Contents
Pijar Dalam Bintang
Part 2: Sembuh
Berawal dari hari patah hati sedunia--tentu saja duniaku sendiri--saat aku memutuskan untuk melepaskan Langit. Runtuh, memang. Sakit memang. Karena secinta itu aku pada Langit, lelaki yang aku cintai bertahun-tahun. Lalu Bintang yang saat itu sudah resign dari kantor dan kembali ke kampung halamannya, Yogyakarta, mendekat ke hidupku tanpa rencana. Eh, atau aku yang mendekat ke hidupnya tanpa rencana?
“Lo kerja di Yogyakarta sekarang? Kalau gue ke Yogyakarta, mau temenin gak?” Begitu DM-ku di instagram.
“Kok ditemenin? Emang lo sendirian?”
“Iya.”
“Dulu… Biasanya kalo jalan-jalan, lo sama Langit.”
“Udah ga sama Langit,” begitu balasku pada Bintang.
“Kenapa?”
Begitulah awal perbincanganku dengan Bintang di instagram. Aku agak terkejut karena dia ternyata juga sudah putus dengan pacarnya yang bernama Gadis--perempuan yang kantornya berdekatan dengan kantor kami dulu.Jadi kata Bintang, ia putus dengan pacarnya yang bertahun-tahun itu, lalu berpacaran dengan Gadis. Sayangnya, hubungannya dengan Gadis juga kandas karena ia bersikap tidak acuh. Ia menyesal, tapi rupanya hubungannya tidak bisa diperbaiki lagi karena kini Gadis memiliki lelaki lain. Sejujurnya, aku tidak tahu detailnya.Tidak peduli juga sebenernya.
Bintang amat cepat membalas DM instagramku, yang berujung kami berdua saling bercerita,tentang betapa sedihnya karena ditinggalkan, tentang betapa masih basahnya luka kami masing-masing. Tak ada sepintas pun pikiran untuk melanjutkan perasaanku yang sempat tertunda pada Bintang. Aku hanya merasa Bintang ada ketika aku butuh. Ketika aku terbangun di pagi hari dengan perasaan kosong dan kalut, Bintang bisa kutelepon. “Gak perlu izin kalau mau chat dan telepon. Silakan aja,” kata Bintang.
“Lo mau ke Yogyakarta, terus selama seminggu lo bakal ditemenin Bintang?” Sally, salah satu temanku yang juga teman Bintang, terbeliak menatapku.
Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Sally. Bintang sudah setuju untuk menemaniku ketika aku berkunjung ke kotanya. Aku tidak punya rencana apa-apa. Aku hanya ingin menyendiri beberapa waktu, ke kota lain, untuk sekadar bengong di coffee shop. Mungkin lubang di hatiku ini--lubang yang menganga setelah patah hatiku--bisa sembuh sedikit.
“Duh, kan lo emang pernah suka sama Bintang. Gak apa-apa lo ke sana? Kalo lo makin suka, terus ujungnya patah hati lagi gimana, Jar? Lo baru putus tau 2 minggu yang lalu.”
“Gak, gak akan. Paling gue cuma akan canggung pas ketemu Bintang awal-awal. Tapi cuek ajalahhh… lagian Bintang juga ga suka sama gue.”
“Yakin?”
“Yakinlah. Keliatan kali mana yang suka mana yang engga. Ini pure temenan aja, biar di sana gue ga sendiri banget,” ujarku pada Sally.
Lalu dengan sok tahu-nya, aku benar-benar pergi ke Yogyakarta, sendirian, tanpa memikirkan apa-apa lagi. “Jakarta, aku pamit sebentar ya… aku mau menyendiri dulu,” ucapku pelan ketika melihat langit Jakarta yang kelabu dari jendela pesawat.
Aku check-in di hotel sekitar jam 12 siang, lalu menunggu Bintang datang. Katanya dia harus nyekar ke makam bibinya dulu, baru bisa menemuiku. Aku menunggu Bintang sembari makan piza dan Cola. Sekitar jam lima sore Bintang baru bisa datang menemuiku, lalu tahu apa yang dia lakukan pertama kali? Dia menyentuh pipiku! “Jangan ngambek,” ujarnya melihat mukaku yang bete. Astaga, berani sekali dia! Kenapa Bintang si Mas-Mas Jawa yang kukenal jadi skinship begini? Dan anehnya adalah, jantungku berdegup cukup kencang ketika ia duduk di hadapanku, sembari menatap mataku tanpa beralih.
“Gue dianggurin, sebal.”
“Ya udah, maaf,” kali ini Bintang nyengir, sambil memegang tanganku dua detik. Dua detik saja, tapi dia berhasil membuat mukaku memerah. Astaga Pijar, kenapa sih? Baru dipegang tangannya aja norak sekali kayak anak SMA.
Kami sama-sama terdiam cukup lama. Aku sesekali menatap Bintang yang asik meminum coffee lattenya. “Bintang?”
“Ya…”
“Waktu itu, di telepon, lo bilang ga akan pernah jadian atau suka sama temen lo. Makanya lo bilang gak mungkin jadian sama Maya, atau temen-temen kita di kantor dulu.”
“Iya…”
“Gue… gue kan temen lo…”
“Iya…”
“Lo ga akan suka dong sama gue?” Tanyaku kemudian. Bintang langsung terbatuk mendengar pertanyaanku. “Eh, maaf maaf… gue cuma make sure aja. Kalo gue ditemenin gini pas lagi patah hati, kan gue bisa suka sama lo terus--”
“Gue suka sama lo, Jar.”
Aku bengong mendengarnya jawaban Bintang. “Lo…?”
Bintang mengangguk, “Gue suka sama lo. Dari dulu… dari gue pertama kali ketemu sama lo. Bahkan gue sampe diem-diem pernah ngegambar lo. Gue ngambil foto lo di instagram.”
Aku makin melongo mendengarnya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Bintang yang pendiam dan tidak pernah menatap mataku lama-lama, yang jarang bicara bahkan saat aku ada di dekatnya, ternyata menyukaiku? Yang lebih mengagetkan, ketika dia akhirnya menunjukkan gambarku yang ia buat di secarik kertas. Itu adalah foto di instagram yang kuunggah tahun 2018. Artinya Bintang memang menyukaiku?
“Itu alasan gue ke sini juga, nemenin lo. Gue mau nunggu lo sembuh, dan bisa jalanin hubungan bareng gue. Kita sama-sama…”
“Gue rasa gue sembuh ga secepat itu, Bintang.”
“Gak apa-apa. Gue akan nemenin lo, Pijar… take your time. Gue tetep di sini. Gue akan nunggu lo yakin sama gue.”
“Lo akan nunggu gue sampai merasa yakin?”
Bintang mengangguk, “Itu pun kalau diizinkan. Kalau engga, gue akan pergi.”
“Gue…” ujarku terbata, “Gue gak mau lo pergi, Tang.”
“Ya udah, gue ga akan ke pergi, sampe lo usir.”
Aku diam lagi. Lagi-lagi diam. Karena tentu saja aku kaget mendengar perasaan Bintang padaku. Apakah Bintang tahu bahwa aku juga telah lama jatuh hati padanya?
“Tang… kalo lo suka sama gue, kenapa gak bilang dari dulu?”
“Gue pernah bilang ke lo, Pijar… merebut sesuatu dari orang lain itu gak baik. Gue gak mau. Meski gue emang beneran suka sama lo.”
“Yahhh… lo juga pas itu kan punya pacar ya!”
“Iya sih.”
Aku dan Bintang tertawa. Bodoh sekali, memang. Ketika aku bertanya mengapa Bintang bisa menyukaiku, jawabannya sederhana saja: karena aku cantik. Lalu kemudian dia melihatku yang selalu tampak baik, yang selalu jujur tentang perasaanku kepada semua orang. Katanya, seperti namanya, aku begitu berpijar di matanya. Tapi sampai kini ia hanya mengagumi, melihat pijarku tanpa pernah punya kesempatan memilikinya. Aku adalah mimpinya, perempuan yang berpijar selama ini, milik orang lain. Ia merasa tidak berhak, untuk sekadar merasa kesal ketika melihatku bersama Langit.
Bintang adalah tempatku menjatuhkan hati bertahun-tahun yang lalu. Seorang lelaki baik yang bahkan tidak perlu diubah menjadi apa yang kuinginkan, karena dia sudah menjadi apa yang kuinginkan. Sedari dulu, aku selalu ingin mendapatkan lelaki yang tidak merokok, tidak minum-minuman keras, yang salat, yang patuh pada orangtuanya. Begitu sulit mendapatkan lelaki seperti itu, bahkan Langit pun tidak. Bintang juga amat sederhana dan manis. Ya Tuhan, aku sudah berbuat apa sampai aku layak mendapatkan pria sebaik Bintang?
Yah… setidaknya kenekatanku berujung baik. Aku bilang suka pada Bintang, dan ternyata Bintang juga suka aku. Sesimpel itu ya, kalau orang mau jujur satu sama lain? Toh, kalau ternyata perasaanku tidak berbalas, aku tinggal unfollow Bintang di instagram, dan kami akan jadi makin canggung. Aku ambil risiko itu. Bodo amat, yang penting perasaan aku tersampaikan. Yang penting kalau Bintang suka sama aku, aku senang. Cinta sama orang itu mudah. Tapi saling cinta, itu yang susah. Menurut aku.
Aku memang amat susah lepas dari "yang-dulu", yang aku pernah cinta sebesar itu. Aku pikir aku akan menangis tiap hari, sakit setiap hari, ingat setiap hari, meratap setiap hari. Tapi berkat Bintang, aku bisa melepasnya, membenamkannya perlahan. Untuk itu, sudah selayaknya aku berterima kasih. Tapi… apa itu artinya aku sudah siap mencintai Bintang? Apa lukaku sudah sembuh? Apa luka Bintang sudah sembuh? Kenapa Bintang begitu terburu-buru? Dia bilang akan menunggu sampai aku yakin padanya. Tapi yakin itu datangnya dari mana? Bagaimana cara yakin pada seseorang, setelah aku yang mencintai begitu serius, ditinggalkan seolah semua selama ini hanya bercanda? Malam itu, ketika pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, Bintang malah mencium keningku sebelum membiarkanku masuk ke dalam hotel.
“Aku cinta kamu, Pijar… tolong pertimbangkan itu.” Aku tertegun. Apa aku bisa mencinta lagi sekarang? Apa aku sudah sembuh?