Contents
Pijar Dalam Bintang
Part 3 : Yakin
Ini sudah hari keenamku di Yogyakarta. Pagi itu, Bintang sudah menunggu di depan hotelku. Katanya ia mau mengajakku ke Borobudur. Tahu gak, diam-diam aku ingin menggantikan kenanganku bersama Langit di banyak tempat, dengan Bintang. Makanya aku bersedia ketika Bintang mengajakku ke sana, meski aku sudah sering ke Borobudur. Di setiap sudut candi tersebut, ada Langit. Ada banyak kenangan tentang Langit.
“Sedih ya? Lagi flashback ya?” tanya Bintang sembari menyenggolku yang termenung melihat suatu sudut di Borobudur. Ia tersenyum jahil, seperti meledekku.
Aku tertawa, “Enggak dong, Lang. Ngapain sedih!”
Namun Bintang tertegun, bukan karena apa-apa, tapi karena aku memanggil dia sebagai Lang… Langit. Kulihat senyum jahil di wajahnya luntur. Aku panik, apakah aku tanpa sengaja menyakitinya? Aku tanpa sadar menutup mulutku.
“Tang… sorry… gak sengaja. Asli. Bukan karena gue masih mikirin Langit atau masih berhubungan sama Langit.”
“Gak apa-apa, wajar. Itu mungkin alam bawah sadar lo yang ga bisa dikendalikan.”
“Maafin gue, Tang.”
“Gak apa-apa. Santai aja.”
Bohong. Tentu saja Bintang berbohong karena setelah itu ia jadi lebih pendiam. Entah apa yang dia pikirkan, tapi aku merasa bersalah. Aku salah, tentu saja. Karena dalam sadarku, ada keinginan kuat untuk menghapus Langit. Tapi ternyata alam bawah sadarku tidak bisa karena selama ini Langit ada di sekitarku. Tak jarang, alam bawah sadarku memimpikan Langit, hari-hari bersama Langit, kata-kata Langit, senyuman Langit. Dan sekarang tanpa sadar aku salah memanggil Bintang sebagai Langit.
“Aku bener-bener minta maaf, Bintang.” Entah sejak kapan aku jadi beraku-kamu dengan Bintang seperti ini. Aku melakukannya tanpa sadar.
Bintang tersenyum, lalu memegang kepalaku dengan kedua tangannya, seperti sedang menghipnotis, “Heiii alam bawah sadarnya Pijar, sekarang Pijar dekatnya sama aku, jadi tolong hapus yang dulu, gantikan semua dengan aku. Bintang, Bintang, Bintang…” ujarnya seperti membaca mantra. Sebenarnya ucapannya lucu, tapi aku malah merasa sedih. Aku merasa bersalah padanya.
Selepas Langit pergi, memang semua terasa suram, gelap, dan kosong, bagai suatu lorong yang aku tidak tahu di mana ujungnya. Tapi Bintang berkata, aku tidak boleh mundur, hanya boleh maju meski entah ada apa di depan sana. “Aku temani…” ujar Bintang. Padahal aku yakin dia juga ketakutan selepas patah hati yang sepatah-patahnya. Dia memang sok tahu dan sok berani. Tapi ia berusaha membantu dan menuntunku jalan perlahan. Tapi apa itu artinya… aku bisa mencintai Bintang seperti aku mencintai Langit?
Selepas dari Borobudur, aku dan Bintang naik taksi online selama kurang lebih satu jam, pulang kembali ke Yogyakarta. Tangan Bintang perlahan bergerak menggenggam tanganku selama di perjalanan. Aku diam saja, ketika ada perasaan berdesir di hatiku. Aku juga tidak berniat untuk melepaskan tangan Bintang.
“Rumahnya memang di Suryodiningratan, Mbak, Mas?” tanya Mas-Mas taksi online pada kami.
“Iya, di deket Kraton itu loh, Mas,” Bintang menjawab.
“Oh memang tinggal satu rumah Mas dan Mbaknya?”
“Iya,” sahut Bintang percaya diri.
Aku menatap Bintang lalu mendekat, “Yee ngaku-ngaku serumah sama gue.”
“Gak apa-apa, biar cepet. Lagian emang nanti bakal serumah kok.”
Aku menatap Bintang yang tersenyum. Senyum tanpa kusadari menjadi senyum kesukaanku sekarang. Ia percaya diri sekali, maksudnya kami akan serumah itu… kami akan menikah? Aku menggelengkan kepala. Tidak, jangan geer Pijar. Lagipula kalau Bintang memang mau menikahiku, apa aku sudah siap?Selain itu, sebenarnya aku kagum dengan transisi emosi Bintang. Padahal ia baru saja murung karena peristiwa salah panggil tadi, tapi sekarang sudah bisa cengar-cengir. Malam hari, kami pergi ke Tempo Gelato sembari menunggu waktu untuk menonton salah satu film Marvel. Besok pagi aku harus terbang kembali ke Jakarta. Aku sesekali tertawa mendengar jokes receh Bintang. Sekali lagi, ketika kami sama-sama diam, Bintang mengajukan pertanyaan. “Jadi gimana, Pijar? Selama seminggu di sini… apa bikin kamu yakin sama aku?”
Aku menunduk. Bagaimana caranya aku yakin pada Mas-mas Jawa di depanku ini? Selama ini aku hanya mengenalnya sebagai teman. Dalam beberapa Minggu dia menjadi teman curhatku. Aku nyaman bersamanya, amat nyaman. Tapi apa berarti aku bisa mempercayakan hatiku padanya? Apakah dia tidak akan meninggalkanku seperti Langit meninggalkanku? Apakah aku tidak akan menyakiti Bintang jika aku belum yakin sepenuhnya seperti ini? Bintang menghela napas berat melihat responku. Tampak jelas kekecewaan di wajahnya. “Tapi kamu bisa klaim aku sebagai milikmu, Bintang. Juga aku, akan mengklaim kamu sebagai milikku,” ujarku. Bintang mengangguk sambil tersenyum tipis. Ya, kami resmi pacaran sekarang.
Pagi hari di Yogyakarta terasa hangat. Tapi di perjalananku dengan Bintang menuju bandara, suasananya terasa dingin. Kami tak banyak bicara. Hanya saja, tangan Bintang tak henti menggenggam tanganku, seperti biasa.
“Mbak pacar, safe flight, yaaa…” ujar Bintang seraya memelukku di pintu keberangkatan bandara. “Kabarin kalau udah sampe, oke?”
“Iya Mas Pacar,” sahutku. Aku sempat mencium pipinya sebelum berbalik pergi untuk check in dan mendaftarkan bagasi.
Ada perasaan aneh di hatiku. Rasanya kosong… rasanya sedih… rasanya kebahagiaanku seminggu kemarin tidak ingin aku akhiri begitu saja. Aku butuh Bintang, aku ingin menjadi pijar dalam hidup Bintang. Aku tidak ingin jauh dengan Bintang… Semua pikiranku itu membuatku mengedarkan pandangan, keluar dari ruang kedatangan bandara, lalu mencari sosok Mas-mas Jawa yang aku sukai. Mana Bintang? Aku menemukan Bintang di antara jajaran taksi bandara yang terparkir. Aku berlari mengejar Bintang yang berjalan cukup cepat, “Bintang!”
Bintang berbalik, lalu melongo melihatku yang lari menghampirinya.
“Aku yakin, Bintang. Aku yakin sama kamu.”
“Loh kok bisa yakin?”
“Soalnya baru 10 menit kamu ga ada, aku sedih. Yah… Bintangnya ga ada. Harusnya ada Bintang terus.”
Bintang tersenyum mendengarnya, “Alhamdulillah…”
“Terus kalau aku yakin, gimana follow upnya? Aku sekarang pacar kamu, dan kamu pacar aku?”
“Iya, kan emang gitu dari kemarin,” ujarnya sambil terkikik. “Ini kayak mimpi. Senang banget rasanya.” Bintang memelukku erat-erat. Di pelukannya, aku diam-diam tersenyum dan tanpa sadar menitikkan air mata. Senang.
Aku melepaskan pelukan Bintang lalu menatapnya, “Aku pulang ke Jakarta ya?”
“Hati-hati, Mbak pacar.”
“Iya, Mas Pacar.”
“Dua minggu atau tiga minggu lagi, aku akan ke rumah orang tua kamu.”
“Loh ngapain?”
“Kenalan sama orang tua kamulah. Emang ga boleh?”
“Ya boleh sih.”
Bintang nyengir, dia memelukku lagi sebentar. “Udah sana pulang! Nanti ketinggalan pesawat loh.”
Aku mengangguk, lalu pamit pada Bintang. Ini perpisahan yang menyenangkan. Aku menyadari selama ini, Bintang seperti bintang yang tertutup awan. Dia ada di sekitarku, tidak pernah ke mana-mana, menatap pijarku dari kejauhan tapi tidak pernah terlihat olehku. Dia adalah bintang yang baru kutemukan. Bintang yang kusukai, Bintang yang tidak akan pernah kulepaskan lagi. Tuhan, aku senang sekali. Kumohon, Bintang yang ini untukku. Aku ingin dia, boleh ya?