Try new experience
with our app

INSTALL

Master of Masters 

7. Deal

Sadam Pamungkas dan Maulana Husam secara tidak sengaja bertemu. Mereka saling merasakan ada kekuatan master pada satu sama lain. Keduanya sama-sama saling ingin menjajal kekuatan master. Maulana mengutarakan keinginannya itu terlebih dahulu dan Sadam Pamungkas yang juga mempunyai keinginan sama menyetujuinya. Akan tetapi mereka tidak sekedar menjajal kekuatan, mereka memiliki deal. Deal mereka, yang menang akan menjadi tuan bagi yang kalah dan sebaliknya, yang kalah menjadi budak bagi yang menang. Sadam Pamungkas akan bertarung menggunakan ilmu bela diri campuran. Maulana Husam akan menggunakan ilmu bela diri campuran juga.


 

Maulana menyerang terlebih dahulu. Sadam Pamungkas berhasil menghindar. Maulana menyerang lagi Sadam Pamungkas berhasil membawanya bergulat di tanah. Sadam Pamungkas menguncinya. Maulana segera bisa melepaskan diri dari kuncian Sadam, menendang Sadam, dan segera bangkit berdiri.


 

Maulana segera menyerang kembali Sadam Pamungkas terlebih dahulu. Kini Sadam Pamungkas yang berhasil dibawanya bergulat di tanah. Ia pun berhasil mengunci Sadam. Sadam segera melepaskan diri dari kuncian Maulana. Akan tetapi sebelum Sadam benar-benar berhasil lepas dari kuncian, Maulana menguncinya lagi dengan kuncian lainnya.


 

Sadam berhasil lepas dari kuncian Maulana. Ia membalas mengunci Maulana. Setelah berhasil mengunci Maulana ia tidak berhenti untuk mengunci lagi dengan cara lain yang lebih efektif mengalahkan pergerakan Maulana.


 

Maulana tidak mau kalah dari Sadam. Sembari berusaha lepas dari Sadam Pamungkas, ia berpikir cara mengalahkan Sadam Pamungkas yang kekuatannya di atasnya. Ia teringat jika ia membawa kalung yang bisa mengontrol seseorang. Akan tetapi ia harus lepas dahulu dari kuncian Sadam. Ia berusaha melepaskan diri dari kuncian itu dan dengan susah payah ia berhasil lepas.


 

Sadam Pamungkas merasa hampir mengalahkan Maulana tadi. Kali ini Sadam dengan semangat menyerang duluan, karena ingin segera memiliki Maulana sebagai budaknya. Maulana Husam terus menghindar dari serangannya. Sembari menghindar Maulana menyiapkan kalungnya dan mengisinya dengan energi master yang ia miliki. Maulana Husam memasangkan paksa kalung itu ke leher Sadam Pamungkas. Energi Maulana Husam membuat kalung itu tidak bisa dipatahkan dan membuat Sadam Pamungkas dalam kendali Maulana Husam. Sadam Pamungkas berusaha melepaskan kalung itu tetapi ia malah tersengat seperti tersengat listrik.


 

"Curang!" Sadam Pamungkas hendak menyerang Maulana Husam, tetapi dari jauh Maulana Husam mengendalikan kalung itu dengan energi jarak jauh sehingga Sadam terjatuh. Setiap Sadam hendak menyerang Maulana, maka Maulana akan membuatnya terjatuh dengan mudahnya.


 

"Hm ... dealnya tadi boleh menggunakan senjata apa pun kan?" tanya Maulana Husam memastikan dan mengingatkan tentang kesepakatan peraturannya.


 

"Kau!" Sadam Pamungkas geram tidak terima kalah dan harus menjadi budak Maulana. Akan tetapi sebagai kesatria sikap kesatrianya memaksanya membuatnya mengakui kekalahannya dan mengakui kemenangan Maulana Husam. Ia yang masih jatuh bertekuk lutut di tanah menghela nafas panjang dan menerima kenyataan pahitnya.


 

"Baik, aku mengaku kalah! Mulai sekarang aku adalah budakmu dan kau adalah tuanku!" kata Sadam Pamungkas. Maulana Husam tersenyum menang. Sementara Sadam Pamungkas berwajah kesal.


 

Maulana Husam berjalan mendekat menghapiri Sadam Pamungkas. Ia mengulurkan tangannya kepada Sadam yang masih jatuh terduduk dengan perasaan kesal yang tercermin di wajahnya. Sadam melihat uluran tangan Maulana dan meraihnya. Maulana menarik tangan Sadam untuk membantunya berdiri.


 

"Aku Maulana Husam!" kata Maulana Husam memperkenalkan dirinya.


 

"Aku Sadam Pamungkas!" kata Sadam Pamungkas memperkenalkan dirinya.


 

"Kita akan ke rumah kontrakkanku, tapi sebelum itu aku mau ke anak-anak jalan tadi!" ujar Maulana Husam.


 

"Oke, terserah kepadamu, Tuan Master Maulana Husam!" kata Sadam Pamungkas.


 

"Tidak perlu menyebutku dengan tuan, ataupun master, sebut namaku saja, Master Sadam Pamungkas!" kata Maulana Husam.


 

"Baiklah, Maulana Husam!" kata Sadam Pamungkas. "Anda juga tidak perlu menyebutku dengan master, Maulana Husam!" kata Sadam balik.


 

"Oke!" jawab Maulana Husam.


 

Maulana Husam dan Sadam Pamungkas menghapiri anak-anak jalanan yang sedang duduk-duduk cukup jauh dari taman, tapi masih terlihat dari taman itu.


 

"Mereka ini adalah anak-anak jalanan sebatang kara, tanpa orang tua. Setiap pagi mereka selalu bermain bersamaku di taman ini kalau tidak di pantai," terang Maulana Husam. Sadam Pamungkas menyimaknya sembari mengangguk-angguk paham. "Anak-anak, perkenalkan ini adalah Paman Sadam Pamungkas! Ayo, beri salam!" kata Maulana Husam kemudian.


 

"Assalamualaikum, Paman Sadam Pamungkas!" seru anak-anak serempak.


 

"Waalaikumsalam!" jawab Sadam Pamungkas. Anak-anak kemudian satu persatu meraih tangan kanan Sadam Pamungkas untuk Salim mencium tangan. Sadam Pamungkas mendapatkan dan merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami selama ini.


 

"Anak-anak ini uang jajan kalian!" kata Maulana sembari membagikan uang masing-masing sepuluh ribu. "Ingat, jajan yang sehat!" pesan Maulana.


 

"Baik, Paman! Terima kasih, Paman!" jawab mereka bersahut-sahutan.


 

"Paman pulang dulu mau siap-siap ke restoran! Assalamualaikum!" pamit Maulana.


 

"Waalaikumsalam!" jawab anak-anak hampir serempak.


 

"Kontrakkanku dekat, kita akan jalan kaki untuk ke sana!" terang Maulana. Sadam mengangguk.


 

Mereka berdua berjalan cukup jauh, tapi termasuk dekat. Ada sekitar lima belas menit mereka berjalan sampailah mereka di depan rumah yang dikontrak oleh Maulana Husam.


 

"Ini kontrakkanku, silakan!" kata Maulana mempersilakan masuk sembari membukakan pintunya. Sadam masuk ke dalam rumah itu.


 

Di dalamnya hanya ada dua ruang satu kamar tidur yang cukup luas yang bersatu dengan dapur dan satu ruang kecil berupa kamar mandi di sisi dapur. Ada pintu belakang yang memisahkan membuat jarak antara dapur dan kamar mandi. Kasurnya satu tapi berukuran king size. Di satu ruangan yang luas itu ada meja makan cute dengan tiga kursi saja yang bersambung jadi satu dengan sofa tamu di sisi tempat tidur yang dekat dengan pintu ke luar. Selain itu ada PC beserta kelengkapannya, televisi tabung empat belas inch, dan rak buku di depan tempat tidur. Ada lemari pakaian, dan hanging yang tampak ada handuknya di sisi tempat tidur sebelahnya lagi.


 

"Ya begini kontrakkanku, kecil! Akan tetapi aku akan membelinya dan aku sudah mencicilnya!" kata Maulana.


 

"Rumahku jauh lebih kecil, terletak di area kumuh pembuangan sampah. Setiap detailnya terbuat dari rongsokan-rongsokan. Harus menunduk jika berdiri karena sangat pendeknya langit-langitnya," terang Sadam Pamungkas.


 

"Hm ... kedengarannya rumahmu sangat menarik! Em ... kau mau minum apa, Sadam Pamungkas?" tanya Maulana.


 

"Air putih saja, Maulana Husam!" jawab Sadam Pamungkas.


 

"Dingin, hangat?" tawar Maulana.


 

"Dingin saja!" jawab Sadam. Maulana mengangguk lalu menghapiri dapurnya.


 

Maulana mengambil air botol di refrigerator dan meletakkannya di meja dapur. Ia mengambil gelas di rak lalu meletakkannya di meja dapur juga. Setelah itu ia menuangkannya air dari botol ke dalam gelas. Ia memberikannya kepada Sadam Pamungkas.


 

"Terima kasih!" ucap Sadam Pamungkas.


 

"Silakan duduk, Sadam!" kata Maulana yang melihat sejak tadi Sadam hanya berdiri. Sadam Pamungkas duduk di kursi meja makan lalu meminum air putihnya. Maulana juga mengambil air yang sama dan ikut duduk di kursi makan juga.


 

"Kita belum saling mengenal, Sadam. Aku bekerja sebagai koki di sebuah restoran di kawasan pantai ini, namanya restoran Pantai," terang Maulana.


 

"Aku pencuri! Kalau kau mungkin pernah dengar, Master Andhika Ardan yang berprofesi sebagai polisi menyebut aku sebagai raja pencuri!" terang Sadam Pamungkas. Maulana sedikit terkejut dan ia bisa saja memberi tahukan sahabatnya Andhika Ardan, jika buronan sahabatnya ada padanya, tapi ia tidak melakukan itu.


 

"Orang tua? Keluarga? Istri atau anak?" tanya Maulana lagi.


 

"Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku! Aku hanya anak pungut tukang kayu di desa terpencil, tapi beliau sudah tiada cukup lama. Aku belum pernah menikah ataupun memiliki kekasih apalagi anak," terang Sadam. Maulana memperhatikan dengan mengangguk-angguk. "Lalu Anda sendiri, Maulana?" tanya Sadam balik.


 

"Istriku telah meninggal, sementara putriku masih kecil, masih enam tahun, dan baru sekolah dasar. Putriku berada di luar kota, diasuh oleh neneknya," terang Maulana. Maulana melihat jam di dinding kamarnya itu. "Sadam, sepertinya sudah waktunya aku bersiap kerja di restoran Pantai! Jika kau lapar di freezer ada banyak kue dan makanan lainnya, kau bisa memanaskannya! Kau juga bisa menonton televisi atau menggunakan PC! Jangan sungkan dan anggap rumahmu sendiri!" Maulana beranjak dari duduknya. Ia meraih handuk yang berada di hanging di depan kamar mandi lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.


 

Sadam Pamungkas merasakan lapar. Ia memberanikan diri menghapiri refrigerator demi perutnya. Ia membukanya dan melihat banyak sekali makanan. Ia memilih kue agar tidak perlu repot memanaskan dan langsung bisa ia makan untuk segera mengatasi rasa laparnya.


 

∆∆∆


 

Sementara itu pagi hari, di rumah Master Alexis.


 

Master Alexis sedang membaca koran di halaman rumahnya yang penuh dengan tanaman hijau. Beberapa menit kemudian anak buahnya datang.


 

"Tuan Master Alexis, ada Pak Sapta datang!" terang anak buahnya itu.


 

"Hm ... Pak Sapta? Informasi apalagi yang akan aku dapatkan darinya kali ini? Persilakan dia masuk!" perintah Master Alexis.


 

Anak buah Alexis segera menghampiri Pak Sapta dan segera membawa Pak Sapta ke hadapan Alexis.


 

"Apa kabar, Pak Sapta?" Alexis bersalaman dengan Pak Sapta.


 

"Saya baik, Tuan Master Alexis!" jawab Pak Sapta.


 

"Silakan duduk!" seru Alexis. Pak Sapta duduk berhadapan dengan Alexis dalam satu meja, di bangku taman. "Ada berita apa, sampai pagi-pagi datang menemui aku?" penasaran Alexis.


 

"Orang suruhan Anda telah gagal membunuh pimpinanku, kepala bagian narkotika," terang Pak Sapta.


 

"Apa maksudmu Sadam Pamungkas gagal membunuh Pak Fiksi? Bagaimana bisa gagal? Dia yang seorang master bisa kalah dengan manusia biasa?" heran Alexis terkejut tidak percaya. "Apa Sadam tertangkap?" tanyanya kemudian.


 

"Tidak demikian, Tuan Master Alexis! Pak Fiksi hampir terbunuh, tetapi Sadam Pamungkas tidak mau membunuhnya! Sadam Pamungkas malah menyuruh Pak Fiksi untuk pergi!" terang Pak Sapta.


 

"Apa?!" Alexis sangat terkejut lebih-lebih dari yang tadi. "Pak Fiksi hampir terbunuh, tapi Sadam Pamungkas enggan membunuhnya?" perjelas Alexis. Pak Sapta mengangguk pelan. "Awas kau Sadam Pamungkas!" geram Alexis.