Contents
Healing Club
Part 1
Tampak seorang pria berumur dua puluh tujuh tahun, berbadan tidak terlalu pendek ataupun tinggi, berdiri di hadapan unit kamar kosong. Disana sudah ada pemilik flat yang memperlihatkan kamarnya.
“Denis, kamu yakin mau pakai tempat ini untuk buka perpustakaan?” Pemilik unit itu bertanya.
“Sebetulnya bukan perpustakaan, saya hanya mau buat klub buat kumpul-kumpul aja seperti yang saya bilang tempo hari. Tapi semua buku-buku saya akan saya taruh disini karena sudah membludak.”
“Oh ya sudah silakan, tapi asal jangan terlalu ramai dan menganggu tetangga di unit lain. Harga sewanya seperti biasa yah. Paling mungkin biaya listriknya tidak terlalu mahal.”
“Iya bu, tenang saja. Saya juga bukan tipikal yang buat keramaian kan. Tapi saya boleh kan bu kasih plang tapi tidak terlalu besar untuk ditaruh depan unitnya?”
“Iya silakan.”
“Terima kasih bu.”
Pemilik unit pun hanya mengangguk. Denis pun pergi dari sana. Pemilik unit keluar ke depan unit hingga Denis juga tidak terlihat dari sana. Lalu beberapa penyewa unit menghampiri pemilik unit dan berbicara.
“Katanya si Denis mau bikin kumpul-kumpul gitu ya bu?”
“Iya katanya sih gitu.”
“Kira-kira klub apa ya bu yang bakal dibuat? Memangnya bakal ada yang datang?”
“Katanya klub curhat gitu, mungkin sama teman-teman kantornya tapi dia pasang plang juga di depan. Barangkali kalian juga mau ikut?”.
Mereka tersenyum canggung. “Hmm, kita ngga begitu kenal deket sih bu, Cuma kadang nyapa aja tapi ya udah gitu. Apalagi kan dia orang baru disini. Eh tapi, emang dia punya temen?”
Mereka cuma saling pandang lalu akhirnya senyum canggung lagi.
“Yaa saya sih pesen aja supaya dia ngga menganggu penghuni lain.” pemilik unit pun lalu pergi dari sini.
***
Di hari Minggu, Denis tampak sedang membersihkan tulisan “HEALING CLUB” di depan unit barunya. Lalu beberapa penyewa unit datang melihat Denis yang hanya menunggu kedatangan orang-orang yang ingin masuk clubnya. Mereka kasak kusuk bersama sambil melihat Denis.
“Mas Denis bener-bener persistent yah, beberapa hari ini nungguin terus di depan. Tapi kayanya ngga ada yang mau juga gabung.”
“Iya, emang semua orang mau cerita menumpahkan masalahnya ke dia, secara dia bukan psikiater kan?”
“Mungkin dia mau bikin club-club seperti yang di film-film itu, yang semua orangnya punya cancer lah atau penyakit apa gitu.”
Denis tiba-tiba ngga ada di hadapan mereka karena saking sibuknya membicarakannya. Hingga,
“Mbak-mbak kalau mau gabung boleh, saya bukan mengobati atau menyelesaikan masalah, tapi club ini merupakan terapi untuk mereka yang sulit mengungkapkan kekesalan semasa hidupnya.”
Mereka kaget Denis sudah ada di sampingnya dan bicara seperti itu. Mereka hanya gelagapan.
“Maaf mas, kita udah ada acara. Kita permisi dulu. Good luck ya mas.”
Mereka buru-buru pergi dari sana. Denis hanya mencoba menatap mereka sewajarnya saja.
***
Hingga suatu malam, di tengah hujan deras, Denis memakai payungnya menyambut beberapa orang yang datang kesana. Terlihat sosok wanita dan pria berusia 40 tahunan, pria dengan setelan jurnalis berusia 30 tahunan, dan anak mahasiswa memakai ranselnya. Denis menyambut mereka semua. Lalu tampak seseorang memperhatikan Denis dari kaca dengan heran tapi dia hanya mencoba memahami.
Tampak empat orang yang datang duduk melingkar dengan kursi kayu, di antaranya ada Denis. Mereka semua berpandangan masih bingung.
“Sebenarnya ini club apa mas Denis?” Dindin mencoba memecah keheningan.
“Saya ingin membuat club di mana kita semua bisa mencurahkan isi hati masing-masing dari kalian. Tapi saya tidak akan memaksakan kalau memang tidak berkenan, tapi memang ini adalah salah satu terapi untuk bisa mengekspresikan kekesalan anda.” Denis berusaha menjelaskan.
Mereka hanya menggangguk seolah paham.
“Ya sudah, kita coba perkenalan dulu yah. Pertama saya dulu, Saya Denis. Saat ini saya sedang bekerja menjadi freelance writer.”
“Saya Dindin, saya masih kuliah jurusan ekonomi semester 5.”
“Saya Samuel, saya kerja sebagai manajer di sebuah perusahaan tekstil.”
“Saya Eliana, saya hanya ibu rumah tangga, yang kadang kala menjual baju-baju dari teman saya secara online.”
“Saya Radar, kepala jurnalistik di sebuah media cetak.”
“Baik, terima kasih semuanya. Apa ada yang ingin mulai bercerita?”
Namun mereka masih canggung. Hingga mereka pada akhirnya hanya membicarakan pengalaman kerja masing-masing. Dindin yang ingin bisa menulis artikel dan juga novel bertanya pada Radar untuk basic menulis. Sedangkan, Eliana dan Samuel sibuk dengan urusannya sendiri dan ponselnya sendiri. Denis hanya coba memperhatikan mereka. Hingga Dindin melihat-lihat lemari buku di belakangnya dan mengambil salah satu novel “Fight Club” karya Chuck Palahniuk (1996). Dia membaca bagian belakangnya. Denis lalu berdiri menghampiri Dindin.
“Kamu suka baca novel?”
“Iya mas, suka banget. Bahkan sebenarnya gue pengen masuk sastra Inggris. Tapi keluarga saya ngga setuju, katanya buat cari kerja susah. Padahal kan ngga ngaruh.”
“Tapi saya setuju kok, memang peluangnya lebih besar kalo kamu masuk ekonomi.” Samuel ikut berbicara. Namun Dindin malah tampak tidak suka. Keduanya pun malah tambah berdebat. Denis bukan malah menengahi tapi bingung. Eliana hanya terdiam seperti tidak nyaman. Hingga Radar pun angkat bicara.
“Sudah Pak Samuel dan Dindin, hentikan! Kita disini hanya berkumpul saling menceritakan perihal masing-masing tapi tidak untuk mendebatkannya.” Suara Radar pun meninggi.
Seisi ruangan pun jadi hening, disusul seseorang mengetuk dari luar.
“Maaf mas Denis ada apa yah kok ribut-ribut?” Pemilik unit mengetuk dari luar. Dia hampir membuka pintu namun Denis langsung muncul untuk mencegah pemilik unit masuk dan dia hanya dapat melihat sekelebat saja.
“Maaf bu, tadi tidak sengaja teman saya berapi-api saat mengutarakan perasaannya. Saya janji ini tidak akan terjadi lagi.”
***