Try new experience
with our app

INSTALL

Elegi Dua Hati 

Pantai Cinta

Membayangkan dirinya dimusuhi keluarga besar saja sudah membuat bergidik ngeri. Ditambah lagi, dia memang sangat mencintai agamanya, walau sangat jarang beribadah. 

“Tuhan itu sama saja, Mi. Cuma agama saja yang berbeda-beda. Agama itu hanya cara kita memanggil Tuhan dan perlakuan kita pada-Nya. Sama kek Abang ini manggil kau Bidadari, si Merry panggil kau Mamamia. Caraku menyikapimu juga pasti berbeda dengan cara si Merry. Kek gitu intinya. Jadi nggak penting agama apa, Tuhannya tetap sama,” ucap Fredy masih berapi-api.

“Ya sudah. Kalo memang semua agama itu pada dasarnya sama, Mas Fredy aja yang pindah ke Islam. Gampang toh?” tantang Mia.

Keduanya kembali larut dalam sunyi dan kebisuan. Perdebatan yang tak ada ujung pangkalnya. Sama-sama cinta pada agama, keluarga, dan Tuhan mereka masing-masing. 

“Nikah beda agama, gimana?” Fredy mengajukan usul.

Mia kembali menoleh dengan tatapan tajam. “Mana bisa. Dalam agamaku, nggak sah kalau nikah beda keyakinan. Mas Fredy ndak bisa jadi imam untukku dan keluarga kita. Memangnya di agama kamu diizinkan?”

“Nggak tahu juga aku. Nanti aku tanya dulu. Ah, tapi percuma. Kau kan tidak mau.” Fredy mendengkus kesal.

“Aku ndak bisa, Mas ... kalo harus menikah beda agama. Pilihannya hanya satu. Kamu pindah ke agamaku. Titik nggak pake koma,” tegas Mia.

“Bah, enak kali kau bicara. Kau yang harus pindah. Wanita itu kan ikut apa kata pria. Aku ini kepala keluarga. Tanda seru nggak pake tanda tanya,” balas Fredy. 

“Belum nikah woi! Enak aja bilang kepala keluarga. Lagian ini sudah zaman modern. Nggak pernah denger emansipasi wanita, ya?”

“Emansisapi boleh saja, tapi namanya kepala keluarga, itu tetap pria. Mana ada pria dipimpin wanita.” Fredy bersikukuh.

“Eman-si-pasi woi! Itu kerajaan Inggris yang mimpin seorang ratu, bukan raja.” Mia tak mau kalah. Gadis yang biasa bertutur kata lemah lembut sedikit terpancing emosi.

“Itu karena rajanya sudah ko’it alias mati. Nanti yang gantiin kan si pangeran itu.”

“Dih, belum tentu. Buktinya pas Pangeran Charles udah dewasa, tahta masih tetap dipegang si Ratu Elizabeth.” Mia terus mengajukan argumen.

“Itu karena nggak tega mamaknya dia gusur dari tahta. Kau tak pernah ngobrol sih sama si Charles. Kami ini sohib dekat, biasa main gobak sodor bareng pas di kampung,” kelakar Fredy. “Charles Situmorang.”

Mia lalu tertawa. Fredy selalu saja mampu meredakan emosinya. Guyonan garing dia tak pernah gagal memeriahkan suasana.

“Dasar jendol.” Mia masih tertawa sembari menjewer mesra telinga Fredy. Keduanya kembali terlarut dalam perbincangan santai dan guyonan-guyonan ringan. 

“Sudah sore. Cepat kali waktu berlari. Nggak laper kau?” Fredy melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga sore.

Waktu memang terasa cepat berlari, saat kita bersama dengan orang terkasih. Masa berjalan demikian lambat, ketika rindu membuat kita tercekat. Sepertinya, Sang Penguasa Waktu punya cara tersendiri untuk bermain rasa.

“Kita makan nasinya sekarang, yuk. Aku siapin dulu. Mas Fredy panggil Christ sama Merry. Tuh, mereka jauh di sana,” kata Mia sembari bangkit dan melangkah menuju tenda mereka. Tadi dia sudah sempat membeli empat bungkus nasi di warung sebelum masuk ke area pantai.

Fredy setengah berlari menghampiri dua sahabatnya yang sedang duduk mesra. Terlihat Merry duduk di depan Christ dan menyandarkan tubuh pada pemuda itu. 

“Mesra kali kalian ini. Bikin aku nganan aja,” ucap Fredy mengejutkan Merry dan Christ yang sedang larut dalam pikiran masing-masing.

“Ngapain kamu iri. Sono sama Mia.” Merry beringsut dari tubuh Christ.

“Bah, macam mana pula sama dia. Pegang tangan itu sudah maksimal. Peluk, apalagi cium, belum pernah aku dikasihnya,” gerutu Fredy. 

Memang, selama ini Mia selalu membatasi untuk tidak melakukan lebih dari sekadar berpegangan tangan. Pelukan, hanya dilakukan saat berboncengan motor saja. Selebihnya, mereka memang belum pernah.

“Rayu, dong. Masa seorang Fredy Siahaan nggak bisa, sih. Rugi punya mulut, kalo cuma dipakai buat makan. Lihat, nih.” Christ mencium pipi Merry. “Hemmmmm, enak.”

“Asem kalian ini. Ayo kita makan!” teriak Fredy disambut gelak tawa Merry dan Christ. “Yang terakhir sampai di tenda, harus buang sampah dan bikinin kopi. Gimana?”

“Oke, siapa takut?” jawab Christ.

“Satu ... dua ... tiga!” Merry berhitung.

Kedua pemuda itu berlari dengan cepat sembari berteriak. Merry menyusul di belakang mereka.

“Aku menang!” Christ bersorak kegirangan. 

Ketiganya menunggu Merry yang tiba beberapa puluh detik kemudian, lalu mulai makan.

"Mi, sudikah kiranya kau menyuapiku?" ucap Fredy tiba-tiba dangan nada bicara yang dibuat-buat.

Mia yang baru saja memasukkan makanan ke dalam mulut seketika menoleh ke arah pemuda yang sedang memasang tampang sok manis.

Di seberang sana tampak Christian dan Merry mengulum senyum melihat tingkah Fredy.

"Mas Fredy punya tangan, toh?" tanya Mia setengah menyindir. Waktunya kurang tepat jika ingin bermanja-manja. Perut Mia kini terasa sangat lapar karena terlalu lama bermain air di pantai.

"Tak asik kali kau, Mi," cibir Fredy kecewa.

Mia hanya cuek menanggapi sambil terus memakan makanannya dengan lahap.

"Buka mulutnya, Sayang." Terdengar Merry memberikan perintah pada Christian. Gadis berambut lurus sebahu itu sengaja memanas-manasi Fredy yang sedang cemberut.

"Ah, romantis sekali kekasihku ini," sambut Christ sambil menahan senyum. Ekor matanya melirik ke arah sepasang kekasih di seberang mereka.

Sialan! Fredy mendelik. Sadar kalau dia sedang diejek oleh kedua sahabatnya itu. Tangan yang semula bergerak hendak membuka bungkus nasi, seketika terhenti.

"Kok, ndak dimakan?" tanya Mia.

"Tak berselera aku," sahut Fredy seraya memutar tubuh menghadap ke pantai dengan kedua lutut tertekuk ke atas.

"Ciieee ... ada yang ngambek." Merry menggoda. "Udah lah, Mi. Tinggal suapin doang, apa susahnya? Apa perlu aku yang nyuapin Fredy?" lanjut Merry beralih menggoda Mia.

Dasar biang kerok! Bibir Mia mencebik, acara santap sorenya jadi terganggu.

"Ya, sudah. Sini tak suapin." Mia sedikit menarik bahu Fredy agar berputar kembali ke posisi semula. 

“Dasar mengkek!" sambungnya berseloroh menggunakan bahasa Medan. 

"Apa pula kau katai aku mengkek? Kan sah-sah saja kalau aku ingin dimanja sama bidadariku ini." Fredy menoel dagu Mia. Gemas. Christ dan Merry hanya bisa memutar kedua bola mata malas. Ternyata Fredy hanya pura-pura ngambek.

Langgengnya hubungan sepasang kekasih ini tak luput dari tingkah polah absurd Fredy yang membuat hubungan mereka berwarna. Tidak datar dan membosankan.

Di tengah acara makan berlangsung, ponsel Mia tiba-tiba berdering. Gadis itu lekas menyambar ponsel yang ia letakkan di atas tikar, melihat sejenak nama yang tertera pada layar.

Bapak!

Tak langsung menjawab, tatapannya beralih pada Fredy, tanda meminta pendapat. Diangkat atau tidak.

"Ya sudah, angkat saja. Siapa tau penting," kata Fredy mengerti maksud kekasihnya itu. Mia mengangguk lalu menggeser ke samping panel berwarna hijau tersebut.

“Ada apa, Buk?” tanya Mia setelah mengucap salam. Ternyata orang yang berbicara di ujung sambungan adalah sang ibu.

“Ibuk kirim pesan WA. Kok ndak dibuka-buka to, Nduk?”

Tak ingin acara makan sorenya terganggu lagi, Mia menghidupkan mode loudspeaker. Namun, sebelumnya ia juga memberikan instruksi pada orang di sekitarnya agar tidak bersuara.

“Maaf, Buk. Mia ndak tau. Tadi lagi sama teman-teman soalnya, bahas kuliah. Memangnya tadi Ibuk kirim pesan apa?”