Contents
Penjaja Surga
Jamuku
Dirimu memang teramat sempurna
Sesempurna luka yang kau toreh padaku
Makhluk Tuhan terlahir tanpa cela
Buatku meragu untuk membuangmu
***
Sudah hampir pukul dua, Eki masih belum kembali juga. Sempat terlelap selama satu jam lebih, membuat tubuhku terasa lebih ringan. Tidak seberat tadi pagi.
“Mi!” Terdengar teriakan keras dari teras kontrakan. Wah, dia sudah pulang. Gadis berbibir sensual masuk sembari mengipas-ngipaskan tangan, berusaha untuk mengusir gerah.
“Tolong ambilin gelas sama air dingin di kulkas, Mi. Haus banget.”
Peluh meleleh deras di leher serta dahi Eki tanpa melunturkan bedak tebal yang melapisi kulit dengan sempurna. Lampung memang sedang panas-panasnya beberapa hari ini. Matahari seolah sengaja merapat lebih dekat daripada biasanya.
“Ini, Ki. Maaf, kamu jadi panas-panasan begini demi aku,” ucapku sambil meletakkan gelas dan sebotol air dingin di hadapannya. Karpet memang masih kugulung dan berdirikan di sudut ruangan. Tadi habis kusapu, sekalian dipel agar tidak banyak debu bersembunyi di baliknya.
“Santuy, Mi.” Eki buru-buru menuangkan air dingin dan menenggak sampai tandas. Satu gelas dirasa masih kurang, dia menuang dan menenggak lagi. “Ah, lega ....”
Aku hanya bisa menunggu sambil menatap dia. Setelah mengusap bekas minum di bibir atas menggunakan punggung tangan, Eki membuka tas punggung dan mengeluarkan plastik kecil berwarna hitam. Dia keluarkan semua isinya.
“Yang ini, campur sama air anget terus kamu minum. Tunggu sekitar dua jam. Kalau tidak ada reaksi apa-apa, kamu minum yang ini. Masih nggak mempan, minum yang ini dua jam berikutnya.” Eki menata tiga bungkus jamu racikan dengan merek dan gambar yang berbeda-beda di atas lantai.
“Gambar nanas, pepaya, baru wayang.” Aku berusaha untuk mengingat-ingat.
“Yes. Gambar wayang ini yang paling keras, Mi. Jadi, buat alternatif terakhir aja. Mudah-mudahan, pakai yang dua merek itu aja udah bisa rontok.” Eki menyatukan ketiga bungkus itu lantas mengulurkannya padaku.
“Lah, terus yang itu buat apa, Ki?” Aku penasaran melihat masih ada satu bungkus lagi.
“Kalau jamu-jamu tadi nggak mempan, terpaksa kita pakai ini, Mi.” Suara Eki terdengar melemah, seperti ada sesuatu yang membuat dia sedih. “Dulu ... aku pakai ini.”
Eki juga pernah gagal dengan ketiga jamu ini. Sebagai jalan terakhir, dia memutuskan untuk meminum pil aborsi itu. Selain menghambat kerja homon progesteron, pil dengan bahan misoprostol akan memicu kontraksi rahim dan mendorongan jaringan embrio untuk keluar.
Menurut Eki, tingkat keberhasilan pil itu sekitar 97 persen jika bekerja secara efektif pada kehamilan trimester pertama atau sekitar dua belas minggu. Pil ini tidak hanya untuk diminum, tetapi juga bisa dimasukkan langsung ke dalam vagina kita. Setelah beberapa jam, biasanya orang yang meminum akan mengalami kram perut dan pendarahan hebat.
“Ngeri, Ki.” Aku bergidik.
Eki sudah pernah merasakan sakitnya. Butuh waktu sekitar tiga atau empat hari sampai semua jaringan embrio benar-benar keluar dari tubuh. Itu pun masih harus minum jamu pembersih darah lagi setelah pendarahan berhenti untuk memastikan bahwa tidak ada darah kotor tertinggal di dalam rahim kita.
“Kebayang, nggak? Aku sendirian di sini, pendarahan hebat, nahan sakit, gara-gara burung terkutuk!” Eki tertawa, tetapi tawa itu terdengar sinis. Ada nada perih, sayatan luka, dan kecewa dalam suaranya.
Aku tidak bisa membayangkan keadaan Eki saat itu. Situasiku sekarang masih jauh lebih beruntung. Setidaknya, ada dia yang menemani selama proses aborsi. Takut? Pasti.
“Ya, wis. Aku minum sekarang jamunya, ya. Bismillah, semoga berhasil rontok di jamu pertama, Ki.” Aku sedikit meremas tiga bungkus jamu di tangan, berusaha menguatkan tekad.
“Lah, mau pembunuhan kok pakai bismillah segala. Malah gagal nanti kalau kamu ngucap bismillah, Mi. Jangan setengah-setengah jadi orang. Kalau mau jahat, rusak, nggak bener, ojo nanggung-nanggung.” Eki memprotesku.
“Piye maneh, sudah kebiasaan. Itu masih mau diminum, ndak? Kalau ndak, gelas sama botol mau aku bawa lagi ke belakang.” Aku menunjuk dengan menggerakkan dagu.
Aku memang marah pada Tuhan, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa hati dan mulut ini terbiasa untuk berucap basmallah ketika hendak melakukan sesuatu. Terlebih jika ingin niatan itu berhasil. Maaf, Tuhan. Kali ini doaku tidak baik. Tolong Kau kabulkan.
“Udah, bawa aja ke belakang. Aku mau tidur lagi, Mi. Nguuuantuk banget aku.” Eki beranjak dari duduk dan langsung menuju ke kamar.
Kumasukkan jamu dan obat ke dalam plastik hitam lagi, membawa serta gelas dan botol minuman ke belakang. Aku mulai meracik jamu tadi sesuai arahan Eki. Langkah pertama, jamu bergambar buah nanas. Aku sengaja meracik di gelas kecil agar tidak terlalu susah menghabiskan. Cukup beberapa teguk saja.
Menarik napas panjang beberapa kali, baru kuminum ramuan itu cepat-cepat agar tidak terlalu merasakan pahit. Lega .... Satu gelas, sudah seluruhnya berpindah ke dalam perut.
Terdengar dengkuran halus dari dalam kamar. Tidak ingin mengganggu Eki, kuputuskan untuk menata ruang depan dan merebahkan diri di karpet saja. Aku harus berjaga-jaga. Dari cerita tadi, sepertinya perutku bakalan sakit.
Kutarik selembar tisu untuk mengelap kulacino di lantai sebelum kemudian menggelar karpet tebal dan merapikan sudut-sudut yang sedikit menggulung. Boneka Pucca penunggu ruangan depan, siang ini harus rela menjadi korban, kugunakan sebagai bantalan. Seraya rebahan, pikiranku terus berkelana.
Harus cari kerja ke mana? Bukan hanya faktor usia dan pengalaman, tetapi aku tidak membawa apa pun ketika pergi dari rumah. Hanya pakaian yang melekat di tubuh dan selembar hijab melilit kepala.
Aku harus bicara dengan Eki. Siapa tahu, dia punya kenalan yang bisa mempekerjakan aku. Kerja apa saja tidak masalah selagi aku bisa. Jadi pembantu juga tidak apa-apa.
Jalan lain yang sempat terlintas di kepala adalah berjualan kue atau gorengan saja. Bisa kutitipkan di warung-warung, sebagian lagi kujajakan keliling kompleks. Aku bisa pinjam modal dulu ke Eki. Tidak banyak, cukup seratus atau dua ratus ribu saja.
Saking asyiknya melamun, tidak terasa sudah satu jam lebih waktu berlalu. Tak ada reaksi apa pun pada tubuhku. Memang, tadi Eki bilang suruh tunggu dua jam, tetapi mestinya sudah ada gejala walaupun hanya sedikit. Ini tidak sama sekali.
Ingin bertanya, tetapi kulihat Eki masih tertidur pulas. Mulut menganga lebar, pasti dia sangat kelelahan. Langkah kaki kulanjutkan hingga ke dapur dan meracik jamu kedua. Sama seperti sebelumnya, langsung kuminum habis dalam beberapa kali tegukan.
Satu jam berikutnya, tepat ketika aku selesai meneguk jamu ketiga, Eki keluar dari dalam kamar dengan rambut acak-acakan. Melihatku ada di dapur, dia segera mendekat.
“Jam berapa ini, Mi?” Eki menggaruk-garuk kepala.
“Jam empat, Ki.”
“Loh, sudah minum jamu lagi? Nggak ada efek, ya?” Eki bertanya sembari menatap ke arah gelas kosong yang masih kugenggam.
“Blas. Ndak ada efek sama sekali.” Kuletakkan gelas tadi ke dalam bak cuci piring. “Tiga jamu sudah kuminum semua.”
“Hah?” Eki menatap dengan mata terbelalak.