Contents
Menjadi Manusia Dewasa
Kabut Pekat Kehidu
Hari ini aku seperti terlahir kembali.
Namaku masih tetap Aisha ghania...bertubuh tinggi kecil,berkulit kuning langsat, wajahnya yang lonjong dengan hidung horizontal, tatapan matannya yang meneduhkan. Bibirnya yang tipis dengan senyumnya yang khas, gaya bicara yang lemah lembut. Berjiwa mandiri dan selalu menebarkan energi positif.
Mungkin kalo orang yang belum mengenalku , mereka akan mengira aku orang yang jutek dan sombong. Entah kenapa bisa seperti demikian. Darimana aku tau hal itu? Tentu saja dari sahabat sahabatku. Mereka bilang, kesan pertama melihatku langsung berasumsi aku orang yang jutex, tapi setelah lama mengenalku, mereka baru bilang nyesel ga bersahabat denganku sejak dulu.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk SMA. Aku bersekolah di SMA negeri 1 dikotaku. Sekolah Favorit yang berstandar nasional. Segala doa dan harapan aku mohonkan kepada Allah swt. Semoga aku menjadi anak yang tangguh dan membanggkan orang tuaku. Aku berharap setelah aku ditempa berbagai macam cobaan yang sangat berat, aku akan menjadi manusia dewasa yang semakin kuat.
Tidak mudah memang menghadapi cobaan hidup yang beruntun, Apalagi disaat usiaku belum genap 15 tahun...Dari mulai aku mendapatkan perlakuan bullying di sekolah dasar, belom lagi ketika aku duduk dibangku smp, saat itu usiaku 14 tahun aku harus dihadapkan pada kenyataan kalo ayahku bangkrut, semua aset dan harta benda harus terjual untuk menutupi utang utang yang menggunung, kami harus mengontrak di rumah yang sempit, belum lagi perangai ayahku yang mulai berubah. Amarahnya yang menjadi, sering mempersalahkan ibuku tanpa sebab, memaki maki aku dengan kata-kata kasar, hingga aku berfikir pendek memutuskan untuk pergi dari rumah. Itu terjadi saat ayahku melontarkan kata kata goblok padaku, hatiku bagai disayat pisau tajam, sakit rasanya, aku pergi meninnggalkan rumah menuju rumah nenekku...aku peluk nenekku erat, air mataku jatuh tak tertahankan. Saat itu aku butuh sosok ayah kandungku...
Aku bukanlah anak yang cengeng dan lemah, segera kuusap air mataku, ku ceritakan semua kejadian yang ku alami, nenekku menghela nafas panjang, sambil mengelus rambutku..” sabar sayang,..ayahmu sedang banyak fikiran dan ujian, jangan dimasukan dalam hati ya..nanti nenek bicara sama ibumu, coba kamu fikir? Bukankah ayahmu sekarang adalah ayah sambung yang baik, bertanggung jawab, selalu memperhatikan semua yang aish butuhkan, materi dan kasih sayang? Jadi maafkanlah ayahmu, lapangkan lah hatimu nak..jangan memelihara kebencian dan dendam nak...” kata kata itulah yang membuatku menyadari, betapa Allah sangat menyayangiku, memberiku cobaan yang selalu berakhir dengan hikmah dan membuatku tak henti belajar ilmu membersihkan hati.
Ujian hidupku masih berlanjut, lambat laun aku mulai belajar menerima cobaan demi cobaan. Meski menyakitkan,tapi aku selalu berusaha tidak memberi celah kepada syaetan untuk berbisik. Aku tidak mau menjadi anak yang kurang bersyukur dan banyak mengeluh.
Kesulitan ekonomi yang membelit, akhirnya ibuku memutuskan untuk membantu mencari nafkah, sekedar untuk menyambung hidup. Tapi itu tidak membuat ayahku berhenti bersikap kasar, baik secara verbal maupun non verbal, ayahku seperti tidak mensyukuri nikmat. Ayahku seperti bukan ayahku.
Aku rindu suasana rumahku yang dulu, sangat hangat dan harmonis. Ada sebagian sodara ayahku yang mengatakan, sepertinya ayahku menderita gejala depresi, aku tidak tau benar atau tidaknya. Aku sering mengenal istilah depresi tapi entahlah jenis penyakit apa itu aku ga tau. Yang pasti Itulah kenyataan yang harus kami terima. Sesekali aku melihat ibuku menitikkan air mata. Tapi ibu tidak pernah berkeluh kesah kepada kami anak-anaknya. Yang aku tau, ibu sering menangis ketika salat tahajud di sepertiga malam terakhir.
Beberapa tahun yang lalu, ketika aku masuk MTsN, aku merasa disitulah masa-masa indahku di sekolah . Saat duduk di kelas satu, aku dikelilingi kelima sahabatku yang selalu ada dalam suka maupun duka. Almira, Yuli, Ikbal, Amin dan Rio. Menginjak kelas 2, aku mulai mencintai seseorang dan merasa hidupku sangat sempurna, tapi saat itulah badai menyelimuti keluargaku. Menginjak kelas 3, semua badaipun hampir berlalu.
Menginjak kelas dua MTsn...kami berenam terpisah kelas. Aku, Rio dan Ikbal masuk ke kelas ungggulan. Sedangkan Yuli, Almira dan Amin dikelas yang berbeda. Meskipun demikian kami masih tetap dekat satu sama lain, bertegur sapa, nonton sepakbola atau jogging sama sama. Ternyata Maulida juga satu kelas denganku, aku senang berteman dengannya, dia juga cantik dan baik hati.
Masih teringat di memori pikiranku saat masih kelas satu, maulida sering menghampiri kami, ngobrol bersama sambil melirik memastikan dimana rio berada.
Saat itulah, Aku mulai menyukai lawan jenis. Orang biasa menyebutnya dengan istilah cinta monyet. Yups! Aku menyukai Rio sahabatku, tak ada satupun sahabatku yang tau termasuk Maulida, tak pernah terbersit dalam pikirnku kalo aku akan menyukai Rio, aku selalu berusaha menahan diri untuk tidak menunjukan perasaanku pada Rio. Apalagi sejak Amin menyatakan perasaannya dimomen kenaikan kelas waktu, aku merasa Rio seperti membuat jarak denganku. Dia lebih sering menemani Maulida ngobrol atau bermain di lapang basket.
Aku tidak mau kegeeran. Meskipun membuat jarak, tapi Rio selalu perhatian padaku, bahkan sejak kami sama sama duduk dibangku sd. Tapi tetap saja, aku ga mau kegeeran!. Aku memendam perasaan itu dalam dalam, hanya aku dan Tuhan saja yang tau.
Hari-hariku selalu penuh warna..aku selalu betah berlama lama di depan cermin, atau tiba tiba tersenyum saat mengingat tingkah konyol Rio padaku. Aku juga sering mendapati Rio yang curi-curi pandang saat belajar di kelas. Dia tidak pernah mengatakan bagaimana suasana hati dan perasaannya padaku, hanya saja semua tingkah lakunya menunjukan kalo dia sangat perhatian padaku. Saat itu, aku sering salah tingkah tatkala Maulida selalu belajar bersamanya diperpustakaan. Di kelas dua ini juga..aku mulai menunjukan prestasiku. Aku dan Ikbal terpilih sebagai salah satu peserta seleksi olimpiade biologi dan matematika tingkat kabupaten. Dan kami berdua lolos seleksi, Aku terpilih sebagai peserta olimpiade biologi tingkat kabupaten sedangkan ikbal untuk mata pelajaran matematika.
Kami berdua digembleng intensif oleh guru pembimbing masing-masing. Latihan soal yang sudah dikerjakan sebanyak ratusan, sampai aku pernah tak sengaja tertidur di ruang bimbingan. Untung saja guru pembimbing baik ssekali. Aku dibiarkan tertidur sampai aku terbangun sendiri. Ketika terbangun aku melihat ada Rio di sebelahku, dia bilang sengaja mau menemani aku bimbingan tapi aku malah tidur.
Tuh kaaan, bikin aku terbawa perasaan aja.
Tiba waktunya olimpiade itu dilaksanakan, aku dan ikbal menuju sekolah di pagi-pagi buta. Ayahku mengantar sampai pagar sekolah. Kami berkumpul dan berdoa sebelum berangkat. Diperjalanan kami berhenti sebentar untuk sarapan. Selesai sarapan kami melanjutkan perjalanan, masing-masing peserta didampingi oleh guru pembimbing masing-masing. Total peserta olimpiade ini ada 3 orang.. Aku untuk mata pelajaran biologi,ikbal untuk matematika, Nurjannah untuk pelajaran fisika.
Tak ada yang tau suasana hatiku saat itu. Saat seleksi olimpiade minggu lalu..maka saat itu juga aku tau kalo ayahku jatuh bangkrut. Alasan persisnya aku tidak tahu kenapa, karena kami anak-anaknya tidak membiasakan diri untuk lancang bertanya. Aku hanya tau sedikit sedikit saja dari obrolan ayah dan ibuku. Itupun aku ketahui saat mereka mengobrol di malam hari. Mungkin beliau berdua mengira kalo aku dan adikku sudah tertidur lelap, padahal saat itu aku sedang mengerjakan sisa soal-soal untuk olimpiade.
Sayup- sayup aku mendengarkan tangisan ibuku yang seperti tertahan, takut diantara kami ada yang bangun barangkali. Perlahan aku berjalan ke arah pintu kamar, berusaha mendengarkan dengan seksama, apa yang sebenarnya terjadi. Aku tempelkan telingaku di daun pintu sampai aku yakin apa yg beliau berdua bicarakan. Shock dan kaget! Itu yang aku rasakan saat itu
Bagaimana tidak! Aku mendengar kalo ayah baru saja bangkrut, ditipu oleh orang kepercayaannya. Tak tanggung- tanggung, kerugian yang di derita ayahku berjumlah ratusan juta rupiah. Innalillaahi wa innailaihi rojiuun...itulah kata pertama yang terucap dari bibir ibuku tercinta. Dadaku terasa sesak, kakiku mulai gemetar, rasanya seperti bermimpi medengar penuturan ayahku. Semua harta benda yang kami miliki, rumah, mobil, tanah semua harus dijual. Itupun belum mencukupi untuk menutup semua kerugian dan utang. Aku terkulai lemas, terduduk di balik pintu...mataku mulai terasa panas, ku tahan air mataku sambil ku gigit bibirku. Tapi tak sanggup rasanya...aku menangis dibalik pintu kamar. Sampai waktu shubuh tiba aku masih terjaga.
Olimpiade ini dilaksanakan di salah satu MTsN kabupaten kota. Kami menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Sesampainya di tempat, kami berdoa bersama. Masih ada waktu tersisa satu jam, sebelum olimpiade ini dimulai. Aku Ikbal dan Nurjanah kembali belajar sambil memantapkan hati dan fikiran. Hingga waktunya tiba, kami masuk ke ruangan masingmasing sesuai mata pelajaran.
Sesekali terlintas dalam pikiranku, musibah ynag menimpa perusahaan ayahku. Tapi dalam sekejap aku hapus lamunan itu. Aku harus fokus disini, mengemban amanah sekolah untuk berkompetisi. Aku harus memberikan yang terbaik untuk sekolah, sekaligus menghibur kedua orang tuaku.
\tSyukur \talhamdulillaah, \taku \tdimudahkan \tdalam mengerjakan semua soal soal. Tapi aku tidak mau takabur dan mendahului ketentuan Allah. Bagaimanapun aku harus menyiapkan mental kalo saja aku kalah. Begitulah cara Allah mengasihani umatnya, dibalik kesulitan selalu ada kemudahan dan dibalik musibah selalu tersimpan hikmah.
\tSelepas istirahat sholat dzuhur, kami lanjutkan dengan makan \tsiang \tbersama. \tMenurut \tpanitia \tolimpiade, pengumuman juara olimpiade ini akan diumumkan pukul satu siang. Jadi kami masih punya banyak waktu untuk makan siang.
Setelah makan siang, kami kembali ke lapangan sekolah, hampir semua peserta dan pembimbing tumpah ruah disini. Satu persatu kategori diumumkan..hingga tiba saatnya pemenang olimpiade biologi tingkat mtsn sekabupaten. sebenarnya aku sudah tidak berharap, karena ketika pengumuman juara satu dan dua tadi, tidak ada namaku disebut...Aku merasa menjadi peringkat satu sekabupaten adalah sesuatu yang tidak aku targetkan, mengingat saingan sainganku yg cukup berat.
Ternyata diperingkat satu adalah aku. Aisha Ghania. Sebanyak tiga kali nama itu disebut..semua peserta menoleh sepert mencari cari yang manakah gerangan pemilik nama itu. akupun masih tetap belum yakin, aku masih menoleh kanan kiri, karena siapa tau ada peserta yang memiliki nama yang sama denganku.
Aku baru merasa yakin, ketika nama sekolah asalku disebut dan semua guru pembimbing dari sekolah menghampiriku...tepuk tangan menggema, ucapan selamat dari guru-guru pembimbing yang turut serta, pelukan hangat dari ibu guru pembimbingku. Aku terharu dan bahagia. Ikbal dan Nurjanah menjabat tanganku mengucapkan selamat. Selanjutnya aku berhak mengikuti kompetisi tingkat Provinsi. Kemenanagan ini membuatku menjadi optimis dan termotivasi untuk terus mengasah kemampuan diri dan tidak larut dalam kesedihan
Ditingkat propinsi aku masuk peringkat 11 dari 27 kabupaten, sungguh diluar dugaan...
Berita kemenanganku pun tersebar ke seantero kota, aku diwawancarai oleh salah satu tabloid dan radio lokal. Mendadak aku menjadi seperti seorang artis yang dikenal banyak orang. Semua sahabatku mengucapkan selamat.
\tSayangnya semua prestasi yang aku torehkan di sekolah tidak selaras dengan keadaan keluargaku yang sedang terpuruk. Meskipun dalam kondisi terpuruk tetap saja Kemenanganku disambut hangat oleh ayah dan ibuku.
Setelah bangkrut dan semua harta benda kami terjual, keluargaku mengontrak sebuah rumah kecil, dengan satu ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 ruang keluarga yang tidak terlalu luas, serta dapur yang sempit, dan satu kamar mandi. Tidak ada lagi kendaraan pribadi yang mengantarkan aku dan adik adiku sekolah. Aku hanya mengandalkan angkutan umum saja, sedangkan adikku memakai jasa abang beca tetanggaku.
Hari hari yang ku lalui terasa muram, kabut tebal seperti enggan menjauh dari kami. Aku merasa kehangatan keluargaku mulai pudar, pertengakaran kecil hingga pertengkaran besar mulai sering terjadi, Kasian adik adiku, mereka selalu duduk dipojok kamarku ketika mendengarkan pertengkaran hebat ayah dan ibuku. Aku tidak tahu asal muasal kenapa beliau menjadi seperti ini. Sebelum ini ibuku selalu sabar jika ayahku tiba-tiba marah besar. Tapi entahlah.
Aku harus tetap kuat dan tegar, aku tidak mau terpuruk seperti ayah dan ibuku. Aku tau beban berat yang dirasakan ayahku. Bagaimanapun bengkel ayahku adalah perusahaan yang ia bangun susah payah. Beliau bangun dari nol...jatuh dan jatuh lagi, bangun lagi dan jatuh lagi. Hingga perusahaan itu menjadi benar- benar kokoh.
Tapi begitulah kehidupan manusia, selalu ada pasang surut, ibuku pernah bercerita, kalo ayahku adalah orang yang sangat baik, selalu berbaik sangka kepada siapapun. Namun kebaikannya itu pula yang dimanfaatkan oleh kompetitor bisnisnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, perusahaan yang sudah kokoh itu ambruk berkeping keping, hanya menyisakan puing - puingnya saja.
\tIbu selalu mengingatkan kami agar jangan putus mendoakan ayah, supaya kuat menghadapi cobaan ini..Tugasku adalah membesarkan hati adik-adiku, karena mereka belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
Sebelum Ayahku berubah sikapnya, beliau pernah berkata padaku... sambil mengusap kepala kami bertiga...” maafkan ayah yah nak, ayah benar benar ceroboh, tapi inilah yang terjadi, seorang pengusaha harus siap dengan berbagai kemungkinan, bisa naik setinggi -tingginya atau jatuh sejatuh jatuhnya, jangan lupa selalu doakan ayah”. Itulah kata kata terakhir ayahku , ayah yang selalu bijaksana dalam mengambil keputusan.
Sampai akhirnya Semua berubah begitu mudah, ayahku menjadi pemarah, selalu pesimis, menganggap kami yang ada di rumah sebagai makhluk yang tak berguna. Hanya kepada ibuku dan aku, ayah begitu bermuram durja, untungnya tidak kepada kedua adikku. Pagi hari ayahku pergi entah kemana, malam harinya baru pulang..kadang langsung marah marah apabila tidak tersaji makanan lezat. Saat ini bagi kami apapun yang tersaji dimeja makan, itulah yang selalu kami syukuri. Dengan kondisi yang demikian rumit, aku selalu ingat akan tugas belajarku, membimbing adik adiku mengerjakan pr. Aku harus tegar dan kuat, meskipun usiaku masih terbilang sangat muda, tapi semangat hidupku tidak pernah padam, aku tidak mau menyerah dengan keadaan.
Disekolah juga aku tidak pernah bersikap murung atau bersedih. Aku tidak mau sahabat -sahabatku tau apa yang kualami. Sempat mereka bertanya kenapa aku pindah rumah.
“ Ai...kamu pindah rumah ya?” tanya ikbal.
“ iya..” jawabku singkat.
“ kenapa ,,jadi jauh dong ke sekolah?” kata Almira.
“ ada sesuatu yang terjadi di keluargaku, tapi maaf aku ga bisa cerita ke kalian”.
“ oke Ai...kalo kamu butuhkan, kapanpun ,,kita siap bantu kamu ko!’’ . Begitulah sahabatku selalu menguatkan, tanpa harus mengetahui persoalan internal keluargaku.
Akhir akhir ini ibuku sering menagis sendiri di kamar, terkadang marah juga tanpa sebab. Belakangan aku baru tau kalo ibu memendam amarah yang sangat besar kepada ayah, ibuku lebih sering diam tanpa bicara, hanya sesekali mengingatkan kami supaya jangan lupa sholat 5 waktu. Rutinitasnya masih seperti biasa, berjualan kue keliling kampung. Dengan berapapun pendapatan ibu , kami selalu bersyukur kepada sang pemberi hidup. Sedangkan ayahku, masih seperti orang bingung, entahlah....semakin hari ayahku semakin jauh dari agama. Kami hanya berdoa semoga ayah kembali ke jalan yang benar. Kembali menjadi ayah yang hangat dan bertanggung jawab.
Setiap malam, selesai belajar dan adikku sudah tidur, aku selalu menemani ibuku, menghiburnya dan memberinya semangat hidup. Sambil mempersiapkan kue-kue yang akan dijual esok. Wajahnya yang lusuh, tidak secantik dulu...aku merasa ketegarannya sudah hampir terkikis habis, hampir setiap hari beliau menangis, meskipun berusaha menyembunyikan dari kami anak-anaknya.
“ Semua manusia selalu merasa dirinya beriman, ketika dianugrahi harta dan kebahagiaan, padahal iman yang sesungguhnya adalah bagaimana kita berbaik sangka kepada sang Khalik, ketika semua yang kita miliki Allah ambil kembali. Harta, jabatan, anak, kesehatan...lalu apa yang kita akan lakukan? Bersabar atau berkeluh kesah? Jika kita bersabar dan terus berikhtiar maka itulah iman yang sesungguhnya “. Itu yang sering ibu ucapkan kepada kami bertiga. Aku menghampiri beliau yang tengah duduk diujung tempat tidur.“ dulu sewaktu aku dibully sampai jam tanganku remuk, ibu membesarkan hatiku dengan nasehat itu, ibu masih ingat ?’ aku sandarkan kepalaku di pundak ibuku.
Ibu tidak menjawab, hanya air mata yang menetes dipipinya saja yang menggambarkan suasana hatinya.
“ ibu mau berbagi cerita denganku?”.
“ tidurlah nak, sudah malam” .
“ mungkin beban fikiran ibu akan berkurang kalo ibu bercerita padaku “.
“ ibu baik-baik saja nak”.
“ tidak! Ibu tidak baik- baik saja “.
“ tidak semua permasalahan orang tua harus kamu ketahui nak, belajarlah dengan tekun, jaga ade ade mu nak”.
“ iya bu, kapanpun ibu akan bercerita, aku selalu bersedia mendengarkan”.
Ibu mengagguk perlahan...
Begitulah ibuku bersikap, selalu berusaha menutup rapat papun yang terjadi. Entah karena kasihan padaku atau takut ayahku mendengar obrolan kami.
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa kenikan kelas sudah tinggal beberapa hari saja. sebentar lagi aku menjadi murid kelas 3, atau menjadi kakak kelas paling senior.
Sore itu sepulang sekolah, aku mendapati rumah kontrakanku sudah berantakan, pecahan kaca dimana mana, kedua adik dan ibuku bersembunyi di rumah tetangga. Aku hampir masuk ke dalam rumah, untung saja tetanggaku secepat kilat menarik tanganku.
Aku berlari memeluk ibuku dan kedua adiku. Apa yang terjadi?, ibuku hanya diam dengan tatapan mata kosong, kedua adiku menangis..Aku mendekati bu Esih sang pemilik rumah, aku berusaha mencari tau kejadian apa yg membuat semuanya seperti ini.
“ neng Aisha yang sabar ya” kata bu Esih.
Aku menatap mata bu Esih dalam dalam, aku memohon kepada beliau untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi . Bu Esih terdiam sesaat, mungkin beliau bingung...tak lama kemudian beliau menganggukan kepala... Akhirnya beliau mengajakku ke ruang makan.
“ neng... ibu mau ceritakan semuanya, tapi neng harus berjanji sama ibu, untuk tetap tegar dan kuat menghadapi cobaan ini”. “ Ibu, saya sudah terbiasa dengan cobaan apapun, saya janji bu” ucapku penuh harap.
“ tadi siang, ada tamu ke rumah eneng, seorang perempuan ”.
“ siapa bu, apa mungkin tante saya?” aku memotong pembicaraan.
“ dengarkan ibu dulu sampe selesai yah..”
“ oh maaf bu...saya tidak sopan memotong pembicaraan”.
“ gapapa neng... perempuan itu mengaku istrinya ayah neng “.
“ maksud ibu, ayahku nikah lagi?”.
“ sepertinya begitu neng”.
“ lalu pecahan kaca itu kenapa bu?”.
“ terjadi pertengkaran hebat neng, ibu tidak tau persisnya seperti apa, ibu hanya mendengar suara kaca pecah dan suara jeritan anak- anak.”
“ apa ayah ada di rumah?”.
“ ayah neng dibawa ke puskesmas, tadi pingsan terkena benturan,belum tau apa yang terjadi sebenarnya, karena tadi waktu kejadian zaki dan neng zian lagi main... terus mamah neng belom bisa ditanya’
“ lalu perempuan itu pergi kemana? “.
“ tadi sih dibawa pa rt mau dimintai keterangan katanya” ..begitu bu Esih menutup penjelasannya.
“ sekarang eneng ke puskesmas dulu sama suami ibu...untuk memastikan keadaan ayah eneng, ibu dan adik- adik biar disini saja dulu.”
“ baik bu...maaf merepotkan ibu sekeluarga”.
“ tidak apa apa neng, sesama tetangga harus saling tolong menolong”...
Aku dan pa Yasin, suami bu Esih... pergi ke puskesmas. Kami mengendarai sepeda motor milik beliau. Sore itu cuaca sedikit mendung, sepertnya akan turun hujan.
Dan benar saja, sesampainya diparkiran puskesmas, hujan turun....aku dan pa Yasin berjalan menuju pintu masuk.
“ ada yang bisa saya bantu pa?” Salah satu perawat jaga menyapa kami dengan sopan.
“ sus saya mencari ayah saya, namanya Irman Sofyan?” aku menjawab
“ oooh pak Irman yang dari desa Tanjungjati?”.
“ betul sus..” giliran pak Yasin yang menjawab. Kemudian perawat itu menunjukan arah dimana aku bisa temui ayahku.
Aku melihat ayahku terbaring lemas, beliau di temani tetanggaku yang lain. Sungguh terharu dengan kebaikan tetanggaku semuanya, tak lupa aku ucapkan terima kasih kepada semua yang sudah dengan ikhlas menolong kami.
Ayah menatapku denagn pandangan mata yang sayu sambil mengernyitkan kening, sepertinya masih terlihat pusing dan lemas. Sebentar saja ayah dan pak Yasin bertegur sapa, setelah itu pa Yasin dan tetanggaku yang satu lagi menunggu diluar, hanya tinggal aku dan ayahku saja di sal ini. Aku terdiam di tepi ranjang. Perasaanku campur aduk, antara sedih dan kesal mengingat cerita dari bu esih, jengkel karena penghianatan yang beliau lakukan kepada ibuku.
Sepertinya ayahku tau yang sedang aku pikirkan..... “ geugeu.. ibumu bagaimana?” tanya ayahku. “ ibu dan adik adik ada di rumah bu Esih yah”.
“ maksud ayah keadaannya bagaimana?”.
“ belum bisa ditanya apa apa, Cuma diam”.
“ maafkan ayah Geu..., semua karena kesalahan ayah, ayah janji akan memperbaiki semuanya, kata dokter, ayah sudah bisa pulang, hanya menunggu cairan infus ini habis saja. Hasil foto rontgen juga baik baik saja.”. Aku hanya mengangguk saja, tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.
Menjelang adzan magrib kami sudah tiba di rumah. Sore tadi rumahku masih sangat berantakan, sekarang sudah rapi kembali, kata bu esih.. tetanggaku bergotong royong membersihkan sampe benar benar rapi, kecuali kaca- kaca jendela yang masih harus diperbaiki. Aku melihat ibu tertidur dikamarnya.
Badannya demam tinggi. Ayahku mengompres dan menungguinya sepanjang malam. Malam berlalu terasa begitu lama. Kata ayah besok pagi ayah mau bawa ibu ke dokter. Setelah ibu tertidur, ayah mengajakku ngobrol.
“ Geugeu, maafkan ayah.”
“ sebenarnya apa yang terjadi yah, sampai ibu jadi seperti ini, Geugeu takut terjadi apa apa sama ibu “.
“ ayah akan mempertanggung jawabkan semuanya, ayah pastikan ibu akan sehat kembali seperti sediakala “
“ kenapa ayah tega menghianati ibu? “.
“ siapa yang bilang begitu Geu?...bukankah ibu belum bicara apapun?”.
“ ibu Esih yang mengatakan kalo ada seorang wanita yang datang ke rumah, sebelum akhirnya terdengar keributan hebat dan ayah jatuh pingsan. “
“ baiklah, ayah akan menceritakan semuanya, sebenarnya kamu belum cukup usia untuk memahami yang dialami orang dewasa. Tapi ayah merasa harus menyampaikan ini, sebelum kamu menafsirkan atau mendapatkan informasi yang tidak real.”
“ aku sudah siap mendengarkan semuanya yah “.
“ bu Esih benar, ada seorang perempuan datang ke rumah. Dia adalah mantan istri ayah. Namanya Elis Wahyuni. Sebenarnya ayah mempunyai anak dari pernikahan kami, satu anak laki-laki, kalo ada mungkin sudah seusiamu. “
“ jadi selama ini ayah berbohong sama ibu, kata ibu ..ayah seorang duda tapi tidak memiliki anak. “
“ benar, ayah berbohong... itu ayah lakukan karena ayah tidak mau membuka luka lama, ayah ingin membuka lembaran baru dengan ibumu tanpa dihantui masa lalu. “
“ Lalu dimana anak ayah sekarang ?”.
“ setelah kami bercerai, Elis membawa serta anak kami, entah pergi kemana.. ayah tidak tau. Bertahun tahun ayah mencari kesana kemari, tapi sama sekali tak ada petunjuk dimana Elis dan putra ayah berada. “
“ kenapa bu Elis tidak memberitahukan keadaan anak ayah.?”
“ mungkin dia malu “
“ kenapa harus malu yah, bukankah ayah berkewajiban menafkahi “.
“ dulu, Elis selingkuh dengan bekas pacarnya. Dia ngotot ingin bercerai, tapi ayah tidak mau karena ada seorang anak yang akan jadi korban. Ayah berusaha memaafkan kesalahannya dan menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Tapi rupanya godaan syetan sudah menguasai dirinya, dia kabur dengan lelaki itu. “
“ dengan membawa anak ayah?” sebelum menjawab pertanyaanku, ayah menarik nafas panjang.
“ iya... mereka pergi entah kemana, tak ada jejak sama sekali. Tapi dua tahun yang lalu tanpa sengaja ayah bertemu Elis di sebuah rumah sakit di Bandung. Dia sedang check up. Sudah lama dia menderita maag kronis. Dia menangis dan bersimpuh dikaki ayah, meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah dia lakukan. “
“ siapa nama anak ayah, umurnya berapa sewaktu ayah bercerai dengan bu Elis? “
“ Ardio radita Sofyan, umur 2 tahun “.
“ Ayah sudah memaafkan bu Elis? “.
“ sudah...dan inilah awal malapetaka itu geu...berawal dari Elis yang menceritakan semua kejadian pelarian itu, ayah seperti lupa kalo dulu dia berkhianat dan pergi dengan lelaki lain. Ayah menjadi iba dan tiba tiba, rasa sayang ayah terhadapnya muncul kembali. Ayah tergoda dengan bujuk rayu syetan untuk menikahi dia lagi. “
“ lalu ayah tega mengkhianati ibu ?” air mataku mulai jatuh, aku seperti merasakan apa yang ibu rasakan. Tapi aku segera menghapus air mataku sebelum ayah melihatnya. Aku tidak ingin ayah berhenti bercerita hanya karena melihat aku menangis.
“ iya, ayah benar benar merasa bersalah. Ayah tidak mungkin jujur pada ibumu kalau ayah bermaksud menikah lagi. Ayah berusaha menyimpan rapat rahasia ini. Tapi Allah Maha Adil, semua aib yang ayah rahasiakan, kemarin Allah tampakkan dengan kekuasaanNya. “
“ jadi ibu baru tau semua ini kemarin? “
“ Sebetulnya ibumu sudah punya kecurigaan sejak 5 bulan yang lalu, tapi itulah keistimewaan ibumu, dia tidak pernah menampakkan kesedihan di depan kita semua. Sampai puncaknya hari kemarin, ibumu sangat terpukul. Sebelumnya ayah sudah berkomitmen dengan Elis untuk menjaga privasi keluarga masing masing. Tapi Elis merasa khawatir karena belakangan ini ayah tidak memberi kabar. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui ayah dirumah. Dan ibumu marah besar,merusak semua perabotan, amarahnya semakin menjadi, dia mengambil meja kecil ziana, hendak memukul Elis tapi ayah melerai dan akhirnya pukulan itu mengenai kepala ayah. Setelah itu ayah tidak tau karena ayah pingsan, kata pak Rt Elis sudah pulang setelah dimintai keterangan. Begitulah yang terjadi kemarin sore. Sejak kebangkrutan yang ayah alami, ayah merasa bingung harus bertindak memulai darimana.”
“ selama ini ayah sering pergi pagi pulang malam, kemana ayah pergi, apakah ke rumah bu Elis? “
“ Tidak, ayah pergi setiap hari tanpa tujuan yang pasti, seharusnya ayah menyikapi semua ini dengan cara mendekatkan diri kepada Allah swt, berkontemplasi. Begitulah manusia selalu kufur nikmat.”
“ Sekarang bagaimana keadaan Dio yah? “
Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan kenapa ayah rujuk sama Elis. Ternyata lelaki yang dulu berjanji menikahi Elis, dia hanyalah pembual. Dia memeras semua harta Elis sampai terkuras habis. Dengan perasaan bingung dan tak menentu Elis memutuskan untuk bekerja menjadi TKW di Hongkong. Tapi ia bingung dengan keadaan Dio. Dia tidak mungkin mencari ayah karena malu, juga tidak mau kembali ke orang tuanya, karena orang tuanya marah besar sejak Elis meninggalkan ayah. Akhirnya ia berniat menitipkan Dio kepada sahabatnya Sofiatun. Tapi Sofiatun ingin mengadopsi Dio secara resmi. Karena Elis merasa Sofi adalah orang yang tepat untuk merawat Dio akhirnya Elis mengizinkan Sofi mengadopsi Dio. Sofi selalu memberi kabar kepada Elis tentang Dio, Sofi adalah orang yang tepat menurut Elis, selain dia religius dia juga seorang Dosen, itu terbukti dengan bertumbuhnya Dio menjadi anak yang Cerdas dan berkarakter, karena itulah Elis merasa berhutang budi kepada Sofi, Akhirnya Elis memutuskan untuk tidak mengganggu kehidupan Dio dengan keluarga barunya. “
“ ayah tidak ingin bertemu Dio?”.
“ tentu saja ayah ingin bertemu, Elis sudah berjanji pada Sofi untuk tidak mengganggu Dio. Tapi Sofi adalah orang yang tau ilmu agama dia selalu berbaik hati, dia memperkenalkan Elis sebagai tante nya. Menurut Sofi nanti bila sudah waktunya, Sofie akan menjelaskan yang sebenarnya kepada Dio.”
“ dimana Dio sekarang yah? “
“ Elis tidak memberi tau, yang pasti nanti setelah Dio berusia 18 tahun Sofi akan mempertemukan Ayah dengan Dio. Semoga bisa terwujud, Ayah ingin menebus semua kesalahan ayah kepada kalian, Geugeu, Dio, Zaki, dan Ziana, maafkan atas kekhilafan ayah yang sudah menyakiti hati kalian, ayah berjanji akan menebus semua kesalahan yang sudah ayah lakukan selama ini”
“ bagaimana ayah akan menceritakan ini ke ibu? “
“ tidak akan sekarang, mungkin nanti, kalau ibumu sudah benar benar kuat. sudah malam Geu..., tidurlah nak, ayah akan menemani ibumu sampai besok pagi”
“ boleh geugeu tanya satu hal? “.
“ kenapa ?”.
“ Bagaimana jika ibu minta ayah untuk memilih, siapa yang akan ayah pilih ?”
“ Ibumu.., selama hidup bersama ayah, dia sudah banyak berkorban tanpa mengharapkan balasan apapun dari ayah, tidak pernah menghianati ayah. Dia curahkan seluruh hidupnya untuk suami dan anak anaknya.”
Kami mengakhiri obrolan malam ini karena malam semakin larut. Aku merasa langkah kakiku tak berpijak mendengar cerita ayah. Bagaimana masa lalu ayah yang pedih, kehidupan ibu yang menyakitkan karena pengkhianatan ayah, nasib kami anak anaknya, aku Dio dan si kembar.
Pagi harinya, aku bangun sebelum shubuh..dengan sigap akau ambil alih semua tugas ibuku. Mencuci piring, mengepel, menyiapkan sarapan, menyiapkan perlengkapan sekolah dan bekal untuk si kembar.
Sejak hari itulah, aku merasakan betapa beratnya tugas seorang ibu.cape dan lelah itu pasti. Tapi ibu tidak pernah mengeluh. Beliau sesalu ikhlas membersamai ayah dalam setiap lika liku dan maju mundurnya kehidupan berumah tangga. Begitu juga dengan ayahku, selalu tau cara membahagiakan isrtinya. Tapi kebersamaan ayah dan ibu sedang benat benar diuji. Mulai dari kebangkrutan,keterpurukan dan kemiskinan semua adalah ujian yang Allah limpahkan kepada kami sebagai tanda kasih sayangNya. Dan kini, ujian itu tengah benar-benar dipuncaknya. Ibuku didiagnosa mengalami penyakit gangguan kejiwaan, aku lupa nama penyakitnya apa..hanya sedikit yang kuingat, kalo ga salah sejenis bipolar, rekam medik lengkapnya aku benar benar lupa. Ibuku sering bicara sendiri, tertawa sendiri, ataw mengungkap cerita pilu masa lalunya. Tapi sesekali ia sadar dan normal. Beliau masih ingat denganku dan adik adikku. Dokter menyarankan agar ibuku segera mendapatkan treatment kejiwaan di poli jiwa.
Ayahku berusaha keras mencari pinjaman kesana kesini. Selain untuk biaya pengobatan ibuku, juga untuk memenuhi kebutuhan kami di rumah. Semakin hari kondisi keuangan kami semakin kritis. Seperti janji Allah kepada setiap umatnya yang mau bersabar menghadapi cobaan.Akhirnya ada salah satu sahabat ayahku yang berbaik hati dan merasa iba. Beliau bersedia meminjamkan sejumlah uang untuk mengcover semua pengobatan ibuku sampai sembuh. Setelah semuanya dipersiapkan, dokter memberikan surat pengantar tertanggal besok pagi sebagai syarat pemeriksaan di poli yang dituju.
Ada hal yang membuat kami bingung, bagaimana teknis membawa ibuku kesana?. Kalo ibu tau tentang terapy di poli jiwa pasti beliau akan ngamuk ngamuk lagi, merusak semua yang ada dirumah. Akhirnya tante Wita menyarankan untuk memberi ibuku sejenis obat tidur yang aman untuk di dikonsumsi, agar ketika berangkat ke rumah sakit ibu dalam keadaan tertidur, tanteku adalah satu satunya adik ibuku yang ikut mengantar ibu ke poli jiwa, karena nenekku sedang jatuh sakit. keluarga ayahku juga semua berada jauh diluar kota dan luar Provinsi..
Malam ini aku persiapkan semua keperluan ibu untuk besok. Ayah menitipkan kedua adikku kepada bu Esih. Karena aku akan ikut mengantar ibu ke rumah sakit. Dikota tempat tinggalku ini belum ada rumah sakit besar, hanya ada puskesmas tapi juga dengan pelayanan rawat inap. Rumah sakit besar hanya ada dikota lain yang berjarak kurang lebih 60 km.
Hari ini adalah hari kenaikan kelas disekolahku. Dan untuk pertama kalinya aku tidak hadir. Kami siap berangkat menuju rumah sakit pukul 7 pagi. Ibuku masih tertidur lelap di kursi tamu setelah tadi diberiobat tidur seusai shubuh, ayah dan pak sopir yang membopong ibu menuju ke mobil. Ibu ditidurkan di bangku tengah . Dibangku depan ada ayah dan sopir. Aku dan tanteku mengapit ibuku di sisi samping kiri dan kanan. Dengan mengucap bismillaah kami berangkat. Tapi kami akan berhenti sejenak di sekolahku. Tepat digerbang sekolah aku turun, aku menghampiri wali kelasku di ruang guru, sekedar memberitahukan kalo hari ini aku tidak ikut serta diacara kenaikan kelas, beliau mengerti dan memahami penjelasanku, sambil mendoakan ibuku beliau mengantarku sampai pintu ruang guru.
Aku berjalan setengah berlari menuju ke mobil...tapi terdengar suara seseorang memanggilku, aku merasa suara itu tidak asing ditelingaku, aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata benar dugaanku. Itu adalah suara Rio.
“ Aisha, kenapa buru buru, bisa ngomong sebentar ga?” “ maaf Rio, aku buru buru..mau nganter ibu ke rumah sakit”
“ kenapa ibumu?”.
“ nanti saja aku cerita kalo kita ketemu lagi, aku pamit”.
“ iya, hati hati Ai..” Rio melambaikan tangannya ..melepas keprgianku ke rumah sakit. Aku tidak menyangka kalo hari itu adalah hari terakhir pertemuanku dengan Rio.
Dua jam perjalanan menuju rumah sakit. Ibuku masih tertidur lelap. Selama dua jam kami menempuh perjalanan. Tepat pukul 09.00 wib kami tiba di RS. Tanteku turun lebih dulu untuk mengurus administrasi dan dokumen yang diperlukan...setelah menyelesaikan administrasi sesuai prosedur. Kami menunggu diruang tunggu pasien.
Setengah jam kemudian ibuku dipanggil ke ruang pemeriksaan di poli jiwa. DR. Tika Safiira SPKJ yang menangani ibu saat itu. Beruntungnya ibuku sudah terbangun dari tidur sejak setengah jam yang lalu. Hanya ayahku saja yang boleh mendampingi ibu di ruang periksa. Selesai pemeriksaan kami dibantu seorang perawat menuju ruang perawatan.
Kami berjalan melintasi lorong lorong rumah sakit. Ibuku berjalan dipapah oleh ayahku, sambil terus bertanya akan dibawa kemana. Dengan sabar sang perawat menjawab pertanyaan ibuku. Sampailah kami di ruangan yang dimaksud. Ada dua perawat yang berjaga disini. Kedua duanya wanita, yang satu masih sangat muda berusia sekitar 22 tahun, yang satunya lagi sudah cukup berumur, mungkin sekitar 47 tahun. Sepertinya beliau perawat senior.
Aku menatap sekeliling ruangan ini.
Astagfirullaah haladziim..tempat apaa ini??. Di atas pintu ruangan tertera tulisan RUANG ISOLASI POLI KEJIWAAN. Di ruangan ini ada 4 kamar. Ada 2 kamar terisi, 2 yang lain kosong. Tiap-tiap kamar hanya ada satu tempat tidur dengan kasur kapuk, tanpa bantal tanpa seprei, tergeletak begitu saja. Yang lebih mengenaskan pintu setiap kamar adalah berupa jeruji besi, seperti di ruang tahanan narapidana.
Aku melihat 2 orang pasien yang menghuni kamar masing masing. Mereka tertawa sambil menggaruk garuk rambutnya yang acak-acakan. Tapi mereka berdua tidak terlihat kotor. Disamping ruang perawatan, ada ruang tunggu atau semacam ruang tamu, lengkap dengan sebuah televisi. Kami semua dipersilahkan menunggu disini, sedangkan ibuku ditemani perawat yang sudah senior menempati salah satu kamar yg berjeruji besi itu. Pada saat suster akan menutup pintu jeruji ini, disitulah aku melihat Ibuku menjerit dan berusaha lari, kami dan 2 orang perawat berusaha memegang tangannya kuat kuat, tapi entah tenaga apa yang merasuki jiwa ibuku, kami semua kalah, aku jatuh tepat di depan tong sampah di depan kamar, sedangkan tante Wita dan ayahku, tersungkur membentur sebuah lemari dipojok ruangan, ibuku berlari sekencang- kencangnya ke luar ruangan, sambil tubruk sana sini, ibuku terus berlari, semua orang yang melihat kami tampak bingung, sambil berhamburan menyingkir.
Akhirnya Aku dan tanteku menyerah, tak kuat lagi berlari, aku dan tanteku berjongkok di depan salah satu bangsal, kami tidak peduli dengan orang orang sekitar yang mulai berkerumun. Mereka bertanya satu persatu, tak sepatah katapun kami menjawab, nafas kami tersengal sengal. Hanya ayah dan 1 perawat yang terus mengejar. 1 perawat lainnya tampak kembali ke ruangan. Rupanya perawat ini menghubungi security via telepon. Sambil membawa sebuah jarum suntik perawat ini kembali berlari mengejar ibuku.
Syukurlah, ibuku berhenti tepat di depan kantor security, pintu keluarpun sudah tertutup. tampak 3 perawat laki laki dan satu perawat perempuan sigap memegang tangan ibuku, tak lama kemudian ibuku melunak, dengan menggunakan kursi roda ibuku dibawa kembali menuju ruangan. Ibu seperti tertidur, mungkin juga karena ada terapi injeksi yang dilakukan oleh suster tadi. Syukurlah ibuku tertidur di kamar pasien yang tadi sudah disiapkan. Ayahku sedang berbincang bincang dengan salah satu suster. Tidak terdengar apa yang mereka bicarakan. Sementara itu aku dan tante Wita masih syok dengan kejadian tadi.
Tanpa sadar, aku menangis melihat ibuku tertidur di kamar itu. Tanteku berusaha menenangkan dan menguatkan, mengusap air mataku yang mengalir deras.. Begitu juga ayahku, berusaha membesarkan hatiku. Ingin rasanya aku berlari sejauh mungkin, aku ingin menjerit sekuat tenaga, berteriak sekencang kencangnya. Aku ingin melepaskan rasa sesak dalam dadaku. Air mataku jatuh semakin deras, tiba-tiba muncul selintas bayangan kedua adikku. Seketika itu pun aku tersadar, apa yang terjadi pada kedua adikku jika aku lemah? Siapa yang akan membesarkan hati mereka, merawatnya selama ibu sakit. Bukankah Ayah harus fokus memperbaiki ekonomi keluarga. Kuusap air mataku, kurapikan kerudung dan pakaianku.
Aku harus kuat, tidak ada celah untuk mengeluh. Bukankah Allah akan meninggikan derajat seseorang apabila lulus melewati semua bentuk ujian. .Setelah semua situasinya kondusif, kami dipersilahkan meninggalkan pasien lewat pintu samping. Kami tidak diperbolehkan lagi menampakkan diri di depan pasien, dikhawatirkan pasien akan memaksa ingin pulang. Kami meninggalkan rumah sakit sekitar pukul 14.00. Sepanjang perjalanan kami tertidur, mungkin karena lelah setelah kejadian di rumah sakit sepanjang siang tadi. Sampai di rumah, adik adikku langsung berhamburan memeluk ayah dan aku. Sambil bertanya tentang ibu. Ayah hanya menjelaskan seperlunya saja.
Malam harinya, ayah mengajak tante Wita dan aku untuk bicara serius tentang ibu. Menurut dokter yang menanagani ibu, selama 2 minggu ke depan kami belum diperbolehkan menjenguk. Semuanya sedang dalam proses observasi. Segala kemungkinan akan diberitahukan lebih lanjut. “ jadi selama 2 minggu ini ibu diisolasi penuh, kita hanya boleh mengirimkan makanan atau pakaian ganti saja, tapi tidak boleh terlihat oleh pasien. ini supaya ibu mendapatkan terapi yang maksimal, nanti kalo sudah waktunya, suster akan memberitahu kalo ibu sudah boleh dijenguk keluarga...alhamdulillaah juga ta akang diterima kerja di bengkel teman, bengkel las tralis dan pagar..besok mulai bekerja...besok Geugeu udah libur kan?.” Begitu penjelasan ayahku kepada kami berdua, tanteuku tampak mengangguk tanda mengerti, akupun mengangguk karena 2 minggu kedepan liburan kenaikan kelas
“saya besok pagi pulang dulu ya kang, minggu depan inshaallah kesini lagi” kata tante Wita “ iya, kamu pulang saja dulu..nanti akang kabari lagi kalo ada informasi baru”. Jawab ayahku. Tanteku tampak mengambil sebuah amplop dari saku celana jeans yang dia pake, kemudian menyodorkannya kepada ayahku.
“ kang, maaf aku ga bisa bantu banyak, ini ada sedikit rezeki buat jajan anak anak, harus diterima kang” begitu ucap tanteku. “ makasih ta, maaf akang ngerepotin..”
“ ga usah gitu kang, Kan si teteh kakak saya, sudah seharusnya saya membantu...besok saya pulang bada shubuh kang.” Ayah mengagguk sambil berdiri mengakhiri obrolan kami. Sebelum tidur, tante wita memberiku nasehat untuk selalu bersabar, selalu berdoa dan ikhlas mengurus adik adiku. Aku terbenam dalam pelukan tante wita.
Pagi setelah tante Wita pulang, aku mulai berbagi tugas dengan kedua adikku. Tapi karena mereka masih kecil, jadi aku hanya memberi tugas yang ringan ringan saja. Zaki aku tugaskan menyapu teras, sedangkan ziana aku beri tugas membersihkan debu debu di kursi atau meja saja. Alhamdulillah kedua adikku sudah bisa diajak kerjasama, meskipun sambil bolak -balik menonton televisi, tapi semua mereka lakukan dengan baik. Adik-adikku adalah anak anak yang baik, semua tingkah lakunya tidak ada yang diluar batas, kadang mereka bertengkar, saling mengejar memperebutkan sesuatu, tapi ujung ujungnya akur juga..
Sebelum berangkat kerja, ayahku menyempatkan menyapu halaman depan dan belakang rumah. Aku mencuci piring dan mencuci pakaian. Sebelumnya memang tugasku adalah mencuci piring dan membersihkan rumah, sesekali ibu mengajarkan aku memasak nasi. Tapi kali ini karena hampir semua aku kerjakan, aku belum tau cara mengatur ritme pekerjaan supaya semuanya beres dengan waktu yang tidak lama. Terkadang, pekerjaan rumah belum selesai, adikku sudah merengek minta sarapan.
Pernah satu waktu, aku memasak nasi tapi setelah lampu cooknya beralih ke lampu warm, rasa nasi tersebut terasa aneh seperti mentah. Karena adikku sudah terlanjur lapar, akhirnya aku memasak mie instant saja supaya cepat. Itupun hanya satu bungkus untuk berdua.
Seperti biasa selesai mandi si kembar bersiap sarapan dimeja makan, setelah mie itu matang aku simpan diatas meja makan, sementara aku siapkan piring dan sendok. Aku juga tau kalo mereka sedang berebut remote control sambil berlarian. Baru aku mau melerai mereka berdua tapi sang mie instant keburu tumpah ruah dimeja, karena mejanya tersenggol entah ulah siapa. Kesal bercampur iba, karena mereka seperti ketakutan aku akan marah. Aku bersihkan semua tumpahan mie instant, aku peluk mereka berdua. “ gapapa, kan ga sengaja” begitu kataku. “” maaf teh, teteh ga marah?” dengan wajah memelas mereka seperti ingin memastikan kalo aku ga marah. “ engga, buat apa marah” aku senyum sambil bingung, mereka harus makan apa sekarang, nasi masih mentah, mie instant satu satunya sudah tumpah. Terpaksa mereka makan nasi setengah matang tadi. Sore harinya, ayahku pulang. Aku ceritakan semua kejadian tadi pagi. Ayahku tersenyum sambil menasehati si kembar. Akhirnya ayah mengukus kembali nasi itu dan bisa kami nikmati untuk makan siang.
Begitu seterusnya rutinitasku selama ibu di rumah sakit. Lama kelamaan aku jadi tau trik trik pekerjaan rumah. Aku mencuci piring sambil menanak nasi. Jika waktunya menggosok pakaian, aku lakukan sambil mencuci pakaian dengan mesin cuci. Dari sinilah aku tau beratnya pekerjaan seorang ibu rumah tangga. Untuk urusan memasak, ayahku adalah ahlinya. Pertama aku dikenalkan dengan nama rempah, bumbu dan fungsi masing masing alat masak. Selanjutnya ayah mengajarkan aku cara memotong sayuran, cara memasaknya. Aku hanya memasak menu yang biasa saja sesuai keuangan yang kami atur sehemat mungkin.
Tak terasa liburan sekolah sudah akan berakhir.
Pagi ini adalah hari senin pertama setelah liburan sekolah berakhir. ayahku berangkat kerja lebih pagi dan pulang selalu malam, belakangan ini ayahku sering kerja lembur, untuk menambah penghasilan. Kata ayah Adikku sudah lebih dulu berangkat diantar beca tetangga. Aku menunggu angkutan umum yang sedari tadi penuh penumpang.
“ pagi Ai...” sapa Lida sambil tersenyum, anak ini memang manis senyumnya.
“ pagi juga Lida, apa kabar?’’ jawabku.
“ aku baik, ibumu gimana kabarnya sudah sehat?’ aku kaget! Darimana Maulida tau kalo ibuku sakit, aku tertegun. Lida seperti tau apa yang aku fikirkan.
“ O, ya...Rio yang memberi tauku kalo ibumu sakit, waktu perpisahan kemarin Rio menitipkan surat buat kamu, maaf baru aku sampaikan sekarang, aku ga tau rumah kamu”
“ surat? Surat apa ya”..tanyaku bingung. Lida berjalan menuju tempat duduknya. Diambilnya sepucuk surat yang diselipkan ditengah buku tulisnya..lalu berbalik arah menghampiriku lagi.
“ Rio pindah sekolah ke Yogya, karena ayahnya dipindah tugaskan ke Jogya. Tadinya... Rio bilang mau pamitan dulu sama kamu, tapi katanya kamu buru buru mau ke rumah sakit nganter ibumu” Lida menyerahkan surat itu padaku. “ makasih Lida” ucapku, Lida tersenyum sambil mengagguk.
Aku terdiam sejenak, sambil berfikir, dimana surat ini akan aku baca?. Yang jelas tidak dibaca di dalam kelas, kalo aku ga ingin jadi bahan ledekan teman teman sekelas. Aku berlari menuju perpustakaan. Sambil membayangkan pertemuan terakhirku dengan Rio, jadi saat dia mengejarku waktu itu, dia ingin pamit padaku.
Aku duduk di pojok kanan perpustakaan. dengan tangan gemetar aku membuka surat ini, serasa panas dingin sekujur tubuhku. Jantungku berdebar kencang, ku buka perlahan lahan. To, Aisha..
“ Aisha...saat kau baca surat ini, mungkin aku sudah ada di yogya...maafkan aku Aisha tidak bisa menemanimu di masa masa sulitmu. Aku tau semua yang kamu alami, kebangkrutan ayahmu dan sakit ibumu, hehe aku serba tau ya tentang kamu. Tapi tenang aja cuma aku yang tau ko, sahabat yg lain tidak ada yang tau, kamu tidak perlu bertanya darimana aku tau, karena aku selalu ingin tau tentang kamu.
Tetap semangat Ai, jaga dirimu baik baik, tetaplah jadi Aisha yang ku kenal, cantik, pintar, mandiri, lembut dan penuh energi positip. Berat aku katakan ini, bingung harus memulai darimana dan dengan kata apa, tapi aku harus mengakui... aku sayang kamu. Terserah deh mau dibilang lebay juga haha. Aku mau kita sama sama fokus belajar, semoga nanti Allah pertemukan kita kembali.
Aku yakin gadis sebaik kamu akan dikelililingi orang orang baik. Thanks sudah membuat ceria hari hariku.
_ Mario Rizky Alamsyah_
Sepucuk surat yang membuat tanyaku terjawab sudah. Aku baca berulang ulang, kubaca lagi dan lagi, aku tersenyum, kudekap surat ini didadaku. Tanpa kusadari aku berkata “ aku juga sayang kamu”.
Apa yang terjadi antara aku dan Rio, mungkin juga terjadi pada remaja remaja seusiaku yang lain. Ungkapan perasaan yang tidak harus dikaitkan dengan sebuah komitmen harus pacaran atau tidak. Tapi rasa itu benar benar nyata adanya. Perhatian yang dia tunjukan menghiasi cerita cinta anak remaja yang lumrah terjadi dimasanya.
Menginjak satu bulan ibuku di rs, aku kasihan melihat ayahku yang banting tulang pergi pagi pulang larut malam, untuk memenuhi kebutuhan kami semua. Akhirnya aku putuskan untuk membantu perekonomian keluarga dengan membuka les privat anak anak SD di sekitar rumahku. Alhamdulillah penawaranku mendapat respon positif dari para tetangga. Ada 6 orang anak tetangga yang belajar bersamaku. Aku tidak pernah memberikan patokan harus berapa mereka memberi imbalan. Aku terima semampu orangtua masing masing. Yang penting adalah selain ibadah tapi aku juga punya penghasilan untuk membantu meringankan beban ayahku. Ketika tau hal ini ayahku menitikkan air mata sambil berkata, “ doakan ayah nak, semoga semuanya cepat berlalu, agar kamu bisa fokus sekolah tanpa harus terbebani dengan ini” Aku mengagguk pelan.
Begitulah seterusnya rutinitasku selama ibu sakit. Ini adalah bulan kedua ibu di rumah sakit, tapi hanya ayah yang diperbolehkan rutin menjenguk satu minggu sekali. Kata dokter semuanya akan dilakukan bertahap, nanti kalo sudah waktunya pasti akan dipertemukan dengan anak- anaknya.
Sebagai seorang manusia,terkadang aku tak luput dari bisikan syeitan. Walaupun bisikan itu segera aku tepis. Aku merasa hidupku kurang beruntung, di saat anak remaja sepertiku sibuk wara-wiri di mall, atau sibuk dengan romansa cinta monyet, atau sekedar berkumpul, bercanda tertawa di rumah salah satu teman.Tapi aku? Aku sibuk dengan rutinitas ibu ibu yang tak kenal lelah, sibuk mengatur dana dapur supaya cukup, sibuk membersihkan mie instan yang tumpah saat sarapan pagi, atau sibuk mencuci wajan yang gosong karena aku lupa sedang memasak dan konsentrasi mengerjakan tugas sekolah.
\tAku \tsering \tsekali \tmengantuk \tdan \ttertidur diperpustakaan sekolah. Tak jarang tubuhku demam dan menggigil, kepalaku pusing, badanku serasa remuk, mungkin karena kelelahan dan kurang tidur. Tapi kekuatan cintaku pada keluarga dan membayangkan perjuangan ayah dan ibuku, semangatku berkobar lagi. Aku menganggap semua adalah pelajaran hidup yang tidak akan pernah ditemukan di sekolah manapun, usia remaja bukan halangan bagi seseorang untuk berproses menjadi dewasa.
Aku harus bersyukur dengan kehidupanku sekarang. Bukankah banyak anak-anak diluar sana yang tidak memiliki orangtua. Atau juga banyak bayi yang sengaja dibuang oleh ibunya. Tapi aku? Aku punya ibu yang baik , ayah yang bertanggung jawab, sodara dan tetangga yang baik. Bahkan ketika adikku diolok- olok temannya, dengan sebutan anak orang gila!, semua tetanggaku membela dan meluruskan berita sesungguhnya.
Tak terasa waktu terus berjalan.
Bulan ini adalah bulan ketiga ibuku menjalani terapi jiwa di rumah sakit. Di bulan ini juga aku mendapatkan 2 kabar baik sekaligus. Kabar baik pertama adalah, kerja keras ayahku membuahkan hasil, ayah sudah membuka bengkel las sendiri meskipun dengan batuan modal dari investor, ayah juga sudah mulai mencicil pinjaman uang dari temannya untuk biaya pengobatan ibu. Kabar baik kedua adalah, aku dan si kembar sudah diperbolehkan menjenguk ibu, kata dokter 2 minggu lagi ibu diperbolehkan pulang, dengan protokol pengobatan yang harus dijalankan, terutama obat untuk terapi pemeliharaan syaraf yang harus terus dikonsumsi, jangan dihentikan sebelum dokter memerintahkan untuk berhenti.
Menunggu dua minggu terasa lama sekali, rasa rindu yang teramat sangat kepada ibu membuat waktu semakin lambat rasanya. Setiap hari adikku melingkari kalender yang tersimpan diatas meja belajar, tak bosan menghitung hari. Masih teringat ketika kami menjenguk ibu, ibu sudah seperti sediakala, cantik, lembut dan penyayang, tidak ada lagi sorot mata tajam yg menakutkan. Ibu benar benar sudah pulih.
Tibalah waktu yang kami tunggu tunggu. Minggu ini ibu diperbolehkan untuk di jemput. Seperti biasa aku mohon izin kepada wali kelasku untuk satu hari ini, seperti waktu-waktu sebelumnya, beliau selalu memberi izin sambil mendoakan. Kami berangkat beramai ramai, ayah, aku, zaki dan ziana dalam satu mobil, di mobil yang lain ada nenekku, tante Wita dan suaminya. Tiba di rs, ibu menyambut kami dengan senyumnya yang khas, terlihat semakin cantik. Kami berpamitan kepada dokter, perawat dan semua petugas di poli kejiwaan, tak lupa ucapan terima kasih kami ucapkan atas jasa jasa beliau yang telaten merawat ibu.
Alhamdulillaah.
\tJika \ttiba \twaktunya, \tbadaipun \tpasti \t \tberlalu.
Dipenghujung akhir semester 6 ini, Selain nilai ujianku yang memuaskan, aku mendapatkan keluargaku utuh seperti semula. Ayahku kembali menjadi ayah yang bertanggung jawab, perlahan lahan satu demi satu harta yang dulu hilang, kini mulai kembali. Ayahku sudah kembali membeli rumah dan kendaraan. Meskipun rumahnya tidak sebagus rumah yang dulu, kami selalu bersyukur. Begitu pula dengan kendaraan, ayahku membeli sebuah mobil bekas, meskipun tidak semewah mobilku yang dulu, hanya sebuah mobil bak terbuka.
Aku dan ayah sudah sepakat untuk menyimpan rahasia tentang bu Elis dan Ardio. Kami hanya fokus kepada orangorang yang kami cintai lebih dulu. Ibuku kembali menjadi ibu yang dulu, yang lembut dan penyayang, diagnosa dokterpun cukup menggembirakan. Ibuku dinyatakan sembuh, hanya harus cek up rutin 6 bulan sekali.
Semua yang terjadi di dunia ini karena kehendak Allah.
Tinggal bagaimana cara kita menyikapi suatu ujian, dan bagaimana cara kita mensyukuri nikmat Tuhan. Tugas kita hanya berikhtiar dan bertawakkal. Sebanyak apapun hal yang kita keluhkan, pasti akan lebih banyak hal yang patut kita syukuri. Aku hanya ingin menjadi orang yang selalu mengambil hikmah dari setiap kejadian