Contents
Elegi Dua Hati
Sebuah Rencana
“Itu ... tadi bapakmu kirim foto.”
“Foto apa?”
“Kamu masih ingat anaknya Pak Darmaji, yang sekolah di Kairo?”
“Yang mana, yo, Buk?” Tampak Mia mengingat-ingat.
“Itu lho Fakhri ... dia yang dulu pernah kamu tendang burungnya?” Sang ibu mengingatkan, flashback kejadian sepuluh tahun silam.
Pernyataan ibu Mia hampir membuat Fredy, Christ dan Merry tertawa. Namun, dengan cepat mereka membekap mulut masing-masing.
Sementara Mia hanya nyengir mengingat kelakuannya yang seperti preman pasar di waktu kecil. “Oh, dia toh? Tapi, Mia sudah lupa wajahnya, Buk.”
“Nggantheng saiki bocahe, Mi. Katanya nanti kalo kamu pulang, dia mau ketemu kamu. Oh ya, kamu jadi pulang kapan?”
“Insya Allah hari Rabu, Buk.”
“Ini, kamu di mana to? kok, suarane gemberebek (berisik). Mia panik, bola matanya berputar ke arah ketiga orang di sekitarnya, bergantian.
"Di jalan." Fredy berucap tanpa suara, memberi usulan.
“Ini Mia lagi di jalan, Buk. Ya sudah, Mia tutup dulu. Nanti tak balas lewat WA saja. Assalamualaikum ....”
Sambungan telepon pun terputus. Dengan mengunakan tangan sebelah kiri, jempol Mia bergerilya membuka aplikasi warna hijau tersebut. Ada rasa penasaran dengan apa yang disampaikan sang ibu.
Masa sih, sekarang dia ganteng? Padahal dulu dia item rembes dan hidungnya gak pernah mampet. Ingusan.
"Oh iyo, nggantheng," lirih Mia.
Kening Fredy berkerut mendengar kata yang diucapkan kekasihnya itu. Lalu kepala dia melongok ke samping ikut melihat sosok yang dipuji Mia. Penasaran juga.
"Masih manisan aku ternyata," celetuk Fredy membandingkan.
"Jangan bilang kau terpesona sama itu cowok," sambungnya dengan nada sedikit ketus.
Mia memutar bola mata malas.
"Telat kamu, Mas, ngomong kayak gitu. Kalo aku mudah tergoda ... mungkin kamu udah tak tinggal dari dulu."
"Betul itu," sahut Merry membenarkan.
"Aku aja heran sampe sekarang. Kok, mau-maunya gitu, kamu itu sama Fredy. Kalo gak salah, kamu pernah ditaksir sama kakak senior yang mukanya kearab-araban itu, kan, ya? Kenapa dulu kamu gak milih doi aja?" imbuh Christian. Senang sekali ia melihat sahabatnya itu cemburu. Kesempatan bagus untuk menggoda Fredy.
"Jangan jadi provokator kau, Christ!" Fredy melempar bekas bungkus nasi yang sudah ia kepal menjadi bulatan seperti bola kasti.
Christian menangkap dengan sigap lemparan dari Fredy sambil terbahak.
"Kalian itu apa-apaan, sih? Lagian nih, ya, cintaku itu hanya untuk Mas Fredy. Jadi, mau seganteng apa orang-orang yang naksir, ndak bakal mempan," jelas Mia sambil bergelayut manja di lengan sebelah kiri Fredy. Hanya dengan bersikap seperti itu, ternyata cukup ampuh meluluhkan hati Fredy yang sedang terbakar cemburu.
"Ya, ini ... yang dibilang cinta itu buta," pungkas Merry.
“Tapi sebuta-butanya cinta, masih bisa bedain duit sepuluh ribu sama seratus ribu, kok,” celetuk Christ. “Buktinya Merry happy kalo dikasih cepek, manyun kalo cuman ceban.”
Berempat sampai lupa waktu karena terus saja berbincang tak jelas arah. Bahkan sembari mengumpulkan beberapa kayu untuk api unggun, mereka masih saja tergelak bersama. Setelah dirasa cukup untuk persiapan nanti malam, dua pasangan kekasih itu mandi di toilet umum yang memang tersedia di sana.
Malam harinya, mereka berbincang sembari sesekali bernyanyi bersama. Tentu saja, Mia yang punya suara paling fals. Tiga orang lainnya sudah terbiasa menyanyi dalam ibadah mereka. Tak sulit untuk menyesuaikan nada dan mengatur pernapasan.
“Mamamia ... suaramu indah sekali,” ledek Merry.
“Asem tenan. Iyo, aku emang paling ndak bisa nyanyi. Ya wis, aku diem aja.” Mia cemberut.
“Bah, suara kau itu selalu terdengar merdu di telingaku. Bahkan bunyi kentutmu pun ibarat lagu Rayuan Pulau Kelapa. Syahdu sekali, Bidadariku,” hibur Fredy.
“Ngeledek, ih.” Mia menjewer telinga Fredy. Dia malu karena pemuda itu membongkar rahasia pribadinya.
Kentut Mia dari golongan telaten serta lemah lembut. Pelan, halus, tapi panjang bunyinya. Seperti tikus terjepit. Ciiit .... Berbeda dengan Fredy yang memang sesuai dengan karakternya. Sekali tuntas, tapi berdebum keras.
Malam semakin larut. Dua pasangan sudah lelah bernyanyi. Tersisa Christ yang masih menarikan jemari, memetik senar-senar gitar yang dipeluknya. Yang lain, diam, hanyut dalam suasana sendu yang tercipta.
“Tidur, yuk. Besok biar bisa bangun pagi-pagi,” kata Merry. “Aku pengen lihat sunrise.”
“Sunrise itu bukannya sabun cuci piring? Ngapain pula kau lihat itu jauh-jauh ke sini, Mer. Ke dapur aja bisa,” goda Fredy.
Merry melempar batu kecil ke arah pemuda itu.
“Mi, yuk,” ajaknya pada Mia.
“Eh, eh. Tunggu dulu. Sekali-sekali kita tidur dengan pacar masing-masing. Mumpung suasana lagi romantis,” cegah Fredy.
“Ogah. Belum nikah kok udah tidur bareng. Ndak mau aku,” tolak Mia sembari bangkit berdiri dan masuk ke dalam tenda.
“Kita di sini aja, Mer!” teriak gadis itu.
Merry mengecup pipi Christ. “Met tidur, Sayang.”
“Met tidur juga, Cintaku,” jawab Christ sembari tersenyum.
“Bah, enak kali kau, Christ. Aku boro-boro dapet ciuman. Ucapan selamat malam pun tak kunjung kudapat,” keluh Fredy.
“Selamat malam ... Mas Fredy tersayang,” ucap Mia sengaja meledek, lalu menutup pintu tenda begitu Merry tiba di dalam. Sejurus kemudian, keduanya sudah tertidur pulas.
Fredy beringsut mendekati Christ, membuat pemuda itu menoleh, menatap dengan penuh tanda tanya.
“Mo ngapain lo? Jangan minta gue cium pipi lo, mentang-mentang Mia nggak mau,” ucap Christ sedikit menggeser badannya.
“Otakku memang sudah geser, tapi orientasi tidak. Dasar kau ini!” Fredy mendelik.
“Aku mau diskusi denganmu,” kata Fredy setengah berbisik.
“Tumben. Apaan, sih?”
“Kita harus cari jalan keluar, supaya bisa menikah dengan pacar tersayang kita. Apa kau punya rencana?”
Christ meletakkan gitar di sampingnya. “Gue sih, rencana mo hamilin Merry aja. Dengan gitu, keluarga pasti merestui. Merry juga pasti mau nggak mau, nikah, ikut agama gue. Kalo lo?”
“Gile lo, Ndro ...! Merry memangnya mau?” Fredy terbelalak ngeri mendengar ucapan Christ.
“Dia nggak tahu rencana itu. Tapi lo kan tahu, kami udah mesra banget. Tinggal atur sedikit suasana romantis, bisa sih keknya gue hamilin dia.” Christ berucap dengan enteng. “Lo sendiri, apa rencana lo?”
“Aku rencana di kampung, mau belajar lagi soal agamaku. Ya, setidaknya kalo mau meyakinkan Mia, aku juga harus paham dulu tentang keyakinanku. Bisa kalah debat aku nanti sama dia.” Fredy memberikan penjelasan.
“Oh, jadi berharap bisa menang debat, terus Mia pindah agama? Nggak semudah itu, Ferguso!”
“Untuk saat ini, hanya itu cara yang bisa aku pikirkan. Kalau untuk menghamili, susah. Bisa babak belur aku dihajar Mia.”
“Dasar, lelaki lemah. Badan doang gede, nyalinya ciut!” Christ mencibir.
“Tak sampai hati lah aku mengambil kehormatan orang yang kusayang. Lagipula jodoh itu dijaga, bukan dirusak,” balas Fredy bijak.
“Gue bukan merusak, cuma ambil jatah duluan!” Christ tak mau kalah.
“Ah, sudahlah. Aku mau tidur.” Fredy beranjak, masuk ke dalam tenda satunya.
Christian masih duduk dan kembali meraih gitarnya. Tekad pemuda itu sudah bulat. Dia akan segera mengatur makan malam romantis di sebuah hotel di Kota Batu. Perjalanan hanya tiga puluh menit dari Malang.
Merry pasti akan tersentuh dan memberikan semuanya untuk gue.