Contents
Penjaja Surga
Kerja Malam
Aku hanyalah perempuan malam
Mencoba bahagia dalam kehidupan kelam
Tawarkan suka di pijar lampu temaram
Buatmu lega mengerang terpejam
***
Mungkin Eki menyadari tatapan tergemapku. Alih-alih mengulurkan handuk yang sudah dipegang, dia malah ikut duduk di karpet, tepat di hadapanku. Gadis dengan tubuh tinggi semampai itu bersandar pada dinding di belakang punggung. Dia letakkan handuk dan sikat gigi di atas pangkuan, menutupi paha putih bersih miliknya.
“Kenapa? Kaget lihat bajuku seperti ini?” Eki tersenyum sinis.
“Maaf, bukan begitu maksudku.” Aku menunduk ketika tatapan kami saling bertemu.
Penampilan kami jelas jauh berbeda. Aku, dengan kemeja lengan panjang, rok melambai hampir menyentuh lantai, dan hijab penutup kepala hingga bagian dada. Rata-rata, gadis di desaku memang berpakaian seperti ini.
“Pakaian orang kota. Aku hanya belum terbiasa saja.” Aku berusaha mengalihkan dengan bahasa kias.
“Aku memang jual diri, tapi bagiku itu lebih baik daripada harus mencuri. Ya ... mencuri juga, sih, sebetulnya. Mencuri uang dari para lelaki hidung belang, pria-pria kesepian yang butuh hiburan, belaian, usapan, hisapan, bahkan pompaan.”
Serangkaian kalimat terucap tanpa beban dari bibir merah merona, tampak mengilap akibat polesan lip gloss dan sedikit glitter. Dengan santai, Eki menjelaskan profesinya. Sesuatu yang tabu bagi masyarakat awam sepertiku.
“Kalau kamu keberatan dengan pekerjaanku, menganggap aku ini manusia hina, pintu masih belum kututup, tuh. Silakan aja kalau mau pergi,” imbuhnya lagi.
Aku terdiam untuk beberapa jenak. Tidak mungkin pergi dari sini. Mau ke mana? Aku jelas tidak punya tujuan.
“Ndak, kok. Aku ndak punya hak untuk menghakimi siapa pun. Semua pasti ada alasannya.”
Aku teringat pada keluarga besarku. Mereka menghakimi secara sepihak tanpa mau mendengar penjelasanku, biarpun hanya secuil. Itu memuakkan!
“Baguslah. Kamu mau bersih-bersih dulu?” Eki mengulurkan handuk, meletakkan di hadapanku.
“Mbak saja dulu. Kan, Mbak habis kerja, butuh cepat istirahat. Habis itu, baru aku.” Bagaimanapun, aku harus sadar diri. Sudah untung ditampung di sini, jangan sampai lebih merepotkan lagi.
“Aku biasa tidur setelah subuh. Biasanya ngerokok sambil nonton film atau dengerin musik dulu. Habis itu baru mandi, bablas tidur. Kamu duluan aja, tidur di kamar juga nggak papa, kok.”
Mungkin bagi banyak orang, dia ini gadis nakal. Namun pada kenyataannya, Eki berhati lembut, baik, dan penuh kepedulian. Di saat orang lain tidak peduli melihatku tertidur di jalanan, dia malah tanpa pikir panjang datang menghampiri, bahkan menawarkan bantuan tanpa diminta. Jadi, siapa sebenarnya yang lebih bermoral? Siapa yang biadab dan siapa yang beradab?
“Aku belum ngantuk, Mbak.”
“Panggil Eki aja. Kayaknya kita ini masih seumuran, kok. Dua bulan lagi, aku tujuh belas tahun. Kamu?”
“Sama, enam belas tahun. Empat bulan lalu baru ulang tahun. Tua kamu sedikit,” jawabku sembari melempar senyum.
Aku beruntung, bertemu manusia baik seperti dia. Kalau tidak, entah bagaimana nasibku kini. Terlunta-lunta di jalanan.
Eki menceritakan sekilas tentang apa saja yang dia lakukan selama bekerja. Sama sekali tidak ada rasa canggung ataupun risih. Semua kalimat meluncur dengan lancar, tanpa tedeng aling-aling.
“Nah, jadi nggak semua yang datang ke sana itu pasti berhubungan badan. Ada yang cuman ngobrol, nemenin minum, karaoke, atau joget-joget aja. Beberapa minta pelayanan ringan, pakai tangan atau mulut. Tarifnya beda.” Eki mengakhiri dongeng dengan kalem.
Aku lantas menceritakan semua kejadian yang menimpaku. Kupikir, lebih baik jujur sedari awal daripada nanti ketahuan hamil. Toh, Eki juga dengan terbuka dan sangat gamblang bercerita tentang diri dan profesinya.
“Ya, udah. Kamu tinggal aja di sini sementara waktu. Aku nggak keberatan, kok. Lagian, kalau malam aku pasti kerja. Jadi, kamu punya waktu untuk dirimu sendiri. Siang, aku paling cuman tidur.”
“Serius, aku boleh tinggal di sini?” Aku menatap tak percaya.
Kami baru saja kenal. Benarkah dia langsung percaya begitu saja? Eki mengangguk. Tidak ada keraguan sama sekali dari cara dia menanggapi pertanyaanku.
“Aku hidup seorang diri, udah nggak punya keluarga. Jadi, bisa dibilang sekarang nasib kita ini sama.” Eki bergeser, duduk di sampingku.
Tangan dengan kuku jari dicat merah membara itu mengusap-usap pelan punggungku. Aku merasa lega. Setidaknya, menemukan tempat tinggal sementara sampai bisa punya pekerjaan yang layak dan bisa membiayai hidupku sendiri.
“Makasih banyak, Ki. Aku ndak tahu bagaimana nasibku kalau ndak ketemu sama kamu. Selama tinggal di sini, aku bisa bantu bersih-bersih sama masak. Tenang saja, aku sudah biasa, kok.”
Aku harus tahu diri. Tidak mungkin menggantungkan hidup pada orang lain, sebaik apa pun dia, tanpa melakukan apa-apa. Aku harus bisa membalas budi, walau mungkin itu tidak sebanding dengan bantuan Eki padaku.
“Iya, santai aja. Sebisamu. Sekarang, masalahnya ....” Eki terlihat ragu menyelesaikan kalimatnya.
“Ngomong saja, Ki. Apa yang bisa kulakukan, pasti aku mau.”
“Bukan soal aku, Mi. Itu ....” Eki kembali menjauh, duduk di tempat semula.
“Itu apa, toh? Jangan buat aku penasaran, Ki,” desakku sedikit tidak sabar. Apa dia sedang punya masalah? Selagi bisa, aku pasti membantu, kok.
“Apa rencanamu dengan bayi dalam perut kamu itu? Digugurkan?”
Astaga! Eki benar. Ada hal lain yang lebih penting dari sekadar melanjutkan hidup dan tempat tinggal. Mau aku apakan janin ini?
“Aku tidak menginginkan bayi ini, Ki. Tapi ... aku takut untuk menggugurkan kandungan.” Aku menunduk, meremas jari telunjuk.
“Kenapa? Takut dosa?”
“Bukan. Takut sakit.” Aku menggeleng cepat.
Dosa? Apa itu? Aku sudah tidak peduli dengan dosa dan pahala. Selama ini, aku menutup rapat auratku, rajin beribadah, mengaji, belajar dengan rajin. Ah, pokoknya selalu jadi anak yang baik. Akhirnya? Diperkosa dan diusir dari rumah.
“Kalau masih di bawah empat bulan, nggak terlalu sakit, kok. Aku juga pernah. Kalau mau, besok aku belikan jamu sama pil buat ngerontokin. Eman-eman. Kamu masih muda, masa mau ribet sama bayi, sih. Terus, gimana mau cari kerja kalau bawa bayi ke mana-mana?” Eki memaparkan pendapat yang tidak bisa kusangkal.
Aku harus berpikir jauh ke depan. Masa depan anak ini juga sedang dipertaruhkan. Hidup tanpa ayah, lahir tanpa status pernikahan, menyandang gelar sebagai anak haram, tentu akan sangat menyakitkan baginya.
Lebih baik, anak ini tidak usah dilahirkan. Dia tidak perlu mengenal kejamnya dunia. Cukup aku saja. Jika tidak hamil, maka aku akan menjadi Sumiyati yang dulu. Sama, tidak ada beda.
Hidup seorang diri, bagiku tidak masalah. Anggap saja sedang merantau sehingga tinggal jauh dari kedua orang tua dan keluarga. Suatu saat nanti, siapa tahu bisa kembali. Kalau ada bayi, selamanya aku akan terbuang. Tak akan pernah ada kesempatan untuk pulang.
“Gimana, Mi?” Suara lirih Eki menyadarkanku dari lamunan.
Mengusap pelan perut yang masih terlihat rata, aku memantapkan diri.
“Ya, Ki. Bawakan saja jamu dan obat untuk membuang bayi ini. Aku siap.”