Contents
Penjaja Surga
Jangan Hidup
Hadirmu tidak kuinginkan
Pergimu ... itu yang kuharapkan
Aku tak tahu cara menerimamu
Pintu hati tertutup untukmu
***
Setelah tidur beberapa jam, sekitar pukul sebelas siang Eki pamit untuk mengambil jamu dan beberapa obat untukku. Aku sendiri sudah sedari pukul tujuh tadi bangun dan bersih-bersih kontrakan, juga memasak telur ayam dibumbu merah. Lumayan untuk mengganjal perut pagi ini. Jalan kaki semalaman, ternyata sangat menguras energi.
“Aku udah pesen di temenku, tinggal ambil aja, kok. Dia memang langganan kami. Walau sudah hati-hati, kadang tetep aja kebobolan.” Eki bercerita sembari menambahkan polesan bedak padat di wajahnya.
Duduk di tepi ranjang, aku mengamati dari belakang. Terlihat dari pantulan cermin besar yang menempel di salah satu pintu lemari, kaos ketat warna biru bergambar Marilyn Monroe, dipadu dengan celana jeans super pendek, ketat, dan sobek di sana-sini, terlihat sempurna dikenakan oleh Eki. Ah, gadis ini memang sangat trendi.
Aku yang seorang perempuan saja bisa mengagumi kecantikan dia, apalagi para pria. Pasti banyak laki-laki jatuh hati pada sosok bak bidadari ini. Puji dan puja, pasti sudah hal biasa bagi dia.
Eki menceritakan sekilas tentang bagaimana awal perkenalan dengan si penjual obat. Gadis cantik yang suka tampil menor itu selalu bermain aman dengan para pelanggan. Justru dia teledor ketika berhubungan dengan pacar sendiri.
“Pacarku dulu selalu nggak mau kalau disuruh pakai pelindung. Nggak nyaman, kurang berasa, panas, macem-macem alasannya. Jadi, pas telat ngangkat ... hamil, deh. Keburu masuk.”
Setelah tahu Eki hamil, kekasih tercinta tidak mau bertanggung jawab. Dia malah menghilang, kabur entah ke mana. Wajar juga, sih. Keduanya masih sama-sama remaja, mungkin belum siap untuk menikah. Tidak siap menikah, tetapi siap kawin!
Aku heran, Eki menceritakan semua pengalaman dengan tanpa beban. Padahal, bisa dibilang kami ini masih di bawah umur. Belum layak bicara adegan dewasa, apalagi melakukannya.
Gemas karena sang pacar mempraktikkan jurus lari seribu bayangan, Eki meminta referensi obat-obatan untuk menggugurkan kandungan pada teman-teman seprofesi. Dari situlah, dia mengenal Bang Addin. Laki-laki itu menjual berbagai jenis obat dan jamu. Semua sesuai urutan kekuatan dalam merontokkan janin, disesuaikan juga dengan usia kehamilan.
“Kamu sendiri, kenapa nggak langsung bilang kalau habis diperkosa, sih? Kan, bisa lapor polisi. Siapa tahu orangnya ketangkep.” Eki masih asyik memandangi wajah di cermin kecil. Mendongak, menunduk, menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Malu, Ki. Aku ndak bisa membayangkan kalau sampai berita perkosaan itu tersebar ke mana-mana. Aku malu. Pasti diejek sama teman, tetangga, bahkan mungkin keluarga. Apalagi kalau sampai urusan polisi, beritaku bisa terpampang di koran, internet, televisi. Haduh, ndak sanggup aku, Ki.” Tanpa sadar, aku menutup wajah. Sungguh, tak sanggup membayangkan jika semua itu sampai terjadi.
Niat hati, kukubur dalam-dalam tragedi malam itu. Aku berusaha melupa dan hidup seperti biasa. Aku tidak menyangka, malah hamil.
Toh, pelakunya dua orang. Kalaupun tertangkap, lantas siapa bapak anak ini? Siapa yang akan menikahi aku? Mereka juga pasti akan segera dikirim ke penjara. Sudah dapat malu, suami dipenjara, apa untungnya buatku? Ditambah lagi, apa mungkin pernikahan kami akan langgeng?
Besar kemungkinan bahwa perceraian akan menjadi pilihan setelah bayi ini dilahirkan. Menyandang status sebagai anak hasil perkosaan, aku merasa kasihan. Belum lagi masa depanku. Putus sekolah, janda muda, korban perkosaan. Siapa laki-laki yang mau menikah denganku?
“Jadi, percuma aja, toh. Ujung-ujungnya ndak ada yang diuntungkan. Semua rugi, terutama aku dan bayi ini, Ki. Kami akan jadi korban selamanya. Seumur hidup kami.”
“Iya juga, sih. Sementara para keparat itu pasti santai-santai aja. Keluar dari penjara, menyandang status duda. Wooo, tetep laku mereka. Bajingan! Anak juga pasti ikut kamu, kan? Dasar, mbelgedes!” Eki terlihat geram.
Memang, dalam kebanyakan kasus perkosaan, kami para perempuanlah yang paling dirugikan. Harus menanggung beban dan aib sepanjang hidup, belum terhitung trauma yang harus kami derita. Sementara para lelaki, bisa segera menata hidup, menjalani kehidupan normal di bawah bendera pertobatan. Tidak adil!
“Aku salut sama kamu, Mi. Kamu kuat. Nggak terlalu terpuruk,” puji Eki seraya mengacungkan ibu jari.
Aku sebetulnya tidak sekuat itu. Beberapa kali terlintas untuk bunuh diri saja, tetapi aku takut. Takut sakit dan takut menjadi penghuni abadi di neraka kelak. Bagaimanapun, aku masih percaya adanya surga dan neraka.
“Kemarahan ... membuatku kuat, Ki. Terus lagi, setelah dipikir-pikir, nangis terus juga ndak menyelesaikan masalah, toh. Sekarang, aku cuma mau berjuang untuk tetap hidup. Syukur-syukur bisa bahagia. Suatu saat nanti, semoga bisa balik pulang. Akan aku tunjukkan pada keluarga bahwa Sumiyati bisa hidup sendiri dan mandiri.”
Terserah, jika kalimatku dianggap pongah. Kemarahan dan tekad untuk membuktikan bahwa diri ini berharga, memang jadi kekuatan tersendiri bagiku. Aku tidak akan hancur walaupun terluka dan terbuang.
"Kamu hebat!” Eki menubruk, memelukku erat.
Persahabatan indah, walau kami dipertemukan dalam situasi yang jauh dari kata indah. Aku yakin, dia juga punya kisah pilu hingga harus menjalani kehidupan berat seperti sekarang. Aku tidak berani bertanya. Tidak semua orang mau diutak-atik masa lalunya. Cukup menunggu, sampai Eki menceritakan sendiri.
“Kamu ndak makan dulu? Aku sudah masak, lho,” ujarku ketika Eki melepas pelukan lantas sibuk memasang mata. Eh, softlens, maksudku.
Softlens keabu-abuan membuat mata Eki terlihat sendu. Kontras dengan pulasan make up tebal, terutama bibir yang selalu terlihat sensual. Walaupun menor, tetap saja dia terlihat menarik dan elegan. Mungkin, memang sudah jadi ciri khas pemilik kaki jenjang ini.
“Nanti aja, aku cuman sebentar, kok. Aku belikan jamu sama obat yang level biasa dulu, ya. Kamu coba. Nanti kalau nggak mempan, baru naik level.”
“Kok, kayak maen game aja, Ki. Ada level-level segala.” Aku mencoba bercanda untuk menutupi rasa takut serta gugup. Jujur saja, masih grogi menjalani proses aborsi ini.
“Bukankah hidup memang nggak ada bedanya sama permainan? Yang kuat, pasti menang. Yang kalah, harus terus melawan. Rajin latihan sampai bisa jadi pemenang.”
Benar juga.
Eki meraih tas punggung kecil warna hitam di meja samping lemari. Tas berukuran dua telapak tangan orang dewasa, tampak girly, menyempurnakan tampilan dia siang ini.
“Aku berangkat dulu, ya.” Eki melambaikan tangan sekilas lalu keluar dari kamar. Aku mengikuti dari belakang, bermaksud melepas kepergian dia sampai teras depan.
“Ki, aku ndak ada uang untuk bayar obatnya.”
“Halah! Gitu aja dipikirin. Udah, santai aja.” Eki mengibaskan tangan.
Kupandangi punggung itu menjauh sampai menghilang setelah berbelok ke arah gerbang. Aku menghela napas panjang. Harus kuat! Harus berani minum obat. Ini semua demi masa depan yang lebih baik. Bayi ini pergi, kehidupanku akan normal kembali, meski mungkin tak senormal dulu.
Maafkan Ibu, wahai janin dalam perutku. Kita hanya akan hidup dalam derita jika terus bersama. Kamu ... akan lebih bahagia jika tetap di alam sana, bukan di sini.