Contents
Elegi Dua Hati
Lain Kali
Mia bergegas membantu Lik Mar supaya bisa segera pulang ke kos. Kasihan sang pujaan hati lama menunggu di depan gang. Nyamuk-nyamuk betina pasti sedang sibuk mengerumuni dan menciuminya. Ah, tak rela.
“Sudah yo, Lik. Beres semua. Aku balik ke kos.” Mia buru-buru pamit.
“Halah dalah, kok kesusu, to. Ngobrol dulu, lama ndak ketemu.” Lik Mar mencoba menahan sambil memandang curiga. “Lagi ditunggu orang, to?”
“Ya ndak to, Lik. Tugas kuliahku banyak, makanya buru-buru. Lagian baru juga tiga hari ndak ketemu, kok sudah bilang lama. Apakah diriku ngangenin sampai segitunya, Lik?” Mia membereskan tasnya.
“Jadi beneran ini langsung balik? Yo wis, biar dianter sama Aryo.” Marni lalu memanggil Aryo, anak bungsunya. “Yo, anterin Mbak Mia balik ke kos.”
“Uang bensin,” jawab Aryo, anak sulung Lik Mar sambil menengadahkan tangan.
“Bocah semprul. Deket aja minta uang bensin. Buruan!” Lik Mar melotot.
Aryo secepat kilat menyambar kunci motor. “Mbak Mia, ayo!”
Mia tertawa kecil melihat kelakuan sepupunya. Segera ia mencium tangan Lik Mar dan menyusul Aryo di depan rumah.
“Yo, sampai depan gang aja,” bisik Mia.
Aryo yang sudah paham maksud gadis itu cuma mengacungkan jempol kirinya. Di depan gang, Fredy yang baik hati tapi jarang mandi masih setia menunggu sang kekasih.
"Heh, Aryo. Mau ke mana kau?" Fredy kaget melihat Aryo langsung putar balik setelah menurunkan Mia.
"Ya, mau pulang lagi, Mas."
"Alamak ... jangan pulang dulu. Nanti mamak kau curiga." Fredy mengulurkan uang pecahan warna hijau pada pemuda tujuh belas tahun di hadapannya.
"Ini buat kau beli bensin. Sana ... kau keliling Malang dulu!"
"Makasih, Mas. Yo wis, tak ke warnet dulu kalau gitu." Dengan senyum semringah pemuda itu berputar arah lagi.
Aryo sudah hafal dengan celetukan Fredy yang suka asal. Lagian mana mungkin uang dua puluh ribu cukup untuk keliling kota Malang.
"Inget, lho, Yo. Jangan bilang sama ibukmu kalo Mbak Mia pulang sama Mas Fredy," ucap Mia mengingatkan, mengajak sepupunya itu berkompromi.
"Beres, Mbak!" Aryo mengacungkan jempol sebelum akhirnya tancap gas melajukan motor.
"Ayo, kita pulang, Mamamia." Dengan isyarat gerakan kepala, Fredy menyuruh Mia yang masih berdiri melihat sepupunya pergi untuk segera naik ke atas jok motor.
Tanpa menjawab, Mia pun menurut.
"Yuk, jalan," titah Mia sembari melingkarkan kedua tangannya di perut Fredy.
Fredy melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sengaja ingin berlama-lama menikmati keromantisan di waktu malam sambil berboncengan. Tak ada percakapan di antara mereka selama beberapa menit.
Fredy membiarkan kepala gadis itu bersandar di bahunya. Lagi capek mungkin.
Malang di kala malam. Tak terlalu sepi, tapi tetap saja tenang. Perpaduan seimbang antara gairah hidup yang tak pernah lekang, dengan tempat peristirahatan yang teramat nyaman.
"Sampai kapan kita terus seperti ini yo, Mas?" Mia membuka percakapan. Gadis itu merubah posisi, sedikit mencondongkan wajah ke depan.
Selama tiga tahun lebih harus kucing-kucingan. Lelah. Namun, Mia juga masih belum siap melihat reaksi sang ayah jika suatu saat nanti ia mengungkapkan hubungannya dengan Fredy. Pasti bukan sambutan hangat diiringi pelukan serta ciuman. Jelas yang didapat adalah cacian, makian, amukan, bahkan mungkin hukuman. Membayangkan saja, sudah cukup membuat gadis itu ngeri.
"Aku juga tak tahu," sahut Fredy. Sekilas menengok ke samping disertai gelengan.
“Tak usahlah kau pikirkan itu. Yang penting kita jalani dulu sambil happy-happy." Dengan tangan kiri, Fredy memberikan usapan lembut pada lengan yang melingkari perutnya.
Walau sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, tapi Fredy memilih membiarkan semua berjalan apa adanya. Biarlah waktu yang akan menjawab kelak.
Melepasmu ... adalah mimpi buruk yang senantiasa menghantuiku. Mempertahankanmu ... merupakan harapan yang mencemaskan bagiku. Apakah salah aku mencinta? Ataukah aku yang salah dicinta?
Tuhan sedang mempermainkan kita. Bermain rasa dari agama yang berbeda. Kenapa hati harus bertaut, jika tak satu pun dari kami yang akan larut?
Seringkali rasa lelah dan cemas akan masa depan hubungan mereka, mengganggu pikiran Mia. Gadis itu mencoba untuk bertahan. Semua ketakutan seketika sirna, tiap kali ia memandang wajah tampan yang senantiasa mengurai senyuman.
Mereka berdua pun larut dalam obrolan disertai tawa ringan kala membahas hal-hal menggelikan. Tawa tiada henti sepanjang perjalanan. Sesekali Fredy melepaskan tangan kiri dari setir motor, mengusap lutut gadis itu dengan penuh rasa sayang.
Senandung cinta di atas roda dua. Tunggu Abang, bidadari Jawa. Kubawa nanti dirimu dengan roda empat, atau delapan sekalian setelah sukses.
Berdua terus berkelakar, tak peduli belok kiri sign kanan. Dunia memang milik berdua, yang lain cuma sewa. Fredy berkali-kali menoleh ke arah Mia, sampai-sampai tak sadar ada lampu merah tengah menghadang.
Cit!
Fredy menghentikan laju motornya mendadak.
"Haiissh! Mundur, mundur," titah Fredy saat tubuh Mia mendesaknya maju ke depan.
Mia mencibir sembari membenahi posisi, bergeser ke belakang.
"Coba kau tengok itu. Punggungku bolong apa tidak?" Lanjut Fredy.
Kening Mia berkerut.
"Bolong kenapa?" tanya dia bingung setelah memastikan apa yang diperintahkan. Aneh.
"Kan barusan kena serangan bom mendadak."
"Bilang aja tadi sengaja!" Mia mendaratkan satu pukulan di helm Fredy.
Fredy terbahak, membuat pengendara lain sontak menatap ke arah mereka. Bukannya berhenti tertawa, pemuda itu cuek saja.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di tempat kos Mia. Fredy duduk sebentar di teras.
“Setelah ujian akhir nanti, Abang langsung balik ke Medan. Mamak sudah rindu berat. Besok kau temani Abang beli skin care, ya. Biar Abang pulang dengan wajah tampan. Biar senang keluargaku di kampung nanti.”
“Ya salam. Ganjen amat, sih. Mas Fredy itu sudah nggak butuh skin care, kan sudah ada Mia yang selalu care,” goda gadis itu.
“Ah, apa pula kau ini. Abang ingin Mamak bahagia lihat anak kesayangannya hidup dengan baik di Malang. Nanti bisa promo, bahwa kaulah yang merawat Abang. Begitu, Bidadariku,” rayu Fredy.
“Emang berani?” Mia bertanya menyelidik.
Setahu Mia, belum pernah satu kali pun Fredy berani bercerita tentang gadis berhijab yang sekarang dikencaninya. Hal yang sama ia lakukan. Tak pernah menyebutkan sosok pemuda Batak pemikat jiwa, pada keluarga besar di Jombang.
Fredy langsung terdiam diserang pertanyaan dadakan, walau bentuknya tidaklah bulat, juga nggak perlu digoreng terlebih dahulu.
“Tuh, kan. Pasti diem kalau bahas keluarga,” ucap Mia sambil tertunduk lesu.
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, hingga dua bulir air mata mulai mengalir. Segera diusapnya agar tidak semakin membanjir.
“Kita bahas lain kali ya, Bidadariku. Jangan kau bersedih begitu. Tak kuat hati Abang ini melihatnya.”
Ini bukan kali pertama untuk Fredy dan Mia terjebak dalam situasi seperti sekarang. Ujungnya juga masih selalu sama. ‘Kita bahas lain kali’. Kejadian berulang selama lebih dari tiga tahun jalinan kasih mereka.