Contents
Penjaja Surga
Tragedi Pilu
Kita hanyalah korban
ketidaksengajaan semesta mempertemukan
Takkan pernah bisa menyingkir
Mangkir dari ketetapan takdir
***
Aku mengutuk dua laki-laki yang sudah menganugerahkan tragedi ini padaku. Mereka mungkin sedang bahagia dan baik-baik saja sekarang. Semesta memang sering kali bersikap tidak adil, memperlakukan korban demikian nista dilumat kehancuran. Sementara sang pendosa tetap tertawa di atas derita kami, para korban.
Malam itu, ban sepedaku pecah di tengah perjalanan balik, pulang ke rumah. Sedikit larut setelah mengerjakan tugas kelompok di rumah salah satu teman sekelas. Kebetulan dia tinggal di desa sebelah, tidak terlalu jauh dari tempatku.
Memang, aku sudah sedikit ngeri karena harus melewati perbatasan desa yang gelap, tanpa penerangan jalan sama sekali. Pengendara motor hanya mengandalkan sorotan lampu di bagian depan kendaraan. Sementara pejalan kaki atau sepeda biasa sepertiku, hanya mengandalkan cahaya bulan. Itu pun kalau cuaca cerah.
Menengok ke kanan dan ke kiri, di sekitarku hanya ada hamparan luas kebun jagung. Jauh dari mana-mana. Hati sudah sangat waswas. Kupaksakan diri berjalan sembari mendorong sepeda, berharap tidak bertemu hantu seperti cerita para tetangga.
Orang bilang, di sini sering disapa wanita cantik berbaju putih. Rambutnya panjang, basah, tergerai menutupi wajah. Seketika, bulu kuduk meremang. Mulut komat-kamit membaca doa apa pun yang terlintas di kepala. Debar jantung sudah seperti dentum musik di musim kondangan, sampai sayup kudengar suara motor mendekat dari arah belakang.
Alhamdulillah, ada orang. Bisa minta tolong menemani jalan, batinku. Aku sengaja berhenti, menunggu pijar lampu itu semakin mendekat. Hingga akhirnya ....
"Mas, tolong.” Kulambaikan tangan, berusaha menghentikan laju kuda besi itu.
Dua orang pemuda berboncengan, berhenti tepat di depanku. Memang mereka berhenti, tetapi terlihat ragu untuk berbicara. Keduanya memindai dari atas hingga ke bawah, lantas saling berpandangan.
“Mbak, manusia, kan?” tanya pemuda yang duduk di belakang.
“Bukan kuntilanak, kan?” Pemuda satu lagi ikut bertanya.
“Bukan, Mas. Aku ini manusia asli.” Aku tertawa geli. Wajar, sih. Di tempat gelap seperti ini, ada perempuan minta tolong. Memang menakutkan.
“Alhamdulillah ....” Kompak, mereka berucap lega.
“Ini ... ban sepeda saya pecah. Motor sampeyan jalan pelan-pelan, ya. Saya bareng sampai desa depan.”
“Ta temenin jalan aja, Mbak. Kasihan.” Satu orang turun dari atas motor.
Wah, untung mereka ini baik. Kami berdua jalan beriringan pelan-pelan. Jalanan di desa kami memang masih tanah. Batu-batu berukuran besar dan kecil disusun sembarangan untuk mengurangi becek ketika turun hujan. Kami sering menyebut jalan ini dengan istilah makadam.
Sedikit basa-basi, kami saling berkenalan satu sama lain sambil berjalan pelan. Rupanya, mereka bukan penduduk asli sini. Mereka tinggal di Bandar Lampung, daerah kota. Lumayan jauh dari desa kami.
"Sengaja lewat sini memang. Ke Metro kan lebih deket daripada harus lewat Tegineneng,” kata pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Hilman itu.
“Ya, sih. Tapi lewat sini kan jalannya jelek kayak gini, Mas. Enakan lewat Tegineneng. Sudah aspalnya halus, lampu juga terang benderang, ndak serem.”
“Kalau nggak lewat sini kan nggak bisa ketemu dan kenal sama kamu, Sum,” jawab Hilman terkekeh. Aldi teman Hilman, ikut tertawa.
“Bisa aja, Mas. Makasih, sudah ditemenin jalan.” Tentu saja aku sangat bersyukur, bertemu orang baik di saat genting seperti ini.
“Aduh!” Tiba-tiba Hilman berteriak. Dia jongkok dan tampak memegangi pergelangan kaki.
“Kamu kenapa, Mas?” Aku berjongkok di samping Hilman sambil memandangi kakinya. Aku khawatir kalau dia digigit ular atau hewan lain. Aldi tampak meminggirkan motor, mematikan mesin, lalu bergegas mendekati kami.
“Ini ... keseleo.” Setengah mendesis, Hilman menjawab pertanyaanku.
Syukurlah, bukan digigit ular, pikirku. Belum sempat berucap lagi, tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan membekap mulut dengan sangat kuat. Sontak, aku mencoba untuk berteriak, tetapi tak ada suara yang berhasil keluar. Hanya gumaman tidak jelas, teriakan yang teredam oleh tangan kasar Aldi.
Ingin meronta, tetapi Hilman sudah memegangi kedua tangan sambil menyeretku, masuk lebih dalam ke kebun jagung. Tiba di tengah kebun, Aldi menarik kasar hijab yang kukenakan, lalu menggunakannya untuk menutup mulutku. Dia mengikat erat kain itu hingga ke belakang kepala.
Kedua tangan yang dipegangi oleh Hilman, kini beralih dalam cekalan Aldi. Mereka sangat kompak, bahkan tanpa aba-aba sama sekali. Sepertinya, ini memang bukan pertama kali bagi mereka.
Tragedi malam itu berlangsung sangat cepat. Aku tak sempat banyak berpikir. Tahu-tahu, Hilman sudah melucuti bagian bawah pakaianku dan nafsu terkutuk itu pun terlampiaskan.
Aku yang masih menahan sakit, perih, ngilu, masih harus mengalami satu siksaan lagi. Giliran Aldi melampiaskan gairah bejatnya padaku. Mereka segera bertukar posisi.
Tuhan, Kau ada di mana ketika dua makhluk tak tahu diri ini menginjak-injak kehormatanku? Selama ini aku memuja-Mu. Lima waktu bersujud pada-Mu. Kenapa Kau meninggalkan aku?
Derai tangis bukan halangan bagi dua pemuda itu untuk menikmati tubuhku. Rasa kasihan di hati mereka, pasti sudah lama mati. Dengan santai, merusak hidup orang lain hanya demi memuaskan segumpal daging dalam celana mereka.
Puas dan merasa hasrat sudah terlampiaskan, mereka meninggalkanku begitu saja. Lebih menyesakkan lagi, mereka masih sempat beradu tangan, merayakan keberhasilan di depanku. Dasar manusia gila!
“Cari saja Hilman dan Aldi. Itu bukan nama kami.” Mereka tertawa terbahak-bahak, berlalu menjauh tanpa peduli keadaanku.
Bergerak saja aku susah. Rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuh. Entah berapa puluh menit aku tetap tertelentang seperti itu. Perlahan, ketika rasa sakit sudah mulai berkurang, pakaian kukenakan lagi dan berjalan tertatih pulang ke rumah.
Sengaja jalan memutar lewat kebun cokelat, aku langsung menuju halaman belakang, berniat membersihkan diri di kamar mandi luar. Sudah hal biasa, rumah di desa memang memiliki dua kamar mandi, dalam dan luar.
Kutahan isak tangis sekuat mungkin. Jangan sampai keluarga tahu tentang tragedi yang terjadi malam ini. Biarlah menjadi rahasia kelam dan terdalam yang harus dijaga seumur hidupku.
Aku masuk ke rumah pelan-pelan setelah selesai membersihkan bekas darah yang mengucur di bagian bawah. Untung saja kamarku di bagian belakang. Satu area dengan dapur dan ruang makan, sedikit terpisah dari rumah induk. Jadi, aku bisa langsung masuk, menutup pintu, dan pura-pura tidur.
Mata enggan terpejam malam itu. Di dalam kamar, menumpahkan tangis yang sudah kutahan sedari tadi. Marah pada Tuhan? Jelas! Aku marah pada Tuhan dan seluruh semesta.
Apa salahku hingga harus dihina dengan cara seperti ini? Kenapa harus mengalami nasib sial? Aku merasa diriku sangat kotor juga hina.
Keesokan hari, aku mengalami demam tinggi. Entah karena stres atau sebab lain. Orang tua mengira aku masuk angin akibat pulang terlalu larut. Tiga hari terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, meringkuk menahan sakit di sekujur badan. Namun, aku bersyukur. Keluarga tidak ada yang curiga tentang kejadian semalam.