Try new experience
with our app

INSTALL

Amorf part 1: Friendzone 

Satu

  Seperti biasanya, matahari dengan terik menyinari kota ini. Di bus, banyak orang yang dempet-dempetan layaknya ikan sarden. Mama Nat tak sempat mengantarkan anak tunggalnya pergi ke sekolah. Beruntung ia pagi itu kebagian tempat duduk dan tidak harus berdiri. 
 

  Nat mengobrak-abrik ranselnya. Mencari sesuatu yang dari tadi tidak ditemukannya. Jangan sampai barang tersebut tertinggal di rumahnya. Perasaan, tadi ia memasukannya ke dalam ransel. Tapi mana ya? Atau jangan-jangan hilang? Nat memukul-mukul kepalanya, sadar akan kecerobohannya.
“Cari apa sih, Neng?” tanya pria yang duduk di samping Nat penasaran. Dari tadi ia memperhatikan Nat yang sepertinya sedang bingung.
“Handphone, Mas. Mas liat gak?” tanya Nat sambil celingukan.
“Handphone?”
“Iya. Handphone.” Sahut Nat.
“Itu di kantung, Neng. Itu handphone kan? Duh, handphone-nya smartphone, tapi yang punya gak smart.” cibir si Mas itu, membuat Nat agak sebal.
Nat melirik ke arah kantungnya. Ya ampun, ternyata di sana! Nat menepuk jidatnya. “Duhh… makasih ya, Mas.” ucapnya agak bete.
 

  Nat melihat jam yang ada di hp-nya. 07.56. Ia tidak ingin kesiangan lagi. Rasanya sudah cukup 3 kali dalam minggu ini ia terlambat masuk ke kelas, berdebat dengan satpam sekolah, ditahan oleh guru piket dan nongkrong di ruang BK juga ketinggalan ulangan. Nat jadi harus menyusul ulangan dan itu berarti ia harus mengerjakan soalnya sendirian. Iya, sendirian, tanpa bantuan teman-temannya yang biasanya dengan baik hati memberikan sontekan gratis untuknya.
 

  Hari ini ada ulangan bahasa Indonesia dan gurunya termasuk killer di sekolahnya. Kalau terlambat masuk kelas, tidak akan diberi nilai dan harus berdiri di pojok kelas—tempat dugem nyamuk-nyamuk. Nat tidak mau hal itu terjadi walaupun dari rumah ia sudah membawa lotion anti nyamuk untuk jaga-jaga.
 Nat membuka buku catatannya yang semalam sama sekali tidak dibukanya. “Majas personifikasi… contohnya… burung-burung bernyanyi merdu saat metahari tersenyum pagi itu,” gumam Nat pelan sambil membaca bukunya. Tapi, tiba-tiba Nat teringat sesuatu. Ia langsung mengambil hp-nya, mulai mengetik pesan dengan cepat. Ia mengirim pesan ke Rocha—salah satu sahabatnya—dengan Line Messanger di smartphonenya.

Cha, gue kesiangan (lagi) nih ☹ pak satpamnya suruh bukain pintu dong, sogok pake pisang goreng kalo perlu. Ya, ya, ya? Please...

  Selesai mengetik pesan, Nat menunggu. Pesan itu tak kunjung di-read apalagi dibalas Rocha. Nat menghela napas, cemas... ia kemudian memperhatikan jalanan kota yang macet. Tapi masih bisa maju sejengkal-sejengkal. Jalannya bus ini seperti  merayap kayak cicak. Hah, Jakarta. Nat sudah terlalu memaklumi masalah ibukota yang sesungguhnya ia cintai ini, ia enggan mengeluh. Nat pasrah saja. Tidak terlambat syukur… terlambat juga ia terima.
 

  Bus akhirnya sampai di halte dekat sekolahnya. Nat melompat turun lalu berlari secepat yang ia bisa. Kesiangan itu melelahkan karena harus berlari mengejar waktu, tetapi di sisi lain mengasyikan karena adrenalinnya tertantang! Hosh! Nat tercengang saat melihat pagar sekolahnya tertutup rapat. Sia-sia saja tadi dia berlari sampai ngos-ngosan begini. Nat menghampiri dan menatap bapak satpam dengan tatapan meminta belas kasihan.
“Situ lagi… situ lagi.” cibir satpamnya.
“Buka, dong, Pak. Sekali inii aja…”
Satpam menggeleng, tegas. Pasti si Rocha belum nyogok pake pisang goreng nih satpam. Dasar Rocha, takut banget sih duitnya gak akan gue gantiin!
“Pak, saya mau ulangan bahasa Indonesia, Pak. Ayolah… Bapak ganteng, deh! Didoain deh jodohnya gak seret lagi,” rayu Nat.
Bukannya tersenyum, Pak Satpam malah melotot galak pada Nat. “Tidak!” ucapnya tegas.
 “Ah… si Bapak pelit.” Nat menjulurkan lidahnya. Kok ada satpam setengil ini. Di sekolahnya lagi. Ihh… pantesan Pak Satpam gak ada yang mau. Nyebelin sihh. Dasar, bujang lapuk! Batin Nat sambil cengengesan.
Nat mengetuk-ngetuk sepatu kets hitamnya. Bosan. Tapi tiba-tiba, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depannya. Dari sana, keluar remaja laki-laki yang sepertinya baru Nat lihat.
“Maaf, bisa bukain pagar untuk saya?” tanya laki-laki itu lalu menengok ke arah Nat. “Dan juga untuk dia…”
“Lha...? Emang kamu siapa, toh?” tanya Pak Satpam curiga.
“Reo.”
Pak Satpam seolah-olah melihat setan di siang bolong. Ia tampak ciut dan langsung membukakan pagar untuk laki-laki itu. Laki-laki yang bernama Reo itu pun dengan tenangnya masuk melewati pagar sekolah. Tapi kemudian ia menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Nat. “Lo mau di situ aja?” tanyanya.
“Gue?” tunjuk Nat pada dirinya sendiri.
“Iya, elo.” Sahut Reo. “Ayo masuk. Udah telat.”
“Oh, iya.” Nat ikut melangkah di belakang Reo sambil memperhatikan wajahnya. “Umh… lo murid baru?” tanya Nat enasaran.
“Iya.”
“Ohh… gue Nat,” ujar Nat sambil tersenyum.
“Reo,” sahut Reo pendek. “Gue sekelas sama lo.”
“Iya? Kok, bisa tau gitu?”
Reo menangguk. “3 IPS 2,” sahutnya lagi, menarik otot bibirnya sehingga menimbulkan senyuman simpul. Nat tidak berkedip, setelah melihat senyuman Reo, Nat baru sadar kalau Reo itu emh… cakep.
Nat menutar-mutar bola matanya, mencari bahan obrolan. Jarak pintu pagar ke kelasnya lumayan jauh, masa jalan berdua sama-sama nggak ngomong. Basi banget, kan? Tapi setidaknya, Nat cukup senang karena jadi orang pertama yang dikenal Reo yang kayaknya akan jadi calon idola cewek-cewek.
“Kok bisa lo telat, terus masuk dengan gampangnya ngelewatin satpam rese itu?” tanya Nat akhirnya.
“Gampang aja.”
Nat mengernyitkan dahi. “Gampang gimana sih? Susah tau.” dengus Nat heran. “Atau jangan-jangan elo tuh orang penting di sini. Terus, satpamnya takut dan ngizinin lo masuk. Ya. ‘kan? Pasti iya!” tebak Nat.
Reo mengangkat bahu. “Mungkin.”
Nat menyenggol Reo. “Lo misterius ya?” godanya.
“… dan lo bawel, ya?” ujar Reo sambil nyengir. 
 

  Nat tertawa renyah, rasanya cowok ini baik dan lucu. Mereka bercakap-cakap ringan sampai akhirnya mereka berdua sampai di depan pintu kelas. Pak Sukron sudah ada di dalam belum ya? Kalau sudah ada di dalam berarti mereka bedua akan disetrap di pojok kelas dan kehabisan darah karena darah mereka disedot oleh nyamuk-nyamuk di pojok kelas, dan kalau Pak Sukron tidak ada… maka mereka berdua menjadi manusia paling beruntung di dunia ini, hari ini! “Lo dulu gih yang masuk.” ujar Nat sambil nyengir.
 

  Reo membuka pintu dan menimbulkan suara berdecit. Semua pandangan anak-anak tertuju padanya, merasa heran dengan kehadiran sesosok laki-laki tampan dengan senyum tipisnya. Tapi begitu mereka melihat ada Nat di belakang Reo semua menyoraki, “Huuu…Nat lagi… Nat lagi…”
Nat nyengir sambil garuk-garuk kepala. “Bosen yak? Hehe…” ujarnya sambil duduk di sebelah Rocha, lalu melepas tas slempang putihnya. Rocha hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Lalu pandangan semua anak tertuju pada Reo yang kini celingukan mencari tempat duduk. “Re… sebelahnya Aji kosong nohh!” kata Nat sedikit berteriak sambil menunjuk bangku kosong di sebelah Aji. Reo tersenyum lalu meletakan tasnya di sana. Reo tampak berkenalan dengan Aji.
“Lo bawa siapa, Nat?” tanya Betty dari ujung kelas.
 

  “Ntar juga tau.” sahut Nat sambil tersenyum pada Reo. Mata Nat pun mengitari kelas, ramai. Sepertinya Pak Sukron tidak datang hari ini. Wah, senangnya! Nat kemudian membaca tugas yang ditulis di papan tulis, “Kerjakan LKS dari halaman 23—26.” Tuh kan, berarti Pak Sukron memang tidak datang.
“Dia siapa sih, Nat?” tanya Rocha penasaran.
“Namanya Reo,” jawab Nat tenang.
 

  Neira yang ada di belakang bangku Nat mulai tertarik dan menguping. “Namanya Reo, Nat? Lucu tau, ganteng!” komentar Neira sambil terus memandangi Reo, genit-genit. “Pindahan dari mana, Nat? Kok, bisa kenal?”
“Gak tau. Kan tadi kesiangan bareng!” jawab Nat bangga sambil tersenyum.
“Yaelah, kesiangannya hoki banget jadi bisa kenalan sama dia.” Neira malah iri. “Anak orang kaya, ya?” 
“Mungkin. Tadi dia pake mobil jaguar keluaran terbaru gitu ke sini.” sahut Nat lagi.
“Mr. Perfect!!” komentar Rocha yang diam-diam menguping. Nat dan Neira langsung menatap curiga, jangan-jangan si Rocha yang biasanya benci cowok malah naksir Reo lagi. “Dan gue benci orang yang sempurna.” tambah Rocha singkat.
“Lho? Orang sempurna kok dibenci sih, Cha? Disukain dong mestinya!” timpal Neira.
“Let see... Biasanya…orang yang terlalu sempurna itu…” argumen Rocha terputus karena Pak Anwar, Wakil Kepala Sekolah memasuki ruangan kelas.
“Uhm…” Pak Anwar berdeham keras. “Selamat pagi anak-anak!” sapanya terlihat menggerak-gerakan kumisnya yang tebal.
“Pagi, Pak…” sahut anak-anak kompak dan hormat.
“Kalian pasti sudah tahu, kalau di kelas ini ada murid baru. Silakan perkenalkan diri, Nak,” ujar Pak Anwar memanggil Reo.
 

  Reo beranjak dari tempatnya lalu berjalan menuju depan kelas. “Nama saya, Reodith Agung Pramudya. Kalian bisa panggil saya Reo,” ujar Reo sambil tersenyum. Membuat cewek-cewek di kelas merasakan desiran lembut di hatinya. “Saya pindahan dari SMU YPJ.” Tambahnya.
Neira melotot. “Anak YPJ? Gak salah denger?” 
“YPJ itu apa sih, Nei?” tanya Nat. Kambuh lagi, deh, lemotnya.
“Sekolah elit, Nat.” Jawab Neira dengan sorot wajah kagum. “Susah tau masuk situ. Soalnya yang masuk situ harus pinter banget. Sainsnya harus kuat Bayarannya juga mahal. Otak gue sih minder masuk sana.” 
“Oh! Hebat ya dia!” sahut Nat kagum.
 

  Rocha yang daritadi menatap ke depan, ikut-ikutan menoleh ke belakang, ke bangku Neira, ikut-ikutan ngerumpi. “Tapi ngapain coba dia pindah ke sini? Gue sih ogah. Dia malah masuk kelas IPS lagi. Mestinya ‘kan IPA, anak YPJ itu pada jago IPA ‘kan?”
“Otaknya gak kuat kali, ya?” tebak Neira sambil mengerlingkan mata.
“Mungkin juga tuh. Buktinya kepalanya botak!” kata Nat sambil mengangguk.
Neira dan Rocha langsung mengernyitkan dahi. Mulai, deh, gak nyambung, nih, si Nat... pikir mereka kompak. 
 

***