Contents
Yang Terjulur dari Jendela
Yang Terjulur dari Jendela
\tYang Terjulur dari Jendela
\tBzzt. Bzzt. Bzzt.
\t“Ck, sial. Begini nih risikonya pakai TV analog!”
\tBRAK
\tSeorang pria mengumpat seraya menggebrak antena duduk yang bertengger di atas TV tuanya. Rusak sudah rencananya untuk menonton siaran olahraga favoritnya malam ini. Percuma saja antena berwarna cerah itu berjungkir balik selama belasan menit. Semut-semut bandel di layar televisinya ogah minggat.
\tIa mendengus keras sambil berusaha mengedarkan pandangan ke arah lain. Mencoba mengurai rasa dongkol yang bercokol di hatinya. Dari loteng sempit rumahnya, netranya hanya mampu mereguk dua pemandangan yang biasa-biasa saja: jendela-jendela gelap gulita dan kabel-kabel listrik yang menyusut.
\tMengedarkan pandangannya sekali lagi, pria itu berhasil menemukan satu pemandangan lain. Pemandangan yang begitu kontras dengan latar biru-kehitaman yang disuguhkan langit. Bangunan itu terdiri dari dua lantai dan bercat putih. Dikenal oleh warga dengan nama 'Indekos Bunda', alias rumah kos milik Bu Manda.
\tSeperti biasa, saat jarum jam telah menunjuk angka 9 di malam hari, rumah kos itu akan dibiarkan gelap total. Mungkin demi menghindari tagihan listrik yang membengkak. Atau mungkin saja penghuni Indekos Bunda merupakan sekumpulan vampir yang amat sensitif terhadap cahaya. Siapa tahu?
\tMirip pula dengan hari-hari sebelumnya, kamar kos nomor 7 yang terletak di lantai dua selalu berada dalam keadaan terang. Begitu benderang, dengan jendela yang terbuka lebar. Lengkap dengan sesosok wanita berambut panjang yang berdiri membelakangi jendela. Menyisir rambutnya secara perlahan tanpa menoleh sedikit pun.
\tBergidik ngeri, pria yang sejak tadi mematung melihat pemandangan itu segera menekan tombol daya pada televisinya. Segesit citah, ia berlari ke dalam rumah. Lupa akan amarahnya terhadap semut yang enggan mabur dari layar.
\t---
\tWanita berambut panjang itu sesungguhnya adalah penghuni baru Indekos Bunda. Meski rumah kos itu memiliki slogan “Siapa Saja Boleh Ngekos”, baru kali ini rumah kos tersebut kedatangan seorang penghuni yang nyentrik. Bagaimana tidak? Si penghuni baru kerap memunggungi jendela di malam hari, sembari menggerai dan menyisir rambut panjangnya di sana. Ia selalu membiarkan rambut panjangnya itu tergerai begitu saja melewati ambang jendela.
\tKehadiran wanita itu merupakan sebuah kabar baru bagi warga di sepanjang Gang Cagar VI. Andai saja dahulu para bocah dan remaja-remaja tanggung itu tidak lupa waktu, para warga tidak akan pernah mengetahui keberadaannya. Anak-anak yang saat itu melakukan persiapan lomba 17 Agustus hingga larut, menemukan kejutan kurang menyenangkan di perjalanan pulang.
\tMerekalah yang pertama kali menemukan rambut panjang menjuntai dari jendela kamar nomor 7 Indekos Bunda. Rambut hitam itu teramat panjang hingga hampir menyentuh kanopi kamar lantai satu. Lengkap dengan sepasang tangan berbungkus kulit kuning langsat yang sedang menyisir rambut panjang tersebut.
\tMalam itu menjadi malam yang nyaris tak bisa dilupakan oleh warga Gang Cagar VI. Hampir seluruh warga berkerumun di depan Indekos Bunda. Jari-jemari mereka tak henti-hentinya memencet layar ponsel guna menghubungi Bu Manda, sang pemilik rumah kos. Sedangkan pemilik rambut panjang itu tak lagi tampak. Jeritan anak-anak mendorongnya untuk mundur dari jendela.
\tPenghuni Indekos Bunda yang jumlahnya tidak banyak pun segan untuk mengetuk pintu kamar si penghuni baru. Terlebih, mereka tidak menyaksikan secara langsung kejadian tidak masuk akal itu. Salah-salah, malah mereka yang dituduh melanggar dan mengganggu privasi seseorang.
\tBu Manda datang 25 menit kemudian, dan bergegas menemui penghuni kamar nomor 7. Dengan garang, ia mengatakan bahwa yang dilihat anak-anak itu adalah manusia tulen. Penghuni baru itu hanya memiliki kebiasaan aneh saja. Kebiasaan yang menurutnya telah muncul sejak ia kecil. Katanya, wanita itu sangat suka dengan angin yang meniup tengkuk dan kulit kepalanya melalui jendela. Bu Manda pun meminta sekumpulan orang tersebut untuk pulang dan berhenti menyebarkan rumor aneh. Nilai sewa kosnya tidak boleh turun hanya karena gosip murahan.
\tGumaman di tengah-tengah kerumunan menyatakan bahwa nama wanita itu adalah Sahara. Namun, banyak warga yang memutuskan untuk menjulukinya ‘Rapunzel'. Seorang putri yang sering kali menggerai rambut panjangnya melalui jendela di puncak menara.
\t---
\tKeesokan harinya, orang-orang mulai menaruh ketertarikan terhadap jendela kamar nomor 7. Dari sisi jalan atau loteng rumah, mereka berlomba memelototi jendela berbingkai mulus itu. Tentunya dengan mulut yang tak berhenti saling menyebarkan berita. Sayangnya, pada siang hari jendela itu selalu tertutup rapat. Gelap dan juga kosong.
\tTidak hanya rambut panjangnya, wajah sang wanita pun menjadi misteri besar di kalangan warga. Hanya Bu Manda seorang yang pernah melihat wajahnya secara utuh. Sayang, dia bukan tipe orang yang mau meluangkan waktu untuk berbagi cerita sambil makan kue-kue kering dan secangkir teh. Terlebih, Sahara alias Rapunzel tidak pernah keluar dari ‘sarangnya'. Bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan perut pun tidak.
\tMeski pada awalnya orang-orang bersemangat untuk mengintip sosok Sahara, lama-lama mereka jadi bosan. Sebagian dari mereka mulai sadar bahwa bergadang hanya untuk melihat seonggok rambut sama saja artinya dengan buang-buang waktu. Sedangkan sisanya mulai menganggap hobi Sahara sedikit mengerikan. Alhasil, mereka perlahan lupa kalau dinding di bawah jendela kamar nomor 7 masih selalu dihiasi rambut panjang. Setiap malam.
\t---
\tSifat misterius yang dimiliki Sahara memancing pasangan suami istri yang gemar bergosip untuk menyelidiki berbagai hal tentang dirinya. Pak Pigos dan Bu Pigos sampai rela menggadaikan waktu tidur mereka demi mencuri lihat wajah Sahara. Pun mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengorek latar belakang kehidupan Sahara. Mereka seolah tidak bisa tidur tanpa menggenggam kebenaran soal kehidupan seseorang di tangan masing-masing.
\tPada suatu malam, usaha mereka akhirnya membuahkan hasil. Tidak seperti biasanya, cahaya lampu kamar nomor 7 turut padam. Persis seperti kamar-kamar lainnya. Tidak lama, sosok wanita bertubuh mungil yang mengenakan jaket merah keluar dari Indekos Bunda. Bapak dan Ibu Pigos belum pernah melihat penghuni kos dengan ciri-ciri seperti itu. Maka, tanpa bersuara, mereka saling mengangguk. Mereka percaya, itu pasti Sahara.
\tDengan rol rambut yang masih menggulung poni, serta sarung yang masih melingkar di pinggang, mereka bergegas mengejar sosok yang diduga sebagai Sahara.
\tDiiringi napas ngos-ngosan, mereka segera melontarkan pertanyaan yang selama ini mereka pendam, “Neng Sahara, mau ke mana?“
\tSahara berhenti dan menoleh. Wajahnya serupa dengan wajah-wajah wanita Indonesia lainnya. Matanya berwarna cokelat, dan dihiasi dengan kelopak mata lebar. Pipinya tidak memiliki rona, namun sedikit berisi. Sedangkan bibir bawahnya terlihat sedikit lebih penuh dibanding bibir bagian atasnya.
\tWajah ayu Sahara terlihat sedikit kebingungan. Namun, dengan sigap ia menyuguhkan senyum simpul dan sebuah jawaban. “Mau kerja, Bu, Pak. ”
\tSenyum kemenangan menghiasi wajah Pak Pigos. “Kerja di mana, Neng, kalau boleh tahu? Shift malam?” tanyanya cepat.
\tSahara sedikit menundukkan wajahnya. Wajah mungil itu seolah semakin tenggelam dalam topi jaketnya. “Saya kerja sama saudara, Pak.”
\tKedua mata Bu Pigos mulai jelalatan, pertanda semangat. “Kerja di perusahaan saudara?”
\tWanita bermata besar itu menggeleng kecil seraya tersenyum ramah. Lesung pipi muncul di masing-masing pipinya. “Cuma mengasuh saja, Bu.”
\tSebelum Ibu dan Bapak Pigos sempat bertanya lebih jauh, Sahara telah lebih dulu berbalik dan mengambil langkah panjang-panjang. Sebuah kantung hitam berayun-ayun di tangan kanannya. Membuat pasangan suami istri itu terdiam membeku bak dihipnotis.
\t---
\tMalam itu menjadi titik di mana kabar soal Sahara yang berprofesi sebagai pengasuh bayi tersebar. Warga pun terpecah menjadi dua kubu: kubu yang percaya dan kubu yang sangsi akan profesi Sahara. Mereka berkata, aneh jika seorang pengasuh bayi bekerja pada malam hari. Mengingat rata-rata orang tua bekerja pada siang hari. Mereka mulai mengaitkan profesi Sahara dengan kebiasaan ganjilnya menyisir rambut malam-malam di jendela terbuka. Mereka menyimpulkan kalau hal itu merupakan sebuah ritual agar ia tetap terlihat cantik dan menawan saat melakukan ‘pekerjaannya'.
\t---
\tMasalah muncul ketika Bu Warti, warga yang baru seminggu menyewa halaman Indekos Bunda, mulai melayangkan protes. Ia yang membuka lapak masakan tepat di bawah kamar Sahara, merasa dirugikan oleh kebiasaannya tersebut. “Itu rambut masuk-masuk ke roda dan masakan saya. Pelanggan jadi kabur. Mana saya baru mulai usaha,” koteknya dengan wajah merah menahan marah.
\tTidak berhenti di situ, Ketua RT mulai menerima laporan dari bapak-bapak yang kerap bekerja bakti di akhir pekan. Mereka kompak mengadu bahwa saluran air di depan Indekos Bunda tersumbat rambut.
\t“Saya kemarin habis bersihkan saluran air depan Kos Bunda. Eh, rambut semua itu. Panjang-panjang. Mampet, dah.”
\tAkhirnya, beberapa orang kembali menelepon Bu Manda. Bu Manda yang kesal, meminta mereka untuk menegur Sahara secara langsung. Alasannya, ia merasa tidak enak karena Sahara selalu membayar biaya sewa kos tepat waktu. Ia juga lihai menjaga kamar kosnya tetap bersih, meskipun ia membawa hewan peliharaan ke dalam kamar kos.
\t“Bayar iurannya lancar. Hewannya juga nggak menyebar bau eek, ‘kan, bapak-bapak, ibu-ibu?” semprot Bu Manda yang jengah dengan banyaknya aduan semenjak Sahara ketahuan suka menyisir rambut di ambang jendela.
\tDi penghujung musyawarah, para perwakilan warga pulang sambil menghela napas. Bu Manda memang terkenal kurang peduli pada hal-hal yang dilakukan para penyewa kamar kosnya. Katanya, asalkan mereka membayar iuran tepat waktu dan tidak merusak fasilitas kos, semuanya aman dan oke-oke saja.
\tHal lain yang mengganjal di pikiran para ‘pedemo' adalah hewan peliharaan Sahara. Hasil wawancara mereka dengan tiga penghuni kos lainnya menunjukkan bahwa tidak pernah sekalipun terdengar suara hewan dari kamar kos Sahara. Dua orang laki-laki yang menghuni kamar lantai satu mengaku tidak pernah mendengar suara hewan, kecuali suara jangkring dan tikus.
\tPasangan suami istri dengan bayi yang menyewa kamar di seberang kamar Sahara pun menyuarakan hal yang sama. Mereka tidak pernah mencium bau kotoran atau pun makanan hewan yang menyengat hidung. Meski seharusnya bau setipis apa pun akan tercium di area kos yang notabene berimpitan antar-dinding.
\t---
\tMusyawarah yang berakhir tanpa hasil mendorong para warga untuk menyerahkan persoalan ini ke tangan Ketua RT. Akhirnya, Ketua RT bersama istrinya memohon bantuan kembali dari Bu Manda, untuk menemui Sahara di Indekos Bunda.
\tSiang terik di hari Sabtu, Bu Manda akhirnya menghampiri kamar kos Sahara seorang diri. Sementara Ketua RT dan istrinya dipersilakan untuk menduduki sofa ruang tamu bersama. Mereka tidak menangkap tanda-tanda kemunculan Sahara pada ketukan pertama di pintu kamarnya. Namun, ketukan ketiga yang terdengar lebih nyaring berhasil memancing Sahara keluar. Siluetnya perlahan-lahan muncul dari puncak tangga.
\tKetua RT dan istrinya saling berpandangan. Ternyata benar apa yang dikatakan pasangan suami istri Pigos. Wanita ini memiliki wajah ayu dan teduh.
\tMengingat kepentingan mendesak yang hendak disampaikan, Ketua RT buru-buru berdeham dan mengungkapkan tujuannya menemui Sahara.
\t“Teh, mohon maaf sebelumnya. Saya dan istri di sini hendak memberikan imbauan kepada Teteh soal ... kebiasaan unik Teteh.”
\tMereka bergantian menyampaikan keluhan-keluhan warga terhadap kebiasaan menyisir Sahara. Di luar dugaan, Sahara merupakan sosok yang ramah dan tidak sulit untuk mendengarkan perkataan orang. Ia mengangguk-angguk tanda mengerti setiap kali mereka selesai menyampaikan kata-katanya.
\t“Mohon maafkan saya Pak, Bu, soal kebiasaan saya ini. Saya nggak menyangka bakal jadi masalah. Saya sudah biasa mengangin-anginkan rambut di teras rumah di kampung, soalnya, ” jelasnya panjang lebar.
\tSetelah semua pesan tersampaikan dengan baik, Ketua RT dan istrinya pamit pulang. Sahara mengucapkan maaf dan terima kasih berselang-selangan. Saat sosok Bu Manda, Ketua RT, dan istrinya mulai terlihat menjauh, Sahara berbalik dan kembali menaiki tangga.
\tMenapaki anak tangga ketujuh, tiba-tiba hewan peliharaan Sahara menyembulkan kepalanya dari balik dinding. Dengan sigap, Sahara mengelus rambut hewan peliharaannya dengan sayang. “Besok kita cari tempat yang lebih nyaman ya, Sayang.”
---
\tPria yang beberapa malam lalu mendongkol ria soal semut-semut di layar televisinya, kini kembali mencak-mencak melihat giliran ronda yang kurang menguntungkan. Sial sekali dirinya, mendapatkan giliran ronda saat awan baru saja selesai memuntahkan air matanya. Tanah becek bisa membuat celananya habis terciprat lumpur. Belum lagi kaus biru terangnya yang bakal kotor terkena tetesan hujan. Waduh, bisa-bisa istrinya marah besar.
\tMenghindari genangan air untuk kelima kalinya, tanpa terasa ia dan rekan rondanya telah sampai di sebuah lahan kosong yang tidak terlalu luas. Pada detik itu, mereka sontak menaruh perhatian pada pohon tunggal yang tumbuh di tengah-tengah petak tanah tersebut. Rekan rondanya kemudian berkata, “Ngeri euy kalau sampai ada yang ‘nyangkut' di sana.”
\tPria itu menyenggol rusuk rekannya seketika. “Hush! Sompral teh lihat-lihat tempat atuh!”
\tSambil meringis, mereka melangkah hingga ujung, dan menemukan seorang wanita yang sedang menyisir rambutnya. Ia duduk tepat di anak tangga sempit yang mengarah ke lapangan. Mereka saling bertatapan. Tidak ada orang yang punya rambut sepanjang itu selain Sahara. Dan tidak ada pula orang yang menyisir rambut dengan cara nyentrik seperti itu. Salah satu dari mereka mengangguk tahu. Dan mereka sepakat menghampirinya.
\t"Teh, lagi apa malam-malam begini? Dingin, atuh. Nggak takut masuk angin?”
\tSahara tidak menoleh, namun menjawab dengan suara renyah, “Nggak apa-apa, Pak. Nggak usah hariwang. Peliharaan saya kan sudah nggak boleh disisir di jendela kos lagi.“
\tLagi-lagi, mereka saling bertatapan. Peronda berkaus biru cerah kemudian melontarkan pertanyaan, “Teteh bawa peliharaannya? Mana? Kucing? Guguk? Atau apa?
\tDan seketika, Sahara berbalik.
\tPemandangan di hadapan dua peronda itu nyaris membuat keduanya pingsan. Kaki Sahara melayang, namun ada sepasang kaki lain yang menapak di tanah. Sahara terlihat seperti memiliki dua pasang kaki yang berlainan ukuran. Sepasang lengan Sahara berada di tempat yang seharusnya, yaitu di sisi tubuhnya. Yang membuatnya terlihat ganjil adalah sepasang lengan kurus dan borok yang memeluk perut Sahara. Seolah ada makhluk yang mengangkat sembari setengah menggendong Sahara. Tubuh Sahara jelas menempel pada sesosok makhluk berambut panjang dengan wajah rata. Peliharaan Sahara hanya memiliki mulut amat lebar yang ditumbuhi bulu. Rambutnya terjulur hingga ke tanah.
\t“Ini peliharaan saudara saya, Pak. Tapi, saya yang ditugasi untuk pelihara,” tutur Sahara tenang. Makhluk di belakangnya mengeluarkan suara mendengkur.
\tSahara kembali menyisir rambut peliharaannya, hingga peliharaannya mengeluarkan suara mengerikan yang mungkin adalah tanda bahwa ia suka dengan sisiran tangan Sahara.
\t“Ini yang sesungguhnya terjulur dari jendela, Pak. Bukan rambut saya.”
TAMAT
*Sampul cerpen dibuat menggunakan Canva. Elemen-elemen yang terkandung dalam sampul didapatkan seluruhnya dari Canva.