Try new experience
with our app

INSTALL

Monster di Kepalaku 

Chapter 5

Tak hanya itu, mataku menangkap sebilah pisau panjang teronggok di sudut ruang. Pisau panjang yang ujungnya mengkilap dan sisinya basah oleh tetes darah yang belum mengering. Aku mual. Kupandangi Boutros dengan tatap takut yang tak pernah kurasakan dalam hidupku. Aku mencoba mencerna semuanya. Perlahan.

“Monster, monster, Galih!”

“Galih, Monster!”

Boutros keluar dari kolong tempat tidurnya, menghampiriku. Ia jongkok di bawah, ia tunjukkan telapak tangannya yang dipenuhi darah. Aku mengamati lamat-lamat tangan penuh darah Boutros itu, tanpa menyentuhnya. Tak ada luka, tak ada irisan, tak ada bekas apapun yang membuat tangan Boutros sampai dilumuri darah sebanyak itu.

“Apakah kau memenangkan pertarungan dengan monster itu, Bou? Kau bunuh monsternya dengan tanganmu hingga ia berdarah?”

Untuk pertama kalinya, sejak Boutros menjadi gila, baru kudengar Boutros tertawa. Tawa yang hambar. Terdengar pahit untukku. 

“Ini darah kekalahan, Galih. Monster itu sudah berhasil menguasaiku,” ucapnya dengan sangar. Kemudian, kulihat Boutros menjatuhkan posisi jongkoknya dengan duduk. Ia mengatupkan wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Di sela isakannya yang memilukan, ia masih meracau akan monster. Aku memundurkan langkah perlahan, berniat menyingkir sejauh mungkin dari Boutros. Sampai suara berat lelaki terdengar memanggil namaku dari luar pagar rumah, aku segera beranjak dari kamar Boutros.

Tiga lelaki berseragam cokelat dan bertubuh tegap, menyerahkan secarik surat berisi keterangan penangkapan padaku. Aku mematung di balik pagar rumah. Seorang lelaki bertubuh tegap menjelaskan perihal kedatangannya.

“Sementara ini, ponakan Anda akan kami tahan atas dasar pelaku pembunuhan, terhadap Bapak Santosa, petugas personalia perusahaan kilang minyak. Sampai saat ini, kami menduga, motif keponakan Anda membunuh Bapak Santosa karena dendam. Ketika kami selidiki, Bapak Santosa mengusir dan mempermalukan keponakan Anda di depan umum ketika keponakan Anda memaksa melamar kerja. Berbagai bukti, mulai dari sidik jari, para saksi dan tempat kejadian, mengindikasikan dan mengarah pada saudara Boutros Gumilang, ponakan Anda,” jelas Bapak berseragam cokelat yang dua hari lalu meringkus Boutros padaku di kantor kepolisian.

Aku mematung. Persendianku melemas, aku merasa kedua kakiku sebentar lagi akan jatuh lemas. Dua lelaki itu langsung menghambur masuk ke dalam rumah. Satunya lagi berdiri di sampingku, seperti tengah berjaga-jaga.

“Monster, monster. Monster!”

Kudengar teriakan Boutros lagi. Teriakan semakin jelas, karena semakin dekat. Seorang lelaki berseragam dan bersuara berat itu, setengah menyeret Boutros. Kedua tangan keponakanku itu diborgol. Tapi mulutnya masih meracau monster. Aku gemetar. Teriakkan Boutros semakin membabi buta di tengah subuh yang menjelang. Tetangga-tetangga, satu persatu berlarian keluar, tidak ingin melewatkan peristiwa menggemparkan yang terjadi langsung di depan mereka.

Mataku mencari-cari satu orang polisi lagi. Tapi, tidak kunjung keluar dari dalam rumah. 

“Galih, kau harus percaya padaku, bukan aku yang membunuhnya. Tapi, monster! Si MONSTER!”

Boutros menarik ujung kaos kelabu favoritku dengan sekuat tenaga, tapi aku tidak menengok barang sedikitpun padanya. Pandanganku terpaku pada seorang polisi yang keluar dari dalam rumahku membawa plastik bening, berisi barang bukti. Polisi itu memegangnya dengan hati-hati, sebungkus potongan kaki dan tangan yang dipenuhi darah. Samar kudapati sepenggal kepala yang sudah putus dari tubuhnya.

Monster. Monster. Si monster? Nyata?

Tiba-tiba aku bereaksi atas teriakan Boutros. Kusambar kerah bajunya kuat. Kubalas tatap mata Boutros yang memerah. Polisi sudah bersiap ingin menarikku mundur, tapi aku berusaha menahannya.

“Katakan padaku, siapa monster itu?”

“Aku melihatnya. Monster itu! Aku mendapati sosoknya di sana. Monster itu. Di sana, Galih. Itulah dia, dia!”

Aku melepas cengkraman tangannya dari kerah baju Boutros. Kuarahkan pandanganku sesuai arah tunjuk Boutros. Aku tertegun. Sebuah kaca jendela yang memantulkan bayangan Boutros sendiri, itu yang Boutros tunjuk.

“Monster, Galih! Ada monster di kepalaku. Di kepalamu. Di kepala orang-orang,” teriak Boutros. Suaranya hilang saat ia sudah diringkus ke dalam mobil abu-abu milik tiga lelaki berseragam cokelat itu.

Aku tertegun beberapa menit. Kemudian tertawa gila selayaknya Boutros lakukan tadi.

“Iya, Boutros. Ada monster juga di kepalaku. Baru kusadari itu.”

“Monster, monster! Ada monster!” teriakku tiba-tiba, membuat tiap pasang mata tetangga menyinggahiku. Aku tertawa keras.

Bedanya, aku menang melawannya.

***