Contents
The Untold Story
Chapter 3: The Secret
Indira kali ini menyeret meja kerjanya yang semula di dekat meja rias jadi menempel di dinding bawah jendela. Ia menaruh laptop, pot kaktus kecil, dan beberapa novel yang dibacanya. Tak lupa, Indira juga membuat secangkir teh hangat untuk menemaninya menulis. Hari itu matahari bersinar cerah.
“Please be focus, In!”
“All of it is just your imagination. Not real!” Indira berkata pada dirinya sendiri. Indira menghirup udara pagi, lalu dilepaskannya perlahan. Ia pun mulai menulis. Setelah beberapa paragraf tertulis, Indira menghentikan jemarinya, dan terdiam.
“Kenapa gue ke garasi itu lagi?”
“Ah… sh*t!”
Indira memegang kepalanya. Ia tampak mengingat hal yang selalu ingin dilupakannya. Garasi itu menyimpan kenangan terburuk Indira selama hidupnya. Tepat 20 tahun lalu, saat Indira masih belia, ia sering disuruh tidur di garasi oleh Ibu kandungnya. Hal itu dianggap sebagai hukuman karena hal-hal sepele yang dilakukan Indira. Sikap Ibunya semakin kejam saat Indira memasuki kelas 4 SD. Bahkan ibunya tega mengikat kaki Indira dengan rantai, memotong rambut Indira sembarangan, sampai menempelkan setrika panas di tangan kecilnya. Sebenarnya, Ibu Indira mulai berubah kejam seperti itu sejak ditinggal suaminya yang ketahuan selingkuh dengan sahabat Ibunya itu. Ibu Indira pun jadi memiliki kepribadian ganda. Di rumah, ia sangat kejam. Namun, saat di luar rumah sikap Ibu Indira seperti normal seperti Ibu pada umumnya, jadi tidak ada yang tahu bahwa ia sebenarnya depresi.
Sampai suatu hari, Ibu Indira berdandan cantik sedari pagi, dan menemui Indira yang sedang tertidur di garasi. Ibu Indira pun memberikan sebuah apel merah, dan mengupasinya untuk Indira. Kala itu, Indira yang takut dengan Ibunya, namun masih sayang. Ia tidak mau memakan buah yang sudah dikupas Ibunya. Ibu Indira murka! Ia pun berteriak sambil menangis. Indira juga ikut menangis karena ketakutan. Tiba-tiba, Ibu Indira tertawa dan mengambil sebilah pisau. Ia pun lantas menancapkan pisau itu ke perutnya. Ibu Indira tewas bersimbah darah di hadapan sang putri.
“Akkhh!!!! Udah dong!”
“Gue ngga mau inget lo lagi!”
“Pergi!.. Pergiiii!”
Teriak Indira sambil melempar pil penenang yang sebelumnya dipegangnya erat. Pil-pil itu berhamburan di lantai. Kini Indira telah berada di bawah selimut dan sedang ketakutan.
“Jangan pukul gue lagi”
“Jangan…” Indira menangis, seperti dirinya sewaktu disiksa sang Ibu.