Contents
Penjaja Surga
Pil Jahat
Aku memang tidak tahu
Bagaimana cara yang tepat membencimu
Sama seperti aku tidak tahu
Bagaimana cara yang benar menyayangimu
***
Mungkin tak percaya dengan ucapanku, Eki melongok ke arah tempat sampah di sudut dapur, dekat pintu kamar mandi. Matanya yang agak sipit memindai selama beberapa detik.
“Edan!” Mata Eki membelalak sempurna, walau tetap belum bisa menyaingi bola mataku yang ‘belok’ kata orang.
“Apanya yang edan, Ki?” Aku memandang heran.
“Ngobrol di depan aja.” Eki menarik lenganku. Menilik wajahnya yang cemas, aku jadi ikut waswas. Kenapa tiba-tiba dia terlihat panik?
“Ada apa, toh? Kok, kayaknya penting banget, Ki.”
Kami berdua sudah duduk bersebelahan di karpet ruang depan. Semakin jelas, dia memang terlihat waswas. Bersimpuh di samping kanan, Eki masih mencekal lenganku dengan kuat.
“Mi, kalau kebanyakan, aku takut kamu nanti pendarahan hebat. Bahaya itu.” Setengah berbisik, Eki menatap tepat di pusat kedua manik mataku.
“Sumpah, Ki. Memang ndak ada rasa apa-apa sama sekali, loh. Aku ndak bohong, makanya kuminum saja semua.” Aku berujar kalem.
Memang seperti itu yang kurasakan sekarang. Tidak ada rasa sakit sedikit pun. Mulas, mual, pusing, atau gejala lain, jelas tidak ada. Biasa saja.
“Ya, sudah. Kita tunggu dulu reaksi jamu ketiga yang sudah kamu minum, Mi.” Eki melepaskan cekalan tangannya. Mungkin, dia mengira aku sengaja menenggak ketiga jamu tadi karena tidak sabar ingin segera membuang janin ini.
Perkataan Eki hanya kutanggapi dengan anggukan. Aku sendiri juga heran, kenapa tidak ada pengaruh sama sekali? Padahal bisa dibilang, sore ini aku sudah over dosis meminum tiga bungkus jamu sekaligus, bahkan dengan jeda waktu yang lebih cepat dari ketentuan.
“Astaga, Mi. Kamu nggak ganti baju sama sekali, ya? Kenapa aku nggak kepikiran dari semalam? Aku beliin apa mau ikut sekalian ke toko?”
“Kalau ikut ... takut jamunya bereaksi, bagaimana?” Aku menimbang-nimbang.
“Iya. Bener juga. Udah, kamu tunggu di sini aja. Aku ta belanja cepet-cepetan. Baju dalem, baju santai, hijab?”
“Kaos lengan panjang saja, Ki. Cari yang murah, jangan yang mahal-mahal. Hijab, beli dua saja. Bisa aku pakai gantian. Maaf, makin merepotkan kamu.” Tak sanggup aku memandang wajah Eki. Malu. Baru kenal, terus saja merepotkan.
“Nggak usah dipikir. Di ujung jalan sana ada toko baju murah, kok. Serba 35 ribu. Aku ke sana aja, keburu magrib. Aku belum mandi juga.” Eki lekas berdiri dan meninggalkanku di kontrakan.
Ketulusan tanpa beban benar-benar terlihat dari setiap tindak tanduk gadis ceria itu. Kalau aku yang ada di posisi Eki, belum tentu bisa sebaik dia. Kita memang tidak bisa mengukur seseorang hanya dari tampilan luar, apalagi sebatas profesi yang ditekuni.
Aku ingin janin ini segera rontok. Segera hidup mandiri, tidak terus merepotkan Eki. Bahkan, aku harus bisa membalas semua kebaikan dia.
Maafkan Ibu, Nak. Semoga kamu tidak terlalu kesakitan di dalam sana. Aku tahu, kamu pasti sedang bertempur dengan jamu-jamu tadi. Sudah, menyerah saja. Ini jalan terbaik untuk kita berdua. Aku tidak pandai merayu, tetapi kuharap ... kamu jangan meragu.
Tidak sampai satu jam, Eki sudah kembali dan menenteng satu kantong plastik berukuran sedang. Ada tulisan besar di tas berwarna putih itu. Serba 35 ribu. Ternyata, dia tidak bohong. Memang ada toko itu di ujung jalan.
“Udah. Sekarang kamu mandi, terus ganti baju. Pasti gatel pakai baju kotor seharian gitu. Buruan.” Eki mengulurkan tas.
“Taruh aja baju lainnya di lemari paling bawah. Bajuku pindahin ke atas,” imbuh Eki.
“Ay, ay, Kapten!” Kuangkat tangan kanan, menempelkan pada pelipis, bergaya ala tentara memberi hormat. Bersicepat menata pakaian sesuai instruksi, lalu aku membersihkan diri.
Senja mulai melindap. Secara perlahan, tunggang gunung termakan oleh rakusnya sang malam. Kehadiran senja yang hanya sesaat, seolah tak diberi kesempatan untuk lebih lama menikmati eksistensi. Mungkin, malam takut bersaing dengannya.
Eki sedang melakukan ritual menjelang malam hari di depan cermin. Bersolek. Sambil duduk di lantai, aku memperhatikan dari awal cara dia berhias diri. Pada dasarnya, dia memang sudah cantik. Jadi, mau dipoles tipis ataupun tebal, tetap saja memesona.
“Jangan liatin aku kayak gitu, nanti lama-lama kamu naksir, lho.” Sekilas melirik, Eki bercanda sambil memulas maskara pada bulu mata lentiknya.
“Bulu matamu itu asli apa pasangan, Ki? Panjang banget.” Aku memang penasaran. Bulu mata Eki sangat lentik, terlihat kontras dengan matanya yang agak sipit.
“Asli, dong. Rajin kusisirin, kasih gel lidah buaya. Sebagai seorang perempuan, ada banyak trik yang bisa dilakukan supaya kita selalu terlihat menarik.” Eki mulai membeberkan rahasia kecantikannya.
Rupanya, teh hijau yang dia minum menjelang tidur, tidak hanya untuk menjaga tubuh saja, tetapi sebagian juga dioleskan ke pangkal bulu mata. Kandungan kafein serta antioksidan flavonoid pada teh hijau diyakini dapat mempercepat laju pertumbuhan bulu mata yang sudah ada sekaligus mendorong pertumbuhan rambut baru.
Tidak hanya itu, Eki juga rajin mengonsumsi suplemen vitamin E. Selain baik untuk rambut dan bulu mata, vitamin larut air itu juga bisa membantu menjaga kesehatan kulit. Pantas saja, kulit dia putih, halus, mulus, terlihat cerah dan sehat.
“Perawatan tubuhku memang mahal. Nggak kosmetik, nggak suplemen, semua aku cari yang berkualitas. Bagaimanapun, ini aset, Mi. Aku cari duit dari sini soalnya. Kalau burik, mana laku.”
Aku bisa memaklumi. Profesi Eki saat ini sama seperti orang-orang di dunia model. Jual tampang dan tubuh, walau dengan ranah yang berbeda. Wajar kalau mereka harus serius menjaga penampilan.
“Mi, kamu beneran nggak ada reaksi apa-apa setelah minum tiga jamu tadi?” Sesaat, Eki menghentikan kesibukan dan beralih menatapku.
“Ndak, Ki.” Aku menggeleng lemah. “Sudah, sini. Aku minum saja pil yang tadi. Makin ditunda, aku takut janin ini semakin kuat bercokol di dalam. Mumpung belum empat bulan, Ki. Kalau sudah terlanjur ditiupkan ruh, aku merasa dosaku semakin besar.”
Tadi sore, Eki sengaja menyita pil aborsi yang kuletakkan di dapur. Mungkin, dia takut aku menelan pil itu karena tidak sabar ingin segera keguguran.
“Kamu yakin?” Eki meletakkan peralatan.
“Iya, Ki. Aku yakin, seratus persen. Sini, aku minum.” Tangan kananku terulur, menengadah.
Eki meraih tas kecil yang dipakai tadi siang, mengambil sebutir pil dari dalam. Pil berukuran lumayan besar, tertahan di antara telunjuk dan ibu jari. Kuperhatikan, dia sedikit ragu. Eki menggigit bibir bawah yang masih polos, belum terpoles lipstick, sebelum akhirnya meletakkan pil tadi di atas telapak tanganku.
Tanpa mengucap kata, aku bangkit berdiri. Langkah kaki bersegera menuju dapur, mengambil segelas air hangat dari dispenser agar obat lebih cepat larut dan bereaksi. Walau sudah dilarang Eki, tetap saja aku mengucap basmallah sebelum menelan pil.
“Udah diminum?” Eki menatap cemas ketika aku kembali ke kamar.
“Sudah,” jawabku singkat. “Kamu berangkat jam berapa?”
“Jam tujuh.” Eki lanjut berdandan dan aku masih asyik menonton.
Baru sepuluh menit, perut sudah mulai bereaksi. Perlahan, rasa nyeri mulai menjalar dan ngilu mulai menggigit, seperti mau kram. Keringat dingin mengalir deras, diiringi sakit kepala dan rasa mual. Aku masih berusaha menahan. Harus kuat, tetapi ....
“Ki, perutku sakit.” Tak tahan lagi, tanganku meremas perut sambil meringis kesakitan.
Eki segera memapah berdiri, lantas membantuku berbaring di kasur. Tubuh ini mulai demam dan menggigil. Rasa beku benar-benar telah memagut sekujur badan. Eki masih bungkam, terus menggenggam tanganku.
Beberapa puluh menit, aku hanya mampu mengerang menahan sakit, terutama di perut bagian bawah. Rasanya seperti dicengkeram tangan raksasa tak kasat mata. Nyeri. Sakit sekali.
Tubuh bergetar hebat. Ini bukan lagi gemetar. Napas semakin sesak, akibat menahan sakit yang semakin menggigit. Sekumpulan awan hitam datang mendekat. Semakin pekat dan ....