Contents
Pelangi Setelah Hujan
Cinta dan Setia
-ANGGA
"Kapan kamu ganti istri?” Tanya Mama padaku pada saat aku mau berangkat kerja.
Pertanyaan itu bagaikan halilintar yang menyambar di siang hari. Aku terdiam sembari melirik Kinanti istriku yang sedang membereskan sisa sarapan.
“Ma, udahlah. Sabar aja dulu, kami masih berusaha ngasi Mama cucu."
“Kapan? Seratus tahun lagi? Atau menunggu Mama mati penasaran?”
“Kan, baru lima tahun kami nikah."
“Ah, aku udah gak sabar rasanya, liat bocah bermain di rumah ini," tandas Mama dengan raut wajah cemberut menjauh dariku.
Aku hanya menatap ayunan langkah Mama menuju teras. Kulihat dia mengempaskan tubuhnya sembari melontarkan kata-kata celaan tentang istriku dengan melemparkan pandangan ke jalan.
Tak terlihat lagi siapa pun di ruang tengah. Hanya terdengar suara air dan gesekan piring dari arah dapur. Istriku membereskan peralatan makan. Meskipun kami memiliki asisten rumah tangga, tetapi dia tidak sungkan untuk turun langsung ke dapur membantu. Aku bukan memuji, tetapi siapa pun yang pernah mencicipi racikannya akan berkata hal yang sama.
Detak jam dinding menarik sudut netraku untuk melihat angka yang ditunjuk, "Jam setengah delapan, aku harus berangkat sekarang sebelum jalanan macet," bisikku.
Aku beranjak dari tempat duduk mendekati Kinanti yang sedang menarik kain di sudut lemari untuk mengeringkan tangannya.
“Dek, aku berangkat kerja dulu,” pamitku sembari memegang pundaknya.
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan," jawabnya sambil mengusap sudut mata yang berkaca-kaca.
"Jangan menangis."
Dia hanya menatap lantai, lalu menggelengkan kepala perlahan. Tangannya memegang dada menahan sesak.
Aku tahu apa yang membuatnya sedih. Dia mendengar ucapan Mama tadi saat menyuruhku menggantikan dirinya dengan wanita lain. Aku paham dia bukan satu di antara perempuan di dunia ini yang rela berbagi suami. Mungkin dia menyerahkan suaminya, tetapi setelah itu ... dia akan pergi. Sementara aku. Aku tak sanggup berpisah dengannya. Namun, Mama selalu menyerangku dengan kalimat minta cucu.
“Dek, jangan lupa, yah. Minum suplemen."
“Iya, Mas," ucapnya sembari menatapku tersenyum.
Mengingatkan untuk minum suplemen penyubur kandungan sudah menjadi rutinitasku tiap pagi, siang dan malam. Aku pun ingin istriku segera hamil. Tak ada yang salah dari diriku. Aku memilki benih yang sehat. Namun Kinanti masih harus konsumsi suplemen penguat kandungan agar rahimnya kokoh untuk berdiamnya janin.
Aku mengelus punggungnya lalu berjalan meninggalkan dapur, dia mengikuti dari belakang dengan wajah tertunduk menuju teras.
“Ma, aku berangkat."
“Iya," tukasnya.
“Dek, aku jalan dulu, yah," bisikku sambil mengelus rambut hitamnya sambil berjalan menuju garasi mobil.
Tanpa jeda waktu lama, mobilku sudah melaju di jalan beraspal berjejal dengan kendaraan lainnya. Sesekali mata melirik ke kaca spion untuk memastikan posisi kendaraanku aman dari yang lain.
Tetiba gawai di saku bergetar. Aku meraih dan membaca pesan dilayar.
‘Mama pengen cucu. Pulang kantor kamu langsung ke rumah Tante Lisna. Mama tunggu di sana. Dia punya anak gadis bernama Elsya. Kamu harus kenalan.’