Contents
Sang Pencinta
Cinta Tak Terdefenisi
Rani duduk dengan gelisah di ruang tunggu pasien. Haruskah ia meneruskan niatnya untuk melakukan chekup? Mengingat hari pernikahannya tinggal beberapa hari lagi. Masih terbayang saat ia menerima lamaran Teguh beberapa hari yang lalu.
"Rani, maukah kau menjadi teman hidupku selamanya dalam suka dan duka?"
"Maksud Mas Teguh?"
"Aku melamarmu, Rani. Apakah kamu bersedia?"
Rani hanya mengangguk malu-malu. Wajahnya memerah namun menyimpan ragu.
Teguh adalah teman baiknya ketika masih SMP. Kemudian ia pindah ke kota cinta dan melanjutkan sekolahnya. Lalu mereka bertemu dalam sebuah komunitas kelas cinta yang ia ikuti. Ternyata Teguh telah lama jatuh hati padanya, hingga terus mencari keberadaannya. Takdir pun mempertemukan mereka kembali dalam sebuah event kelas cinta di kotanya. Sejak pertemuan di acara kelas cinta setahun yang lalu, mereka jadi kian akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Banyak kecocokan di antara mereka, hingga dia pun sudah merasa nyaman dekat dengan Teguh. Sampai akhirnya Teguh serius ingin menjalin hubungan dengannya. Betapa bahagianya dirinya dicintai oleh Teguh.
"Rani Andini!" Nomor antreannya telah tiba, ia pun segera memasuki ruang periksa dokter kandungan.
"Setelah melewati pemeriksaan, ternyata penyebab Anda tidak mendapatkan haid selama ini karena menderita suatu penyakit langka bernama Mayer-Rokitansky-Kuster. Yaitu penyakit di mana sejak lahir Anda tidak memiliki leher rahim atau Mis.V. Oh ya, apakah Anda sudah menikah?"
"Belum, Dok," jawabnya sedikit terpukul.
"Untuk itulah saya kesini, agar bisa bersiap diri sebelum memutuskan untuk berkeluarga," jawabnya mulai merasa tegang.
"Memang, berita buruknya wanita yang menderita penyakit seperti Anda ini tidak bisa hamil dan akan sulit melakukan hubungan seksual setelah menikah. Semoga Anda tabah mendengar berita ini.
Dunianya seakan runtuh! Impiannya hancur berkeping-keping! Impian yang banyak diinginkan oleh seluruh wanita normal yaitu bisa menikah dan memiliki keturunan. Apalagi Teguh calon suaminya sangat menyayangi anak-anak, hingga pernah berkata akan memiliki banyak anak setelah menikah dengannya. Apakah dia masih bisa tersenyum bahagia setelah ini? Kebahagiaannya beberapa hari yang lalu kini berganti rasa cemas dan takut kehilangan. Haruskah ia batalkan saja pernikahan ini dan berterus terang pada calon suaminya? Tapi undangan sudah disebar dan gedung serta katering telah dibayar. Ia pun keluar dengan gontai bersimbah air mata. Kota cinta seolah ikut berduka, melihat Rani yang tak henti menangis. Ia lebih banyak mengurung diri di kamar, merenungi nasib. Sungguh! Ini bukanlah dirinya, yang biasanya selalu tegar dan mampu mengatasi masalah apa pun yang datang. Tapi lihatlah kini, ia berubah menjadi wanita yang sangat lemah dan tanpa daya.
"Nduk! Ayo makan dulu, nanti sakit. Sudah sejak pagi perutmu belum terisi apa-apa,' ucap Ibunya khawatir.
"Rani belum lapar Bu," jawabnya lemah.
"Sayang, Ibu mengerti dengan perasaanmu. Tapi Ibu juga sayang padamu, hingga takut kehilanganmu."
"Ibu, maafkan Rani." Hanya itu yang bisa ia ucapkan sambil memeluk Ibunya erat. Ia telah menceritakan semuanya pada Ibu, karena tak ada gunanya lagi menutupinya."
"Ibu yang harusnya minta maaf. Ini semua salah Ibu! Telah melahirkanmu dengan membawa penyakit yang menghancurkan masa depanmu," tangis Ibunya.
"Tak ada yang salah Bu, ini hanya soal kelainan rahim saja. Rani tak ingin Ibu merasa bersalah." Rani pun kembali terisak-isak di pangkuan ibunya.
Awan Melankolis kini sudah berada di depan sebuah rumah bertingkat berwarna putih. Sesuai perintah Sang Pencinta padanya.
"Kamu harus bisa meyakinkan wanita yang akan segera menikah itu Awan, bahwa cinta butuh kejujuran."
Setelah mengucapkan salam, Awan pun dipersilahkan masuk oleh seorang ibu berwajah anggun yang memakai kebaya serta kain jarit bercorak batik.
"Sebentar ya, silakan duduk dulu," ucap wanita paruh baya itu ramah.
"Rani, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, "ucap ibunya.
"Rani lagi malas menemui siapa pun, Bu. Apalagi yang belum Rani kenal."
"Ayolah, Nduk! Siapa tahu ada sesuatu yang sangat penting," bujuk ibunya sambil membelai rambut hitam panjangnya. Dari segi fisik ia memang mendekati sempurna. Wajahnya banyak yang bilang mirip artis terkenal. Kulitnya juga putih mulus. Tapi sebagai seorang wanita? Ia benar-benar jauh dari sempurna!
"Baiklah Bu, Rani akan segera keluar." Bergegas ia temui tamunya dengan wajah murung.
"Maaf, Anda siapa ya? Sepertinya kita belum saling kenal."
"Memang kita baru bertemu hari ini, kenalkan saya Awan Melankolis yang di utus oleh Sang Pencinta untuk datang ke rumah ini."
"Sang Pencinta?" Rani berkerut bingung. Ia memang pernah mendengar soal Sang Pencinta di kelas cinta. Sepertinya ini bukan sebuah kebetulan agar ia jujur saja dengan keadaan dirinya.
"Terus terang, saya sedang mengalami dilema. Maukah kamu menyampaikan pada Sang Pencinta tindakan apa yang harus saya lakukan?" Rani pun menjelaskan semuanya.
"Kejujuran adalah kunci utama dalam menjalin hubungan yang serius. Kebenaran memang pahit di awal, tapi ia akan berbuah manis di akhirnya. Begitulah saran dari Sang Pencinta."
"Terima kasih, saya akan berkata apa adanya pada calon suami saya. Bersediakah kau menemaniku menemuinya?"
"Dengan senang hati, Kak," jawab Awan Melankolis.
Keesokan harinya, Rani membawa Awan Melankolis menemui Teguh dan keluarganya. Rani pun mengutarakan niatnya untuk membatalkan pernikahan mereka di hadapan Teguh dan kedua orang tuanya, sambil mengemukakan alasannya.
"Sebenarnya saya menderita penyakit langka, yaitu tidak memiliki rahim. Jadi kalau menikah nanti tidak akan bisa memiliki anak, apalagi berhubungan suami istri karena tidak adanya saluran vagina. Maafkan saya yang tidak terbuka di awal hubungan kita. Walau saya sangat mencintai Mas Teguh."
Teguh dan keluarganya hanya diam membisu. Rani sudah tahu jawabannya hingga ia pun meminta ijin untuk pulang. Sesampainya di rumah, Rani menangis sejadi-jadinya di kamarnya. Awan Melankolis hanya bisa menjadi pendengar bagi Rani yang sedang putus asa.
"Awan Melankolis, menginaplah di rumahku untuk beberapa hari. Aku butuh teman sepertimu," ucap Rani setelah puas menumpahkan kesedihannya.
"Tentu saja Awan mau, asal Kakak jangan berpikiran negatif dulu bahwa Teguh akan meninggalkan Kakak. Awan rasa kalau memang dia cinta, pasti mau menerima kekurangan Kakak."
"Tapi, pria mana yang mau menikahi wanita tanpa rahim? Rasanya tak mungkin ada."
Awan Melankolis hanya diam mendengarkan. Sudah satu minggu ia menginap di rumah Rani. Rasanya ia sudah tak sabar ingin melanjutkan pencariannya. Namun ia tidak tega meninggalkan Kak Rani yang sedang terpuruk. Sampai akhirnya keajaiban cinta itu tiba. Teguh datang sambil memohon menemui Rani.
"Rani, aku akan tetap menikahimu karena aku sungguh mencintaimu apa adanya. Tapi kau harus berjanji satu hal," ucap Teguh sambil memegang kedua tangan Rani.
"Oh, benarkah? Aku juga sangat mencintaimu, Mas. Katakan aku harus apa," balas Rani dengan mata berkaca-kaca.
"Setelah menikah nanti, kau harus mau berobat ke Amerika bersamaku soal penyakitmu. Aku sudah mencari tahu bahwa di negara Paman Sam bisa melakukan operasi implan vagina." Rani pun mengangguk kuat-kuat saking bahagianya. Ternyata ucapan Awan Melankolis benar adanya. Dalam perjalanannya kembali, Awan Melankolis tampak merenung.
"Sang Pencinta, sebenarnya cinta itu apa sih?"
"Cinta itu tak terdefenisikan karena dia dunia rasa. Jadi jalani saja untuk memahaminya, sebab cinta bersifat universal.
"Memang tak ada kata yang bisa menjelaskannya secara tepat ya, Sang Pencinta."
"Iya, karena penafsiran setiap orang pasti berbeda-beda ketika menjelaskan tentang cinta.
"Rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu cinta sejatiku."
"Bersabarlah, karena menemukan cinta yang sesungguhnya itu butuh proses panjang dan jalan berliku."
Awan Melankolis kembali merenung sambil menatap bulan merah jambu yang sedang bersinar penuh di langit senja kota cinta.