Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

Astika 

Astika

“Kenapa tidak masuk, Astika?”

Gadis kecil bertubuh gempal itu menggeleng, menyebabkan rambut cokelat ikalnya terjatuh ke depan muka. “Aku mau masuk bareng Ayah.”

Cuaca malam ini terasa lebih menusuk dibanding malam-malam sebelumnya. Entah angin dari mana yang membawa hawa mengerikan itu. Aku sampai menggigil berkali-kali. “Hari udah malam, cuaca diluar dingin.” Kugenggam tangan mungil gadis itu. “Ayo masuk, sayang."

***

Aku tak ingat persis awal mula kutemukan diriku mematung di trotoar jalan utama, membelakangi riuh kerumunan orang-orang. Beberapa mobil polisi terparkir di pinggir jalan. Kulihat tiga petugas bergegas memecah keramaian. Retinaku sempat menangkap sesosok lelaki tengkurap dengan pakaian berlumuran darah di tengah kerumunan, yang segera diamankan petugas.

Lelaki itu--dari bentuk tubuhnya yang tak lagi sempurna, serta kondisinya yang berlumuran darah, aku yakin dia adalah korban tabrak lari. Ah, malang sekali nasibnya. Tak bisa kubayangkan pecah tangis keluarganya saat menyambut mayat itu.

Malam itu sebelum pulang, kusempatkan mampir ke warung di persimpangan tak jauh dari rumah. Astika pasti senang jika aku membawa permen payung kesukaannya.

Aku selalu merindukan gadis itu. Tinggal berdua saja bersama Astika sepeninggalan istri tercintaku rupanya telah membangkitkan sisi kebapakan dalam diriku. Bekerja dari waktu ayam berkokok hingga kelelawar terbangun, kujalani demi gadis kecilku. Rasa lelahku selalu sirna ketika kutemukan wajah Astika menyembul dari balik pintu rumah kayu sederhana kami, memamerkan dua gigi depannya yang ompong.

Pukul delapan malam. Pintu rumah kuketuk dua kali. Tak lama, Astika menyembulkan kepala. Sinar lampu teras menyorot wajah putihnya. Tapi, ada yang berbeda dengan putriku malam itu. Biasanya permen payung selalu sukses membuat tubuh gendutnya melompat kegirangan. Tapi malam itu, alih-alih gembira, Astika malah mundur perlahan dengan wajah ketakutan.

"Astika, Ayah bawakan permen buat kamu.”

Kulihat Astika diam. Mata beningnya menatap tajam—yang sejenak membuatku merinding.

“Ada apa, Astika, sayang? Kamu sakit?”

Gadis itu menggeleng, membuat pipinya yang tembem sedikit memantul, sejurus kemudian ia berlari ke kamarnya.

Aku mematung, tak percaya apa yang terjadi. Malam itu setelah menolak oleh-oleh yang kubawakan, Astika mulai menunjukkan sikap anehnya; menghindar dariku. Dia selalu menyorot aneh padaku, seperti tatapan bocah yang melihat sesosok hantu.

Semua terjadi bergitu cepat, dan aku tak menemukan penjelasan logis dari perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Misalnya saat seharian aku di rumah, Astika akan bermain di luar hingga sore. Atau saat aku memasak untuknya, dia tak akan keluar kamar untuk makan bersamaku.

Pernah juga suatu ketika aku pulang, kutemukan Astika berdiri mematung di ambang pintu. Tangannya mengacungkan sebilah pisau dapur ke arahku. Aku kaget bukan kepalang. Buru-buru kulepas sepatu, dengan hati-hati kucoba mengambil alih benda tajam dari tangannya. Astika malah histeris, lalu menyabetkan pisau ke udara dengan gerakan acak, yang sebagian besar berhasil menggores tangan serta wajahku.

Tapi aku adalah ayahnya, dan aku harus tahu penyebab perubahan sikap Astika, walaupun harus dengan sedikit paksaan.

Di malam berikutnya aku sengaja pulang lebih cepat. Astika tidak menyambut di depan pintu. Setelah membereskan tas dan sepatu, kuketuk pintu kamarnya berkali kali. Aku tahu Astika di dalam, namun gadis kecil itu tak menjawab. Sedikit kesal, aku mulai memukul kasar pintu kayu yang jadi penghalang. Entah berapa lama aku melakukannya hingga akhirnya pintu terbuka berkat sedikit tenaga dari kakiku. Namun apa yang kutemukan di dalam membuatku nyaris tak bisa bernapas.

Jendela kayu di kamar itu terbuka, dan Astika raib. Begitu kudengar bunyi langkah terseok di samping rumah, aku berlari mengejarnya.

“Astika! Sayang! Mau ke mana?!” Teriakku.

Beruntung, langkahku yang besar-besar mampu mengejarnya dengan mudah. Sampai di ujung gang menuju jalan raya, kutarik lengan Astika untuk kemudian kudekap. Kurasakan kulitnya begitu dingin. Gadis itu lantas menangis dan berteriak histeris. Tapi aku tak peduli, aku tak ingin dia pergi dariku.

“Jangan, Astika. Jangan tinggalkan Ayah,” lirihku di malam yang dingin itu.

Kurasakan Astika berhenti meronta, sehingga aku mengendorkan tanganku. Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa menghantam perutku. Aku mengerang kesakitan. Astika melepaskan diri.

Kulihat dia berdiri satu meter di depanku. Di bawah sorot purnama, gadis itu menatap berang. Aku melihatnya seperti sesosok setan kecil; kulitnya terlihat pucat pasih, dan matanya merah menyala. Entahlah, saat mata kami beradu, aku dapat melihat kebencian teramat yang dalam di matanya.

Brak!!

Batu di genggaman Astika terlempar mengenai pelipisku. Sekali lagi aku mengerang, darah segar mengucur deras.

Setelah itu Astika berlari—entah ke mana, aku kehilangan jejak gadis itu. Setengah jam kemudian aku kembali ke rumah, berniat mengobati luka di pelipisku.

Membawa semangkuk air dingin dan handuk kecil, kuhenyakkan tubuh di satu-satunya sofa usang di ruang tamu. Mataku mengedar ke penjuru ruangan, lalu berhenti pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding dekat jendela. Oh, potret yang indah. Astika sangat mirip dengan ibunya. Wajahnya yang berisi, matanya yang menyipit saat tertawa, serta hidungnya yang lebar. Kecuali itu, tubuh gempalnya.

“Astika, kenapa kamu tiba-tiba membenci Ayah?!”

Mungkin perubahan sikap Astika menjadi awal perubahan sikapku. Aku terpukul dan frustasi menghadapi sikap Astika. Gadis itu adalah sumber bahagiaku, tapi bahagia itu kini sirna. Aku menjadi pria yang tak bahagia, dan dipenuhi masalah. Frustasi itu semakin menjadi-jadi saat aku resmi dipecat dari pekerjaanku.

Kebahagiaan yang lenyap membuatku beralih mencari sumber bahagia baru. Misalnya, menghabiskan malam di diskotik atau sekadar nongkrong menghabiskan berkotak rokok bersama orang yang tidak kukenal. Perlahan, aku mulai melupakan kehadiran Astika. Kasarnya, aku telah menemukan bahagia yang baru. Anggaplah perubahan sikap itu adalah caraku mengimbangi perubahan pada diri Astika.

Malam itu, aku pulang dalam keadaan mabuk berat setelah seharian keluyuran. Astika yang membukakan pintu. Aku berjalan sempoyongan. Kepalaku terasa berat, dan perasaanku berantakan. Aku baru saja selesai menutup pintu, lalu berencana masuk ke kamar untuk sedikit berpikir tentang pekerjaan—tentu saja aku masih perlu uang, bahkan untuk mabuk-mabukkan—sebelum kudengar sebuah suara keras terdengar dari dapur. Suara itu persis seperti bunyi piring pecah, lalu disusul pekikan khas seorang bocah. Astika?! Dengan hati membara, kutarik langkah kasar menuju dapur.

Gadis itu berdiri melongo, menampakkan raut pucat pasih di tengah beling yang berhamburan dan mie yang berserakan. Darahku seperti terpompa naik bergitu cepat, kurasakan air mukaku memerah. Sungguh marahku tak terbendung untuk berteriak pada gadis itu.

Astika terdiam mendengar teriakanku. Sesuatu menerobos deras dari sudut matanya. Malam itu, aku tahu bahwa aku telah sepenuhya dikuasai oleh iblis sehingga nuraniku sama sekali tak tersentuh melihat air mata Astika. Rasa benci menyeruak, membuat tanganku meraih sebilah parang yang terselip di bawah meja makan.

Seperti kesurupan, kutarik kasar rambut ikal gadis itu hingga kepalanya miring, kuseret untuk kemudian kuhantamkan ke dinding. Berkali-kali kuulangi, aku merasa puas mendengar rintihan nyaring Astika.

“Ya, ini balasan karena kamu berani menghindari Ayah, Astika sayang. Kamu rasakan sakitnya? Nikmatilah!”

Parang itu menghantam kepalanya. Bukan pada sisi yang tajam, tapi aku cukup tahu benturannya yang keras dapat membuat gadis itu terluka parah. Napasku tersengal dan tubuhku bergetar. Parang berlumuran darah itu terjatuh dari genggamanku. Begitupun tubuh Astika, lunglai tak berdaya dengan mata melotot.

Astika!! Astaga, aku tak sengaja. Aku kalap oleh emosi. Putri kesayanganku tegeletak tak bernyawa di lantai dapur malam itu. Darah segar mengalir dari hidung dan mukanya yang lebam.

Kepalaku terasa kosong. Tak tahu harus berbuat apa. Kuseret mayat Astika ke dalam gudang di sisi kanan dapur, dekat meja memasak. Kubaringkan tubuh kaku Astika di sebelah tumpukan ember bekas. Badannya kututupi dengan koran, lalu pintu kukunci rapat-rapat.

Namun bayang-bayang gadis itu masih memenuhi kepalaku. Aku mendadak terserang pusing yang luar biasa. Badanku terasa dihantam benda berat, membuat aku kesulitan bernapas. Semua yang kulihat bergoyang. Kepalaku berputar hebat sebelum akhirnya mataku buram. Setelahnya aku tak ingat apapun.

***

Suara derit jendela yang tertiup angin tiba-tiba menyadarkan aku dari lamunan, kudapati diriku masih tertegun memandangi bingkai yang menyimpan potret Astika kecil dan ibunya. Aku tertegun. Semua kejadian ini tak bisa kucerna sekali duduk—Astika yang tiba-tiba menghindar, Astika yang membenciku, kulitnya yang terasa dingin—Mungkinkah ini nyata?

Aku menggeleng. Tidak! Bukan Astika yang berubah, tetapi aku. Aku yang jadi lebih tempramen, berlaku kasar pada Astika. Dan malam itu, aku tak sengaja membunuhnya. Mataku membulat ketika teringat sesuatu. Dengan jantung berdebar, aku berlari menuju gudang, tempat aku menyimpan mayat Astika setahun silam.

Kutarik gagangnya, pintu itu berdecit karena bergesekan dengan lantai yang penuh debu. Bau busuk menyeruak dari dalam gudang. Kutemukan tumpukan koran yang menutupi kerangka yang tak berbentuk lagi. Tanpa sadar air mataku menetes.

“Astika, beginikah caramu menghukum Ayah? Permainanmu benar-benar membuatku tersiksa.”

Aku terlonjak dari lamunan saat kulitku mengendus hawa panas di sekitarku. Kobaran api yang entah bersumber dari mana, menjilati gudang kayu itu.

Masih tertegun, tiba-tiba kudengar suara atap roboh. Api telah membubung tinggi, melahap habis perabotan dan papan kayu.

Aku bergegas meraih jendela gudang untuk keluar menyelamatkan diri. Dari balik kobaran api, samar-samar kulihat bayangan gadis bertubuh gempal menatap nanar padaku. Wajahnya dihiasi darah hitam yang telah membeku. Astika menyeringai, menampakkan dua gigi depannya yang ompong.

Aku menelan ludah berkali-kali. Gugup dan takut. Meskipun kakiku terasa keram, tetap kupaksa melangkah dengan susah payah. Aku berlari kencang sambil sesekali melihat ke belakang, takut kalau-kalau ia mengejarku.

Aku benar-benar ketakutan. Suara klakson Truk yang melaju dengan kecepatan tinggi tak kuhiraukan. Aku terus berlari sejauh mungkin, hingga tanpa aba-aba kurasakan tubuhku terpental begitu dahsyat.

Berikutnya, aku tak ingat hal apa yang membawaku berdiri mematung di pinggir trotoar. Kulihat banyak orang, termasuk polisi, mengerubungi jasadku.

Aku berjalan pulang, meninggalkan tubuhku yang berlumuran darah di tengah jalan. Yang kuinginkan sekarang hanyalah pulang ke rumah, bertemu Astika.

Malam itu gadis kecilku terlihat berdiri di teras rumah, menunggu kepulanganku. Aku tersenyum, kurapikan letak sweater merahku sebelum melangkah menghampirinya.