Try new experience
with our app

INSTALL

Sang Pencinta 

Kota Cinta

Bogor, awal tahun 2020


 

Sebuah rumah berhalaman cukup luas yang dipenuhi tanaman hijau nan asri sore hari. Cuaca masih terlihat mendung seperti biasanya walau sesekali cerah. Begitulah kondisi kota hujan yang berawan melankolis hingga mudah menangis. Terlihat seorang remaja berusia 20 tahun sedang khusuk dengan kuasnya yang menari-nari di atas kanvas. Buku sastra 'Sang Alkemis' karya Paulo Coelho masih tergeletak di atas meja belajar sehabis dibaca. Sementara itu titik-titik hujan menyapa lewat dinding jendela kamar. Remaja itu masih asyik dengan lukisannya. Seolah tak mendengar keributan yang terjadi di luar. Warna surga yang terpantul dari dinding peraduannya, mengalirkan rasa damai di hatinya. Lagu bernada muram dari ponselnya, membuat suasana kian terasa suram dan mengayun-ayun mood di hati.  


 

"Gloomy is sunday,

With shadows I spend it all

My heart and I

Have decided to end it all"


 

Kittun, kucing kesayangannya masih bermalas-malasan di atas kasurnya, seolah ikut terbawa oleh kondisi yang membuatnya tertidur dengan posisi meringkuk. Bulu-bulunya yang berwarna oranye dengan perut buncitnya akibat kekenyangan, menambah alasan untuk kucing tersebut menjadi mengantuk. Berbeda dengan pertama kali ditemukan di jalan, tubuhnya kurus dan banyak jamur. Mata Awan Melankolis langsung basah karena tidak tega melihatnya. Ia pun langsung menggendong kucing kecil yang sangat kelaparan dan kedinginan itu ke rumahnya. Merawatnya bak bayi mungil tak berdaya dan merebuskan ayam serta ikan segar untuknya.


 

"Ceraikan saja aku, Mas! Aku sudah tidak tahan lagi!" Suara ibunya terdengar semakin tinggi. Mau tak mau, Awan Melankolis pun meletakkan kuasnya, meski ia belum selesai merampungkannya. Namun kini, lukisannya kian tak terarah karena gagal fokus. Jejeran buku filsafat, novel cinta dan buku sastra tampak tersusun rapi di samping peralatan melukisnya. Ia lemparkan peralatan gambarnya karena kesal yang mulai memuncak! Aktivitasnya kini berganti dengan berusaha menutup kedua kupingnya kuat-kuat. Tak mempan, ia pindah ke kasur dan menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis. Rasanya ia tak ingin mendengar suara pertengkaran kedua orang tuanya lagi. Sejak pandemi mewabahnya virus korona, entah sudah berapa kali barang pecah dan suara pertengkaran menyakiti gendang telinganya. Ayahnya yang baru saja dirumahkan akibat perusahaannya gulung tikar, membuat ibu harus bergantian menghidupi mereka. Rupanya ayah tak siap menganggur, hingga mudah marah. Dan ibu yang lelah memutar otak dan tenaga dengan berjualan online dari rumah, semakin letih karena kerap menjadi tempat pelampiasan emosi ayahnya. Dari dalam kamarnya, jelas terdengar suara teriakan ibunya. 


 

"Ya Tuhan! Kalau ayah dan ibuku bercerai, aku harus ikut siapa? Aku tak ingin memilih salah satu dari mereka. Aku ingin terus bersama dengan ayah dan ibuku," isaknya semakin kencang. Tak kuat menahan kesedihan dan ketakutannya membayangkan akan perpisahan kedua orang dewasa yang telah membesarkannya itu, Awan Melankolis pun bangkit dan segera keluar dari tempat bersemayamnya.


 

"Ayah! Ibu! Kalau sampai kalian berpisah, aku tidak akan memilih ikut salah satu dari kalian. Lebih baik aku pergi dan hidup sendiri!"


 

Awan Melankolis langsung berlari keluar rumah tanpa menoleh sedikit pun sambil mengusap bulir-bulir kepedihan di kedua pelupuk mata sayunya. 


 

"Awan! Kembali!" Ayahnya memanggil sambil mengejarnya. Tapi Awan Melankolis terus berlari kencang, hingga tak tampak lagi jejaknya. Ayahnya pun pulang dengan wajah lesu. Sementara ibunya semakin menangis histeris.


 

"Ini semua gara-gara kamu, Mas!"


 

Pak Handoko ayah Melankolis terduduk sambil menjambak rambutnya sendiri penuh penyesalan. Hanya satu tempat tujuan Awan Melankolis, Arya kekasihnya. Tapi begitu sampai, matanya kian panas menyaksikan kemesraan Arya dan Arni sahabatnya sendiri sedang berpegangan tangan di beranda rumah. Ia memutuskan tak jadi masuk dan memilih berbalik. Langkahnya gontai berjalan tanpa tujuan yang pasti. Tanpa terasa, ia sudah berada di atas jembatan putus cinta yang di bawahnya mengalir deras air sungai menuju satu arah. Tak seperti hidupnya yang kini tanpa arah.


 

"Tuhan! Tak ada lagi yang menginginkanku. Apakah aku tak layak untuk dicintai? Bahkan ayah dan ibu tak pernah memikirkan perasaanku. Untuk apa lagi aku hidup di dunia ini," ucapnya putus asa. Awan melankolis pun bersiap-siap hendak melompat ke bawah jembatan yang dipenuhi batu besar yang curam.


 

"Hentikan menzalimi dirimu!" Awan Melankolis menoleh, tapi tak ia temukan siapa pun. Rasanya, aku mendengar sebuah suara yang cukup keras dan tegas, namun tak ada orang di sekitar sini, batinnya heran.


 

"Siapa yang barusan bersuara?" 


 

"Aku! Sang Pencinta."


 

"Hai Sang Pencinta? Di mana kau? Keluarlah!"


 

"Aku ada bersamamu, meski tak terlihat."


 

"Jangan main-main denganku. Tampakkan dirimu, baru aku percaya."


 

Suasana tetap hening, selain suara embusan angin sore yang kian dingin membelai kulitnya. Awan Melankolis kemudian terduduk di lantai jembatan menangisi nasibnya. Ia menutup wajahnya sambil tersedu-sedan. Bahunya naik turun mengikuti tangis dukanya.


 

"Katakan Sang Pencinta, ke mana sekarang aku harus pergi? Aku ingin menemukan seseorang yang tak akan pernah menyakitiku lagi."


 

"Maukah kau kukirim ke suatu tempat? 


 

"Ke mana pun itu asal tidak kembali ke rumahku."


 

"Baiklah! Aku akan mengirimmu ke kota cinta."


 

"Kota cinta? Di mana itu?"


 

"Sebuah kota di mana kau akan menemukan cinta sejatimu. Seseorang yang akan selalu mencintaimu tanpa syarat."


 

"Kalau begitu, tolong segera kirim aku ke sana."

Akan kukabulkan permintaan yang lahir dari kesadaranmu. Tapi kau baru bisa bertemu cinta sejatimu di kota cinta setelah melewati beberapa simbol cinta. Begitu kau mendapati tempat yang ada tanda simbol cintanya, maka kau harus singgah di tempat itu. 


 

"Untuk apa aku harus singgah?"


 

"Ikuti saja aturannya karena waktumu tidak banyak lagi. Bagaimana? Kalau kau bersedia maka pejamkan matamu dan tarik nafasmu sambil mengenali rasa sakitmu."


 

Awan Melankolis pun segera menutup kedua matanya sembari menarik nafas perlahan. Ia lalu mencoba mengenali semua rasa pedih dan marahnya. Setelah beberapa menit, ia merasakan tubuhnya terangkat perlahan-lahan sampai akhirnya mendarat di sebuah tempat. 


 

"Oh, apakah aku sudah berada di kota cinta," ucapnya sambil melihat ke sekelilingnya.


 

Awan Melankolis menelusuri arcade yang dipenuhi orang-orang dengan berbagai aktivitas ditemani bulan merah jambu yang lembut bersinar. Ada yang tengah duduk bersila sambil mengampelas topeng dan berbagai kerajinan dari kulit. Ada yang sibuk mengaplikasikan kuasnya di atas kanvas. Para pengamen jalanan ramai menghibur para pejalan kaki. Menambah riuh suasana oleh musik angklung dan gitar yang mereka mainkan. Tapi Awan Melankolis menikmati suasana tersebut dan tak merasa terganggu. Justru rasa nyaman mulai merasuki hatinya yang ikut berdendang. Seketika kesedihan perlahan luruh dari sanubarinya yang kemarin sore masih berkisah tentang duka. Ia putuskan untuk singgah di sebuah angkringan karena perutnya telah menjerit keroncongan. Tak lama setelah ia duduk memesan sebungkus kecil nasi bercampur potongan lauk seadanya, satu-persatu pengunjung mulai ramai berdatangan. 


 

"Pandu, katanya kau penyair kesohor. Tapi aku tak pernah membaca satu pun karyamu di muat di media." Lelaki berbaju batik terlihat sedang berbicara ke arah temannya yang memakai topi pet lusuh."


 

"Aku hanya ingin berkarya untuk merayakan kehidupan, bukan ingin di publikasikan," jawab pria bertopi pet masih asyik menulis di kertas."


 

"Ho ho ho! Adakah ini sekedar kerendahan hati, atau hanya rasa insecure semata ?"


 

"Hmmm," lelaki bertopi pet itu hanya menggumam. Lalu diam dan kembali serius dengan goresan syairnya.

Kedai kecil di sudut kota ini ternyata sering menjadi tempat pertemuan para penyair dan seniman. Sebaiknya ia meneruskan perjalanan mencari cinta sejatinya. Benarkah di kota ini bersembunyi belahan jiwanya? Sebagaimana yang dijanjikan Sang Pencinta. Namun keraguan mulai menghadangnya karena hari sudah semakin malam. Ke mana ia harus mencari tempat untuk beristirahat? Tak mungkin ia meneruskan pencarian di bawah gelapnya langit. Apalagi ia seorang perempuan asing yang baru menjejakkan kaki kurusnya di kota ini. Belum ada satu pun yang ia kenal.


 

"Sebenarnya kau mau pergi ke mana?" Tanya lelaki bertopi pet berwarna coklat kusam. Seolah ia bisa membaca kebingungannya. Awan Melankolis pun mengaku sedang mencari seseorang, namun tidak tahu harus menginap di mana? Selain ia berterus terang tak memiliki uang yang cukup untuk membayar penginapan.


 

"Sementara kau bisa tinggal di tempatku, karena aku jarang tidur di rumah. Jaraknya tidak jauh dari sini. Kau cukup berjalan seribu meter lalu berbelok ke kanan. Rumahku ada tanda simbol hati di depannya."


 

Awan Melankolis pun mengucapkan banyak terima kasih. Begitu sampai, ia bergumam


 

"Rumah ini ada simbol cinta di samping jendelanya. Berarti aku tak boleh ragu lagi untuk tidur di sini," batinnya. Langkahnya pun mantap memasuki rumah yang memang tak terkunci tersebut. Ruangan di dalam terlihat hanya dipenuhi buku-buku dan koran yang berserakan. Tak heran bila rumah ini dibiarkan tanpa dikunci. Ia yakin para maling tak tertarik menjarah rumah ini. Menjelang pagi, ia dapati penyair tersebut pulang. Buru-buru ia bangun karena tak enak hati. 


 

"Saya ijin pamit, terima kasih atas kebaikan Tuan."


 

"Ya." Lelaki itu hanya menjawab singkat sambil melinting tembakaunya. 


 

"Oh ya, saya minta maaf sudah lancang membaca cerita-cerita Tuan tadi malam. Cuma saya heran, mengapa cerita sebagus itu tidak Tuan terbitkan saja atau kirimkan ke media?"


 

"Bagi saya, karya lahir dari cinta, dan kita adalah karya itu sendiri. Karya Tuhan yang paling sempurna. Jadi mau terbit atau enggak, saya akan terus tetap berkarya. Hati-hati di jalan dan jaga diri baik-baik."


 

Lelaki berbaju sederhana itu melepas kepergiannya.