Try new experience
with our app

INSTALL

Pijar Dalam Bintang 

Part 1: Jatuh Hati dan Jatuh Cinta

  Kamu pernah gak, jatuh hati pada orang lain ketika hatimu penuh dengan seseorang? Ketika kamu mencintai seseorang selama bertahun-tahun, kamu malah jatuh hati pada orang lain. Aku pernah. Aku memang suka membedakan jatuh cinta dengan jatuh hati. Jatuh hati adalah ketika kamu mengagumi orang itu tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih, tanpa komitmen, tanpa perlu mengasihani dirimu karena perasaanmu tidak berbalas. Kagum, mungkin lebih tepatnya. Berbeda dengan jatuh cinta yang penuh dengan ambisi, jatuh hati terasa tanpa pamrih. Tidak rentan akan luka. Dan tanpa sadar, aku jatuh hati pada Bintang, ketika aku mencintai Langit yang saat itu sudah bertahun-tahun menjadi pacarku. 

“Halo, Mbak Pijar. Aku Bintang,” ujar lelaki berkacamata itu, dengan aksen Jawa, entahlah Jawa Timur atau Jawa Tengah. Aku sebagai orang Sunda yang lama tinggal di Jakarta, Bekasi, dan Depok, tidak bisa membedakannya. Aku sempat tertegun menatap cowok tinggi itu. Dia terlihat baik dan kalem. Saat itulah aku menyambut tangannya sambil tersenyum, “Aku Pijar…”

  Begitulah pertemuan kami pertama kali, pada akhir tahun 2017. Namanya Bintang. Lelaki yang pendiam, tidak banyak bicara, dan sering berpapasan denganku di mushola kantor. Aku yang bekerja sebagai penulis di media, seringkali harus berinteraksi dengan Bintang yang merupakan ilustrator. Tapi entahlah, kami tidak pernah bicara berdua. Kalaupun hanya berdua, kami hanya saling diam. Aku yang bawel ini sulit mencari topik dengan Bintang, apa karena aku diam-diam menyukainya?

“Jar, gue mau ke Gandaria City sama Bintang, ikut gak?” tanya Maya padaku.

  Aku diam beberapa saat. Pergi sama Bintang? Itu akan canggung. Ah, tapi aku kan tinggal tidak perlu berbicara padanya. Lagipula mau membicarakan apa? Tapi karena aku butuh mencari hadiah untuk ulang tahun Langit, aku akhirnya setuju. Aku, Maya, dan Bintang sampai jam 7 malam di Gandaria City saat itu. Aneh, saat aku bicara dengan Maya, Bintang akan diam. Begitu pun ketika Bintang bicara dengan Maya, malah aku yang diam. Secanggung itu memang. Maya dan Bintang sesekali tertawa sambil berjalan berdampingan ke dalam toko. Aneh, aku merasa amat tak nyaman melihat kedekatan mereka berdua. Apa iya aku cemburu? Padahal mereka dekat karena berasal dari kota yang sama, Yogyakarta. Lagipula konyol sekali aku cemburu padahal aku punya Langit. 

“Gue mau lihat sepatu dulu ya. Nanti kalau mau balik chat gue aja, ” akhirnya aku pamit pada keduanya untuk melihat sepatu di toko lain. Keduanya mengangguk sambil melambaikan tangan mereka. Aku berjalan sendirian, mencari-cari sepatu untuk hadiah ulang tahun Langit. Hanya saja, karena aku masih bingung mau membeli sepatu formal atau kasual, aku hanya keluar-masuk toko tanpa membeli. 

  Aku kemudian berhenti di sebuah kedai bubble tea, lalu memesan minuman di sana. Setelah mendapatkan minumanku, aku baru menyadari bahwa rupanya Bintang juga ada di sana. Ia sendirian sambil menggambar sesuatu di iPadnya. Aku sempat bimbang beberapa saat sampai akhirnya menghampiri Bintang dan duduk di sampingnya, “Mayanya mana?”

“Maya tadi mampir ke salon dulu. Gue bosan jadi ke sini. Lo sendiri udah dapet kado buat pacar lo?” Bintang balik bertanya.

  Aku malah sempat terdiam, sejak kapan Bintang memanggilku dengan nama? Biasanya dia memanggilku “Mbak” karena aku lebih senior di kantor itu, dan umurku setahun lebih tua darinya. Dia juga sudah ber-“elo gue” meski masih terdengar kaku.  Saat itulah tanpa sengaja, tatapanku dan Bintang sempat bertemu, lalu sampai akhirnya kami saling mengalihkan pandangan. Duh apaan sih, aku salah tingkah nih? 

“Belum. Gue bingung, mau beliin sepatu formal apa kasual. Menurut lo gimana?”

“Kasual aja, biar lebih kepake.”

  Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kami berdua terdiam cukup lama, sampai akhirnya aku bertanya lagi. “Katanya lo punya pacar? Bertahun-tahun juga?” Bintang terdiam cukup lama, tampak kurang nyaman mendengar pertanyaanku. Dia memang pendiam, apa jangan-jangan aku terlalu mengganggu privasi dia ya? Aku jadi agak menyesal menanyakan hal itu, padahal kan aku cuma basa-basi. “Iya, 4 tahun. Lamaan lo kan, 8 tahun?” akhirnya Bintang buka suara. Aku tertawa kecil mendengarnya. “Iya. Lama. Lama banget sampai bosan. Tapi gimana lagi…”

“Gimana apanya?”

“Ya… gue cinta sama Langit. Cinta banget.”

  Bintang tertegun, wajahnya terlihat masam. Tunggu, apa dia tidak suka mendengar kata-kata bahwa aku mencintai Langit? Atau karena info itu terlalu detail untuk dia ketahuikarena sebenarnya dia tidak mau tahu juga? Entahlah. 

“Sayang ya… gak baik merebut sesuatu milik orang lain.” 

“Hah? Gimana… gimana??” tanyaku mendengar ucapan Bintang.

“Eng… enggak apa-apa,” Bintang kemudian sibuk menggambar lagi di iPadnya, lantas matanya seperti enggan lagi menatap ke arahku. 

  Aku mengernyitkan dahi. Kenapa sih dia? Sambil sibuk menghabiskan bubble tea-ku, aku menatap Bintang yang terus menunduk. Anehnya, aku tidak sebal padanya. Aku malah mendapati sesuatu, kok dia lucu juga? Sialnya, Bintang mendongak menatapku. Aku segera membuang mukaku, salah tingkah. Kami sama-sama diam. Sampai akhirnya Maya kembali dengan potongan rambut baru, menghampiri kami dengan senyum mengembang, “Pijaaar! Bintang! Bagus ga rambutku?”

  Aku terdiam. Bukan, bukan karena rambut baru Maya. Tapi karena mendengar namaku bersanding dengan Bintang. Pijar Bintang… kenapa nama kami berdua terdengar menyenangkan ketika disandingkan? Apa mungkin suatu saat nanti aku dan Bintang benar akan bersanding? Pikiran yang aneh dan konyol. Dan kini, tahun 2020, selepas aku memutuskan untuk berpisah dengan Langit, Bintang duduk di hadapanku, di Tempo Gelato di Yogyakarta. Bintang menatapku dalam-dalam sambil menggenggam kedua tanganku, lalu bertanya… “Pijar… boleh gak, aku mengklaim kamu sebagai milikku?” Aku bengong. Bengong sebengong-bengongnya.