia berkata, “Gue udah selesai, kok. Ada di tas gue. Ntar kalian liat aja.” Neira tersenyum.
“Neira emang baik maksimal! Thanks yap!” kata Nat.
Neira tersenyum. Tiba-tiba, Patra memanggilnya, “Nei. Sini dulu aja, yuk!”
Neira mengangguk dengan wajah malu-malu lalu menghampiri meja Patra. Beberapa teman Patra termasuk Aira seakan sadar diri dan kemudian pergi dari meja itu, membiarkan Patra melangsungkan niatnya.
Nat cengengesan sambil berjalan pergi. “Seru, ya, di-PDKT-in... hihi,” Nat gemas sendiri melihat Neira dan Patra, seakan-akan iri. Rocha hanya tersenyum kecil.
 

***
 

  Di kelas Nat, pelajarannya sedang kosong. Jadi, semua murid bebas mau melakukan apa saja—asal tidak keluar dari kelas. Suasana kelas ramai. Cowok-cowok main game di tablet PC mereka sambil cekikikan dengan seru, sedangkan cewek-ceweknya sibuk main bekel. Emang sih kayaknya aneh banget cewek kelas tiga SMU kok masih suka main bekel, tapi kan bekel itu melatih gerak refleks sekaligus melestarikan permainan tradisional! Begitu alasan mereka. Di sudut kelas, murid-murid pintar sibuk membaca buku setebal lima cm. Sedangkan cewek-cewek girly sibuk membicarakan konser Maroon Five dan boyband Korea yang sebentar lagi akan mengadakan konser di Jakarta. Kayaknya cuma beberapa orang aja yang gak punya kesibukan, contohnya, Reo yang sedang mendengarkan lagu dari iPodnya dengan headset sambil sesekali minum sekaleng soda.
“Hai, Reo!” sapa Nat saat menghampiri Reo. “Boleh duduk di sini?” tanya Nat melirik bangku kosong disebelah Reo.
“Ohh… silakan, Nat.” Reo tersenyum sambil melepaskan headset dari kupingnya.
“Makasih.” Nat duduk disebelah Reo. Ia lalu menyodorkan keripik kentang pada Reo, “Mau?”
Reo menggeleng. “Nggak. Makasih,” tolak Reo halus.
Nat memandang Reo yang minum soda. Mendadak Nat teringat sesuatu dan bertanya dengan lugunya, “Ehh… Reo itu anaknya pemilik sekolah ini ya?”
“Uhuk!” Reo langsung tersedak sodanya dan kemudian batuk-batuk saking kagetnya. Nat menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah karena menanyakan hal itu. “Lo tau dari mana?”
“Denger-denger aja.” Jawab Nat. “Bener?”
Reo mengangguk. “Jangan bilang siapa-siapa.”
Nat cekikikan. “Yee… udah pada tau kali.” ujar Nat. “Pantesan satpam itu takut sama elo, Re.” 
Reo hanya garuk-garuk kepala. Tiba-tiba Neira masuk ke kelas sambil senyum-senyum. “Itu dia si Nei!”
“Natasha!! Sinii!!” panggil Rocha keras.  
“Bentar ya, Re.” ujar Nat lalu menghampiri kedua temannya. 
 

***
 

  Nat sedang mendengarkan curhatan Neira di telepon. Neira terdengar sangat bahagia menceritakan kronologi dia dan Patra bisa jadian di kantin tadi siang. Nat hanya tersenyum, ikut bahagia mendengar keceriaan sahabatnya, sambil memandang langit malam yang mendung, tanpa bintang. Ya, sebenarnya bintang itu tetap ada, hanya tidak kelihatan saja—karena menurut Nat, bintang tidak akan pergi ke mana-mana. 
 

  Nat saat itu ada di atap rumahnya. Kalau siang, atap rumahnya ini jadi tempat buat jemuran. Kalau malem, jadi tempat merenung. Nat bosan. Coba saja ada kotak musiknya, mungkin Nat tidak akan sebosan ini.
 

  “Intinya, gue seneng banget! Natasha... akhirnya gue bisa jadian sama cowok sesempurna Patra! Huwaahh, udah kayak mimpi. Ah, ya udah yaaa, Nat. Gue mau telepon Pika dulu. Night, cantikku…”
“Okay... Good night, Neira...”
 

  Nat tersenyum sembari meletakan handphonenya. Neira sama Patra? Enak banget ya punya pacar. Tapi… entah kenapa Nat gak suka cara Patra menatap matanya, gak tahu kenapa. Matanya sinis, kayaknya Patra menganggap remeh ke Nat. Nat tahu Patra jauh lebih baik darinya. Patra cakep, pinter, anak orang kaya lagi. Tapi Patra harusnya tidak perlu menatap sinis seperti itu kepada Nat. Nat juga kan merasa risih. Sekarang Patra udah jadian sama Neira, apa nggak apa-apa? Nat menepuk-nepuk pipinya, “Naat… lo gak boleh salah sangka duluu…” bisiknya.
Nat terdiam sambil menatap lurus ke arah atap rumah Aira. Masih gelap. Biasanya pada jam yang sama seperti sekarang, Aira sudah pulang latihan futsal. Aira ke mana, ya?

 

  Duh, Aira… seandainya elo tau betapa berharganya kotak musik itu bagi gue. Kotak musik itu adalah kenangan, Ra. Salah satu kenangan gue sama lo. Itu adalah hadiah dari orang yang gue sayangi. Orang yang gue akui sebagai cinta pertama gue. Tapi kayaknya… orang itu gak akan pernah sadar sama perasaan gue. Dasar lo kadang idiot, Ra!

 

  Nat menulis menggunakan spidol berwarna merah muda di buku diary-nya. Nat menggigit bibirnya. Nat agak menyesal ngambek terlalu lama pada Aira, toh, dia juga ternyata sekarang kangen pada sahabatnya itu.
Tiba-tiba, dering hp-nya mengagetkan dan membuyarkan lamunan Nat. “Kenapa lagi, Nei?” sambar Nat mengangkat telepon tersebut.
“Nat… ini Aira…” kata suara di seberang telepon.
Nat jadi malu sendiri, tiba-tiba hatinya berdegup. “Oh…elo. Kenapa?”
“Besok jogging yuk!” ajak Aira ringan. Tanpa beban.
Nat menggembungkan pipinya, Aira ngerasa gak punya salah banget sih, sok nggak berdosa! “Males, ah.” sahutnya pelan.
“Come on, Nat. Besok ‘kan Minggu. Jangan kayak jomblo, dong, lo... hari Minggu gak ke mana-mana.” ajak Aira setengah mengejek, cekikikan. 
Nat menggembungkan pipi. Sepertinya menyenangkan jogging bersama Aira, tapi kan dia lagi ngambek. Gengsi kali. “Emang gue jomblo! Emang kenapa?”
“Ye... Nat masih ngambek ya?” goda Aira.
 “Sok tau lo!”
“Kalo gak ngambek, ngapain Nat ngegembungin pipi gitu? Berarti Nat lagi ngambek kan?”
“Yee… tau dari mana gue lagi ngegembungin pipi. Lo kan gak liat gue.”
“Gue liat elo kok. Gue di belakang elo.”
Nat berbalik. Aira nyengir dengan tampang innocent-nya. Nyebelin. “Ngapain lo ke sini?” tanya Nat sambil menyembunyikan diary-nya.
“Mmm… tadinya sih mau ketemu Tante Irma. Sekalian aja pengen ketemu sama lo. Gue kan kangen sama Nat.”
Nat beranjak dari tempatnya. “Gue ngantuk. Sana pulang…” usir Nat sambil mendorong tubuh Aira pelan.
“Lo ngusir gue?”
“Kalo iya, kenapa?”
“Iya, deh, gue balik. Tapi besok kita jogging bareng ya!”
Nat mendorong tubuh jangkung Aira dengan lebih kuat. “Sana pulang.”

***

  “Sreekk…” tirai dikamar Nat di buka. Cahaya matahari itu masuk dan menyilaukan pandangan Nat. Nat mengerjap-ngerjap lalu mengucek matanya. Seseorang duduk disamping kasur Nat. “Ma… ini kan Minggu. Nat masih mau tidur, ah!” kata Nat manja setengah tak sadar.
“Gue bukan Mama lo. Gue Aira.”
“Ohh… Aira.” Sahut Nat sambil menarik selimutnya. “HAH? AIRA?”

***