Contents
Amorf part 1: Friendzone
Dua
Nat membawa tumpukan LKS ke luar kelas dengan susah payah. Begini deh jadi sekretaris kelas kalau ketua kelasnya magabut alias MAkan GAji BUTa. Ckckck... jadi dia deh yang jadi korban. Nat berjalan pelan, takut terjatuh. Tumpukan buku itu menghalangi pandangannya, sehingga saat seseorang lewat di depannya Nat tidak melihat dan “BUKK!!”
Laporan itu jatuh dari tangan Nat dan bertebaran di lantai. “Duh, sorry,” katanya sambil menengadah, penasaran siapa yang baru ditabraknya. “Eh, Aira?”
Aira nyengir. “Ngapain sih lo bawa-bawa laporan sebanyak ini, Nat? Tau badan kecil, main gotong aja kayak kuli. Makin kayak kurcaci lho, ntar!” canda Aira sambil merapikan laporan yang terjatuh dan berantakan itu.
Nat tidak mengubris. Dia merebut laporan yang dipegang Aira dan berjalan cepat dengan susah payah.
“Nat? Tunggu dong!” kejar Aira yang langkahnya besar-besar. “Lo kenapa, Nat? Masih marah soal kotak musik lo itu?” tanya Aira.
Nat diam saja, ia mempercepat langkahnya.
“Itu kan kotak musik dari gue juga. Gak apa-apa dong gue rusakin. Lagipula, gue kan udah minta maaf.” kata Aira lagi.
Nat menghentikan langkahnya, kemudian melotot.
“Ya udah. Ntar gue ganti deh sama kotak musik yang sama persis,” janji Aira mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya. Aira nyengir dengan lucu, mencoba berbaikan dengan perempuan mungil di depannya.
Nat menggembungkan pipinya tanpa menjawab dan Aira tahu kalau Nat masih ngambek soal insiden kemarin. Saat hendak mengejar Nat lagi, seorang teman memanggil namanya dari lapangan. “Aira! Sini, woy!! Main futsal!”
Aira menoleh kemudian melambaikan tangan tanda setuju. Ia menatap Nat sambil tersenyum, “Ntar ngobrol lagi ya, Nat cantik.” Kemudian Aira pergi ke arah lapangan dan mengobrol dengan teman-temannya sesama anggota ekskul futsal.
Nat menatap Aira dari kejauhan dengan tatapan sedih, “Kalo bisa diganti pake sesuatu yang baru, walaupun sama persis, bukan kenangan namanya.”
Pandangan Nat menerawang, teringat kejadian kemarin di atap rumahnya, saat senja berwarna oranye indah.
***
“Lo kenapa murung, Nat?” tanya Aira bingung, tidak biasanya Nat diam saja. Aira menghampiri Nat di atap rumah Nat, karena biasanya Nat selalu ada di sana setiap sore hari. Nat menganggap sore dan malam adalah waktu di mana langit tampak sangat indah. Dalam hitungan beberapa jam saja, warna oranye kemerahan langit sore bisa berubah menjadi hitam yang anggun dengan berlian bintang-bintang. Cantik. Nat bisa menghabiskan waktu berjam-jam tanpa melakukan apa-apa di atap rumahnya. Hanya mendongkak ke langit, melihat sore yang indah, melihat burung gereja pulang ke sarangnya dengan kepak sayap yang ramai, kemudian melihat malam yang datang perlahan.
Aira tahu betul hobi sahabatnya itu. Mereka berteman sejak Nat pindah ke kota ini, tiga tahun yang lalu. Rumah mereka bersebelahan, jendela kamar mereka pun saling berhadapan. Terkadang sebelum mematikan lampu kamar pada malam hari, Aira menelpon Nat sambil menghadap jendela, melambaikan tangannya pada Nat sambil berucap, “Selamat tidur, bintang.”
“Selamat tidur juga, kejora.” balas Nat sambil tersenyum. Telepon dimatikan, mereka menutup tirai, kemudian tidur sambil tersenyum. Sesederhana itu persahabatan mereka, tetapi hati Natasha bagai dipenuhi bintang kejora yang menyenangkan dan mendamaikan. Seakan ada perasaan tenang dalam tidurnya karena ia benar-benar dijaga satu bintang yang tak pernah pergi ke mana-mana. Sesederhana itu Natasha begitu menyukai persahabatannya dengan Aira. Seakan mereka bintang kejora yang muncul pada pagi hari, sebelum fajar menyingsing. Jika Nat benar-benar bintang, ia tak akan indah tanpa kejoranya, Aira.
Sebenarnya Nat tinggal di Jakarta sejak dia lahir. Dia bersahabat dengan Aira yang tinggal di sebelah rumahnya. Tapi dia sempat pindah rumah ke Bogor saat umurnya 10 tahun karena Papanya dipindahtugaskan. Saat di Bogor, ia dan Papanya mengalami kecelakaan sehingga hampir seluruh ingatannya hilang. Nahas, bukan ingatannya saja yang hilang, tapi juga seorang Papa yang ia sayangi. Dia lupa akan sahabat-sahabatnya, termasuk Aira. Namun saat ia berumur 13 tahun, ia kembali ke kota ini dan meninggalkan Bogor. Persahabatannya dengan Aira pun dimulai dari awal.
“Kotak musik gue, Ra…” bisik Nat menyerahkan kotak musik yang berwarna keperakan.
Aira memandang kotak musik tersebut. Itu adalah kotak musik yang Aira berikan pada Nat saat Nat berulang tahun yang ke-16. Kotak musik berbentuk hati itu selalu Nat jaga baik-baik dan selalu melantunkan musik sebelum Nat tidur. Kotak musik yang bila diputar kuncinya lalu dibuka akan melantunkan nada lagu First Love.
Aira membuka kotak musik tersebut. Tidak terdengar lantunan musik First Love dari sana. “Kok gak bunyi Nat? Rusak?”
“Iya, Ra. Gimana dong?”
“Beli aja lagi.” ujar Aira ringan.
“Nggak, ya!” Nat menolak sambil menggembungkan pipinya.
“Gue aja deh yang benerin. Oke?”
Nat menggeleng. “Enak aja lo, Ra. Lo kan tukang rusakin barang orang. Bukannya bener, ntar malah tambah rusak lagi.” larang Nat tak percaya.
“Ye…” Aira cemberut, merasa diremehkan. “Pokoknya gue yang benerin.” Aira merebut kotak musik itu lalu berlari. Semalaman itu Aira mengutak-atik kotak musik tersebut. Benar saja dugaan Nat, bukannya benar, malah tambah rusak. Parahnya lagi, kunci kotak musik tersebut samasekali tidak bisa diputar.
“Nat… jangan marah dong! Yang penting ‘kan niat gue baik!” ujar Aira sambil nyengir.
Nat menggembungkan pipinya. “Niat baik tuh gak penting tanpa diiringi usaha yang baik!”
“Ih! Gue usaha kok,” sahut Aira. “Ntar kita beli lagi aja deh!” sarannya.
Nat menggembungkan pipinya lagi. “Enggak!”
Aira menghela napas. “Mau lo apa sih, Nat? Lagian kotak musiknya juga gak bagus-bagus amat kali,” akhirnya ia kehilangan kesabaran.
“Lo gak akan ngerti, Ra.” ucap Nat sambil berlalu. Meninggalkan Aira yang terbengong-bengong, bingung dengan perkataannya.
***