Try new experience
with our app

INSTALL

Elegi Dua Hati 

Dua Hati

"Mi, nanti malam kita nonton, yuk?" Laki-laki berkulit hitam sedikit manis tiba-tiba saja duduk di samping Mia.

"Mas Fredy ngagetin aja!" Mia mendengkus kesal. Hampir saja buku yang ada di pangkuannya terjatuh. Fredy malah pasang tampang tak berdosa. 

"Nanti malam aku ndak bisa to, Mas. Ada acara tahlilan di rumah Lik Mar." Mia memberikan alasan.

"Bah, aku ini bukan Tomas. Aku ini Fredy. Sapa pula itu cowok? Selingkuhan baru kau ya? Lagian itu tahlilan apa lagi, Mi?”

“Dih, dasar bawel. Tahlil empat puluh hari suaminya Lik Mar,” jawab Mia sambil menjewer telinga kekasih kesayangannya itu.

“Sakit kali jeweran kau ini,” gerutu Fredy. Pemuda itu mengusap telinga yang memerah akibat jeweran Mia. 

“Meninggalnya kan sudah lama. Macam mana pula masih ada tahlilan," lanjut Fredy bertanya, masih dengan logat khas batak.

"Jangan teriak, sih. Pelan dikit volumenya. Macam beginilah, Bang ...," sahut Mia dengan menirukan logat Fredy. "Jadi ... dalam agamaku, acara tahlilan itu akan diadakan dari hari pertama sampai ketujuh, kemudian dilanjut lagi pas hari ke-40, 100, dan terakhir hari ke-1000.”

Kutengok dulu, ada tetanggaku di kampung juga islam, tapi pas bapaknya meninggal tak ada pula acara seperti itu. Meninggal ya meninggal saja. Selesai dikubur, beres," ujar Fredy setengah menyangkal penjelasan Mia. “Kau kali cari-cari alasan untuk tidak nonton sama aku. Mau pergi sama Tomas?”

"Tomas, mbahmu!” cibir Mia. “Memang ada sebagian golongan yang menganggap acara tahlilan itu bid'ah. Ya, sama seperti di agama kamu. Agama Nasrani juga banyak golongan, to?"

"Apa pula itu bid'ah?"

Mia lantas menutup buku, memperbaiki posisi duduk agar bisa menghadap ke arah Fredy. Sepertinya akan ada obrolan yang serius. Fredy adalah pemuda yang seringkali berperilaku absurd, tapi di sisi lain dia memiliki pemikiran yang cukup kritis.

"Intinya, ada golongan yang menganggap tahlil itu boleh dilakukan, dianggap berdoa bersama untuk yang meninggal. Namun, ada golongan yang anggap itu tidak boleh, karena nggak ada kegiatan seperti itu di jaman Rasulullah." Mia menjelaskan semampu yang dia tahu.

Mia dan Fredy menjalin hubungan sejak awal masuk kuliah. Mereka dipertemukan saat acara ospek mahasiswa baru. Keduanya tergabung dalam satu kelompok yang saat itu dibentuk oleh panitia BEM.

"Sejak jumpa pertama kali, aku sudah jatuh sayang sama kau, Mi." Fredy menyatakan perasaanya pada Mia. Hari itu, bertepatan dengan berakhirnya kegiatan ospek di kampus.

"Tapi, aku takut orang tuaku tahu. Kita itu beda keyakinan." 

"Gampang itu. Kita backstreet saja," bujuk Fredy dengan memberikan alternatif agar cintanya diterima.

Tanpa berpikir panjang lagi, Mia yang ternyata juga menaruh hati pada Fredy langsung menerima cinta pemuda itu. 

Jika Fredy jatuh cinta pada pandangan pertama, lain halnya dengan Mia. Cinta gadis itu tumbuh lantaran sering bertemu dan bersama, kala itu.

Witing tresno jalaran soko kulino. Kalimat yang tepat untuk menggambarkan perasaan Mia. 

Perbedaan keyakinan tak menjadi penghalang bagi cinta mereka. Yang terpenting satu sama lain bisa saling mengerti dan menghormati. 

Kebetulan keduanya sama-sama bukan orang yang sangat religius. Keluarga besar memang taat serta fanatik pada agama mereka masing-masing. Namun, Mia dan Fredy seperti anak muda kebanyakan, sekadar ikut apa kata orang tua.

Selagi di kampung halaman, mereka akan ikut beribadah, bahkan mungkin tak pernah terlambat. Sekarang sama-sama merantau, jadi anak kos di kota Malang, membuat keduanya bebas untuk tidak melakukan rutinitas yang menjemukan bernama ibadah.

Mereka percaya Tuhan, juga sangat yakin dengan agama mereka masing-masing. Hanya saja, ibadah belum menjadi sebuah kebiasaan, apalagi kebutuhan bagi Mia maupun Fredy. Potret pemuda pemudi masa kini yang lebih mengutamakan trendi daripada asupan hati. 

Dari dulu cinta memang selalu berhasil mengalahkan logika. Terbukti, hubungan keduanya awet hingga menjelang akhir perkuliahan tanpa diketahui pihak keluarga.

Fredy Siahaan yang berasal dari Medan dan Mia Ardiningrum yang asli Jombang. Dua budaya, beda agama, satu cinta.

Tak ada hubungan yang berjalan mulus tanpa kendala, apalagi jika berdiri di atas sebuah perbedaan yang mendasar. Perdebatan dan pertengkaran kecil sering kali mewarnai hubungan Fredy dan Mia. Namun, keduanya selalu berhasil melewati hingga saat ini.

***

"Mas Fredy, ngapain toh ke sini?" tanya Mia dengan suara pelan. Sesekali mata bulat itu menengok ke belakang, takut ketahuan.

"Ya, nemuin kau lah. Masa mau ketemu bulikmu. Aku rindu."

"Ya kan bisa nunggu di kosan aja. Ndak usah nyusul ke sini. Nanti kalau bulikku tahu, gimana?" Lagian mereka baru ketemu tadi siang di kampus. Sekarang Fredy sudah menggombal dengan kata rindu. 

"Aku bilang saja, kita sudah pac–" Dengan sigap Mia membekap mulut Fredy. Takut pemuda itu keceplosan dan tantenya yang sedang membereskan tikar di teras mendengar obrolan mereka.

Tadi Mia bergegas lari keluar saat melihat motor Fredy yang terparkir di luar pagar.

Menginjak awal semester tiga, Mia yang semula tinggal bersama sang tante, adik sepupu ibunya, memutuskan untuk pindah ke tempat indekos.

Alasan Mia, agar lebih dekat dengan kampus. Hemat energi. Cukup masuk akal. Jarak tempuh dari rumah tantenya menuju ke kampus lumayan jauh, sekitar tujuh kilometer. Namun, sebenarnya ada alasan yang lebih penting dari itu. Apa lagi kalau bukan demi si Fredy, pujaan hati.

"Itu pacar kamu toh, Mi?" tanya sang tante menatap curiga ke arah Mia pada waktu itu.

Fredy yang hampir setiap hari datang berkunjung menunjukkan gelagat yang berbeda. Jelas bukan sekadar teman biasa.

"Endak, Bulik." Mia tergagap menjawab pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya.

"Awas kamu yo, kalau sampe pacaran sama anak itu. Orang tuamu pasti ndak setuju. Bisa-bisa Bulik dicekek sama bapakmu. Dikira Bulik di sini ndak bisa ngarahin." Melihat mimik wajah Mia seperti sedang menyembunyikan sesuatu, tantenya memberikan ultimatum.

Marni, tidak ingin disalahkan di kemudian hari atas perbuatan keponakannya. 

Bukan tidak suka, tapi setelah melihat Fredy yang saat itu datang berkunjung dengan menggunakan kalung berliontin salib, Marni menjadi was-was. Dia tidak ingin sang keponakan hanyut terbawa perasaan, lantas mengorbankan keyakinan.

"Miii ...." Lengkingan suara Marni terdengar memanggil Mia yang tak kunjung datang. 

"Iya, Bulik!" sahut Mia sedikit berteriak.

"Sudah sana. Mas Fredy tunggu di kosan saja. Habis ini aku pulang." Mia mendorong pelan tubuh Fredy menuju motor, lalu meletakkan paksa helm yang tergantung di spion berpindah ke atas kepala pemuda itu.

"Ya sudah, kita pulang bareng."

"Cari penyakit itu namanya." Mia mencubit hidung Fredy lalu menggoyangkannya sebentar. “Tunggu di ujung gang kalau mau ....”

Gadis itu segera berlari kembali ke rumah tantenya. Jangan sampai ocehan dan omelan menjadi lebih panjang.