Try new experience
with our app

INSTALL

Elegi Dua Hati 

Kunjungan Pertama

"Kamu yakin, Mas, udah siap ketemu sama Bapak dan Ibuk?" tanya Mia memastikan. Ia berhenti sebentar sebelum memasuki pintu pagar.

"Masih kau tanya pula! Ya sudah pasti siap dan yakin aku ini," jawab Fredy mantap. Keputusannya ini sudah ia pikirkan matang-matang sejak perbincangannya dengan Christian dua hari yang lalu saat liburan di pantai.

Melakukan pendekatan saja dulu. Urusan keyakinan, dipikirkan nanti belakangan. Fredy menarik kesimpulan sendiri.

"Yuk, kita masuk." Kedua sudut bibir Mia terangkat. Hatinya menghangat melihat keseriusan dari kekasihnya itu. Soal perbedaan, biarlah nanti akan diatasi pelan-pelan. Siapa tahu Fredy berubah pikiran dan mau pindah keyakinan.

"Eh, tapi tunggu ...." Mia menahan tangan Fredy, teringat sesuatu.

"Kenapa lagi?"

"Itu kalung kamu ... masukin dulu." Mia mengingatkan. Tidak ingin keluarga tahu dulu soal keyakinan Fredy. Nanti ada waktunya sendiri. Semua butuh proses.

Tanpa membantah Fredy mengikuti perintah Mia.

Setelah itu mereka berjalan beriringan, sambil Fredy menuntun motornya masuk ke halaman berpaving, menuju bangunan sederhana bergaya minimalis.

Sepi. Namun, pintu utama sudah terbuka.

"Assalamu’alaikum!" ucap Mia tiba di depan pintu.

"Wa’alaikum salam ... sebentar!" Lengkingan cempreng Mariyati, ibu Mia, menyahut dari arah belakang rumah.

"Silakan duduk dulu, Mas," ucap Mia, "aku mau ke belakang dulu."

Fredy mengangguk, setelah itu pandangannya menyapu seisi ruang tamu yang tak begitu luas.

"Eh, sudah datang to anak Ibuk."

Baru hendak membalikkan badan, Mariyati sudah tiba lebih dulu menyambut putri sulungnya tersebut. Mia lekas meraih tangan kanan sang ibu, lalu menciumnya takdzim. Pelukan hangat serta kecupan di kedua pipi, Mia dapatkan sebagai balasan.

"Itu siapa, Nduk?" tanya Mariyati setelah menyadari ada sosok pemuda berdiri di ujung sofa.

Sejak kedatangan ibu Mia, Fredy kembali beranjak berdiri sebagai bentuk penghormatan pada tuan rumah.

"Ini ... teman Mia, Buk. Mas Fredy namanya."

Fredy pun maju beberapa langkah, mendekat ke arah Mia dan Ibunya.

"Fredy, Tante," ucap pemuda itu dengan logat khas kebanggaannya sembari mengulurkan tangan.

Ibu Mia menyambut uluran tangan Fredy seraya tersenyum. Senyum yang terlihat kurang ikhlas.

"Silakan duduk lagi, Nak Fredy." 

Fredy mengangguk. “Terima kasih, Tante.”

"Ayo, kamu ikut Ibuk," ucap Ibu Mia berbisik sembari menyeret lengan putrinya masuk menuju dapur.

"Haiish ... ada apa to, Buk?" tanya Mia heran.

"Dia orang Medan, yo?" 

"Memangnya kalau Mas Fredy orang Medan, kenapa, Buk?" Mia balik bertanya, melihat mimik tidak suka dari raut wajah yang sudah menampakkan kerutan penuaan di beberapa bagian. 

Harusnya setelah mendengar logat bicara pemuda itu, Mariyati tidak perlu mempertanyakan lagi. Sudah jelas. Ada kekhawatiran di hati Mia.

"Dia pacar kamu?" cecar sang ibu tanpa menjawab pertanyaan sekaligus rasa penasaran Mia.

Mia mengerjap gugup. Bingung harus menjawab apa. Belum siap jika kondisinya mendadak seperti ini. "Itu–"

"Lho, lho, lho. Ini piye to? Kok malah ngobrol sendiri. Ada tamu bukannya dibuatin minum." Suara berat seseorang mengagetkan Mia dan ibunya. Dia Harun, bapak Mia.

Selamet. Mia menghela napas lega. Kedatangan sang bapak, seperti dewa penolong baginya saat ini.

Sama seperti yang dilakukan pada Maryati ketika ia baru tiba tadi, Mia langsung menyambar tangan kanan pria itu lalu menciumnya.

"Sudah cepetan ... bikinkan Nak Fredy minum. Kasihan dia capek, jauh-jauh nganter kamu pulang malah ndak disuguhi apa-apa." 

Mia mengangguk sembari tersenyum. Ternyata sambutan sang bapak berbeda dengan ibunya.

"Bapak, kok, sudah pulang?" Maryati memandang suaminya dengan sedikit kesal. Ia gagal mendapat jawaban dari Mia.

"Pak Lurahnya ndak ada. Ya sudah, Bapak pulang lagi," sahut Harun sambil berlalu, kembali menuju ruang tamu.

Ternyata tidak lama setelah Mia dan Mariyati masuk, Harun yang sebelumnya pergi ke kantor kelurahan, pulang lagi. Sedikit terkejut melihat ada seorang pemuda asing di dalam rumahnya. 

Fredy sudah bisa menebak jika orang yang baru datang tersebut adalah bapak Mia, melihat dari wajah teramat mirip dengan gadis itu. Ia langsung saja memperkenalkan diri.

Fredy menjelaskan bahwa ia mengantarkan Mia karena merasa khawatir kalau gadis itu dibiarkan pulang sendiri. Lagipula, jarak antara Malang dan Jombang tidak terlalu jauh, hanya sekitar sembilan puluh kilometer. Perjalanan kurang lebih tiga jam menggunakan sepeda motor, tidak terasa melelahkan jika diselingi tawa juga canda.

Fredy dan ayah Mia terlibat obrolan basa-basi selama beberapa menit hingga kemudian Harun memutuskan untuk pergi ke belakang, mencari keberadaan istri dan anaknya yang tak kunjung datang membawa suguhan.

Lima menit kemudian ....

"Maaf, Mas. Kelamaan nunggu." Mia berucap sembari menata minuman di atas meja, diikuti Maryati dari belakang yang membawa dua toples camilan.

Fredy hanya tersenyum. Mata pemuda itu menatap kedua orang tua Mia yang kemudian duduk di hadapannya. Mia sendiri memilih kursi terpisah dengan mereka.

“Nak Fredy kapan pulang ke Medan?” Ayah Mia membuka percakapan.

“Rencana besok siang, Pak. Maklum lah, aku ini susah kali bangun pagi. Jadi sengaja pilih pesawat siang saja,” jawab Fredy yang berusaha berucap dengan sopan. 

“Oh, kalau di sini, ndak bisa bangun siang, Mas. Semua orang harus sudah bangun paling lambat jam empat pagi. Kami biasa salat malam, sekalian nunggu subuh. Kalau kesiangan, rejekinya dipatok ayam.” Harun sengaja menekankan perihal salat sekaligus untuk memancing Fredy mengatakan tentang agamanya. Yang ia tahu, orang Medan, khususnya Batak, mayoritas beragama Nasrani. “Silahkan, sambil diminum, Nak Fredy.”

Fredy mengangguk dan meraih cangkir kopi di depannya. Ditiup, lalu disesapnya pelan-pelan.

“Sebentar lagi kalian sudah lulus. Habis itu, Nak Fredy mau kerja apa langsung nikah?” Harun kembali memancing. 

“Wah, kalo aku ya kerja dulu lah, Pak. Biar Mamak aku di kampung merasakan dulu duit hasil kerja kerasku. Setelah itu baru menabung untuk melamar gadis pujaanku,” jawabnya sembari melirik ke arah Mia. 

Mia pura-pura tidak melihat, sengaja menatap ke arah lain. 

Duh, dijebak Bapak kok ya malah liat sini toh orang ini, gerutu Mia dalam hati.

“Wah, bagus itu. Laki-laki memang kudu tunjukkan tanggung jawab pada keluarga. Apalagi, setelah menikah, pria tetap punya tanggung jawab pada keluarga besarnya. Berbeda dengan wanita, yang setelah menikah menjadi hak mutlak suaminya.” 

“Betul itu, Pak. Aku ini pria bertanggung jawab, gemar menabung, dan tidak sombong,” jawab Fredy mempromosikan dirinya.

Harun menatap geli pada Fredy. “Nak Fredy ini humoris, ya. Bapak suka.”

Yang merasa dipuji, tersipu-sipu. 

Ah, awal yang baik, batin Fredy. Dia berdehem dan meraih camilan di toples walau belum dipersilahkan. Perutnya terasa lapar, tadi tak sempat sarapan. 

“Mia sendiri rencana ambil S2 dulu. Habis itu baru kami nikahkan dengan pria yang tepat. Ndak harus kaya atau berlebih. Yang penting baik, bertanggung jawab, muslim taat, supaya bisa membimbing dia meraih bahagia dunia dan akhirat. 

Agama itu harga mati buat kami orang-orang di sini. Kalau silaturahmi, berteman dan bersaudara, kami tak pernah membedakan agama. Tapi untuk pernikahan, ketaatan sebagai seorang muslim, itu pertimbangan utama. Islam saja tidak cukup, harus bagus ibadahnya.”

Fredy terbatuk-batuk. Matanya melotot, terkejut. Camilan yang baru saja ia telan, tiba-tiba berhenti di tenggorokan. Mungkin ikut terkejut mendengar penuturan panjang lebar ayah Mia tentang kriteria calon suami untuk anaknya tersebut.