Contents
Penjaja Surga
Awal Kisah
Biar kutebar kecantikan ini
Untuk mereka pemuja dan pemuji
Tertawa di atas perih hati
Tersenyum mengurai sepi
***
“Fa, Ibuk pamit kerja dulu, ya. Wis, segera tidur. Belajar masih bisa dilanjut lagi besok, toh,” ucapku sembari mengusap puncak kepala Hefa, anak semata wayang kesayangan. Tak lupa, sebuah kecupan berlabuh di kening mulus, tanda cinta yang tak pernah lupa untuk kuberikan padanya.
“Iya, Buk. Hati-hati.” Sedikit cemberut, tetapi dia tetap menjawab dengan nada santun.
Hefa, nama yang kusematkan ketika dia lahir sepuluh tahun lalu dengan berat hampir tiga kilogram dan panjang 47 sentimeter. Bayi sehat, meski tidak banyak makanan bergizi, apalagi susu untuk ibu hamil yang masuk ke dalam tubuhku. Janin terus bertumbuh dalam perjuangan keras, peperangan hebat melawan kejamnya dunia.
Hefa, kuambil dari nama dewa dalam mitologi Yunani. Dewa yang terbuang sejak dia dilahirkan. Meski Hefa tidak kubuang, tetapi kami memang terbuang dari kumpulan. Keluarga besar kami demikian membenci, bahkan sebelum mereka sempat melihat Hefa terlahir ke dunia. Usia kehamilanku masih sekitar tiga bulan kala itu.
“Dasar bocah keparat!”
“Bikin malu keluarga saja kamu ini. Masih bocah, malah hamil!”
Dua orang kakakku, Yati dan Qodri, berlomba untuk berteriak marah ketika mengetahui telah tumbuh janin di dalam perut adik bungsu mereka. Sebuah reaksi wajar, mengingat usiaku masih enam belas tahun kala itu.
Bapak dan Ibu, tak kalah kalap dibandingkan mereka berdua. Semua orang sibuk memaki, mencela, bahkan tamparan keras berulang kali mendarat di pipi. Satu hal yang sangat kusesalkan. Tak sekali pun mereka bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka sibuk melampiaskan amarah. Lantas pada siapa aku harus mengungkapkan sirap hati? Aku ini manusia biasa. Terlepas dari usia masih belia, Sumiyati juga manusia! Aku hanya diam, menerima semua cacian serta makian.
“Siapa bapak dari anak itu? Jawab!” teriak Mas Qodri dengan mata memerah.
“Aku ndak tahu, Mas. Aku ndak kenal,” jawabku di sela tangis.
“Bocah edan! Nggak kenal kok mau-maunya ditidurin. Dasar cewek murahan!” Mas Qodri semakin murka. Sebuah tamparan keras, lagi-lagi mendarat di pipi kiri.
Bibir pecah, meneteskan banyak darah. Anyir, terasa sedikit asin ketika menyentuh lidah kelu. Tak ada satu pun dari mereka yang iba melihatku. Hanya mimik wajah penuh kemurkaan, pandangan bengis merajam, serta rahang mengetat menjadi pemandangan.
Aku terluka. Tidakkah kalian tahu? Aku juga marah, sama seperti kalian. Pernahkah Bapak, Ibu, Mbak, juga Mas berpikir itu? Siapa yang mau mengandung anak hasil pemerkosaan? Lebih menyakitkan lagi, peristiwa itu dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak kukenal. Bukan hanya satu, tapi dua orang laki-laki bejat menodaiku.
Aku bahkan tidak bisa menentukan, benih siapa yang berhasil berenang menjangkau sel telur untuk kemudian melekat erat di dalam rahim dan menjelma menjadi janin. Hanya Tuhan yang tahu.
Mereka merenggut paksa mahkota berharga dari diriku. Mahkota yang hingga kini terlanjur menjadi label tentang seberapa berharga dan seberapa tinggi derajat seorang perempuan di mata masyarakat. Ketika kehilangan segel itu, perempuan seolah tak punya lagi harkat serta martabat, bahkan pada korban pemaksaan seperti diriku ini.
Kesucian terlalu diagungkan, menutupi mata hati serta logika sehat. Nurani diabaikan demi sebuah kehormatan fana di mata manusia. Lebih parah lagi, ketika tragedi menyemai benih tanpa kasih, berkawin lantas berbuah. Buah janin. Tidak diharapkan, tetapi memaksakan kehadiran.
Entah sudah berapa kali, tangan Bapak dan Mas Qodri menampar. Pipi ini mati rasa. Sakitnya tamparan mereka, tidak mampu mengalahkan perih hati, teriris kenyataan pahit. Remaja belasan tahun, hamil di luar nikah, tanpa tahu pada siapa dia harus meminta tanggung jawab.
Keluarga besar mengusirku malam itu tanpa peduli aku mau ke mana, tanpa mau mendengarkan seluruh cerita tentang tragedi tiga bulan lalu. Mereka malu jika tetangga sampai tahu mengenai kehamilan ini. Bukan saja hamil di luar nikah, ini bahkan tidak tahu siapa laki-laki yang sudah menghamili.
Keluarga sempurna tiada cela selama ini, tak pernah punya kasus sekecil apa pun, takut ternoda nama baiknya di mata masyarakat. Nama baik, jauh lebih berharga daripada darah daging sendiri. Miris memang.
“Nanti Bapak bilang sama orang-orang, kamu kabur entah ke mana. Itu jauh lebih baik daripada harus menanggung malu, punya cucu tanpa bapak,” tegas Bapak.
Aku seperti kucing peliharaan yang tidak lagi menggemaskan, ditendang keluar dari rumah, dianggap mati begitu saja. Masihkah berlaku kata pepatah bahwa cinta orang tua sepanjang jalan? Sepertinya sudah tidak berlaku lagi dalam kasusku.
Kaki terus melangkah tak tentu arah. Aku memang tidak punya tujuan, juga tidak punya cukup keberanian untuk datang ke rumah teman ataupun kerabat. Kalau keluarga inti saja tidak mau menerima, bagaimana dengan orang lain? Menangis sepanjang jalan, itu saja yang bisa kulakukan.
Ah, sudahlah. Tidak ada guna mengingat masa lalu. Menangis tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Itu kalimat yang selalu kuucapkan pada diri sendiri dan kini selalu kuajarkan pada Hefa agar dia menjadi manusia kuat di masa depan. Perempuan tangguh.
Hefa sudah membuktikan pada dunia. Sejak masih segumpal darah, dia sudah sangat tangguh melawan obat juga jamu yang kupaksa telan untuk meniadakan kehidupannya. Dia bertahan, memaksa melihat dunia, walau mungkin berakhir kecewa karena dunia tak seindah bayangan dan impian.
Pernahkah dia menyesal telah dilahirkan dari seorang perempuan sepertiku?
Aku tiba di depan sebuah gedung megah, tempatku mengais rezeki di malam hari. Bangunan ini menjadi sumber tawa dan kebahagiaan. Tentu saja, bagi mereka yang punya banyak uang. Namun, untuk orang-orang rendahan sepertiku, kami harus tertawa penuh kepalsuan, menutupi harga diri yang terkoyak.
Ya, dikoyak dengan sukarela demi beberapa lembar uang merah oleh para hartawan kesepian. Mereka membutuhkan belaian, usapan, hisapan, dan di tingkat lebih mahal lagi, pompaan. Itu semua tugas kami.
Aku berpacu bersama deru gairah. Napas terengah tanpa mengenal lelah. Malam pilu selalu penuh peluh. Erangan nikmat terlanjur menjadi irama. Desahan kuat menjadi sebuah keharusan, kewajiban, agar lembaran rupiah semakin bertambah.
Mereka para pelanggan, tak pernah jenuh untuk membayar. Kalau aku ... memang tak boleh jemu untuk menebar cinta palsu. Mereka satu-satunya harapan untuk bisa bertahan hidup. Persetan dengan norma, bullshit dengan semua tata krama. Toh, tidak ada seorang dermawan pun yang datang ke rumah menawarkan bantuan cuma-cuma. Hanya ibu pemilik kontrakan, rajin datang menagih uang bulanan.
Di tempat ini, aku bertemu dengan banyak orang ‘baik’. Mereka dipuja di luar sana. Politisi, pejabat, dosen, bahkan para donatur kegiatan sosial. Ya, anggap saja mereka sedang lokakarya bersama kami atau bisa dikata sedang berdonasi pada kaum miskin, termarginalkan seperti aku ini.
Dengan senang hati, aku raup kebaikan hati mereka. Aku sadar, tidak ada yang gratis di dunia ini. Itu sudah menjadi hukum alam. Kubalas kedermawanan mereka dengan cara yang aku bisa ... dan mereka suka.