Try new experience
with our app

INSTALL

Monster di Kepalaku 

Chapter 4

Dua jam berlalu sejak kunjungan Pak RT dan Ibu Kost tadi sore. Dua jam juga, waktu yang ia habiskan untuk berperan menjadi psikolog dadakkan. Tiap kali Boutros berteriak, aku membalasnya dengan teriakkan juga. Bahkan, kulempar segumpal roti ke mulutnya. Boutros mengoyaknya layaknya binatang buas. Matanya awas menatapku. Tapi binar ketakutan itu tak redup dari matanya. Aku semakin heran, Boutros menampakkan diri seolah benar-benar ada monster yang mengejarnya dan siap membunuhnya malam itu juga. Sedetik, aku bergidik ngeri.

“Bou, kau tahu siapa yang tadi datang kemari? Pak RT dan Bu Kost, kalau kau terus berperilaku gila, bukan tidak mungkin warga di sini akan menggila dan mengusirmu paksa,” bentakku tak sabar.

Boutros mendelik padaku. Tapi saat itu juga, tatapnya melunak. Ia menggigiti lagi kuku-kuku jarinya hingga luka-luka. Kubiarkan beberapa menit. Lalu, Boutros mengerang keras. Sempurna mengejutkanku. Ia merangkak dengan beringas dari kolong tempat tidur hanya untuk membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding kamar. Aku mencoba menahannya, tak kukira jika berusaha menenangkannya justru membuat Boutros semakin tak bisa dikontrol. 

Lenganku yang menahan dadanya, ditampiknya dengan satu sentakan kuat. Cukup kuat bagiku yang tidak siap menerima tenaga Boutros, membuatku terguling ke atas lantai. Sedangkan Boutros, kedua tangannya kini menarik-narik rambutnya sendiri. Memukul wajahnya sendiri, hingga darah segar mengucur dari ujung bibir dan lubang hidungnya.

“Bou, akan kubawa kau ke psikiater. Sekarang juga!”

“Monster! Monster itu, monster!”

“Persetan dengan monster,” makiku hendak membuka pintu kamar, tapi Boutros menahanku sekuat tenaga. Ia terduduk di atas lantai, memegang kedua lututku erat-erat.

“Monster itu bilang padaku, dia akan menghabisiku malam ini. Aku sudah kalah melawannya. Monster itu punya rencana, rencana yang berdarah.”

Kutendang rahang Boutros, membuatnya meringis kesakitan dan merenggangkan cengkeramannya. Ia mengaduh di atas lantai. Kulihat arloji di pergelangan tanganku, pukul delapan malam. Cukup malam untuk menemui seorang psikiater yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Aku pun mengurung niatku. Mungkin besok pagi. Kuyakin kalau Boutros sudah memiliki kesalahan dengan jiwanya. Ia harus disembuhkan. Dan, dijauhkan. Dari monster-monster khayalannya itu. 

***

Srrrk…hrssskkk…

Aku mengerjap-ngerjapkan sepasang mataku. Sebuah suara gemerisik kantong plastik mengganggu lelapku. Berkali-kali kutepis suara itu, mungkin suara gesekkan dahan pohon atau rerumputan. Tapi, suara itu semakin jelas. Bahkan, diikuti oleh suara janggal lainnya, seperti suara orang tengah mencangkul tanah. Aku beranjak dari atas kasur, mencari sakelar lampu. Terang cahaya lampu segera masuk ke retina mataku, membuatku harus menyipitkan mata. 

Rasanya suara berisik itu datang dari halaman belakang rumah, batinku. Apakah aku harus mengeceknya? Mungkin saja kucing yang tengah menggali lubang untuk kotorannya. Aku pun memutar daun pintu, tapi tiba-tiba terdengar suara air yang jatuh ke genteng rumah kost. Hujan turun. Dan, suara berisik itu samar-samar menghilang digantikan irama hujan yang menderas. Kutengok jam weker yang tergeletak di samping bantal, pukul setengah satu pagi. Aku baru menyadari, Boutros tidak berteriak malam ini. Tumben sekali, pikirku. Atau Boutros sudah menang melawan monster khayalannya itu? Baguslah kalau begitu.

Kantuk mulai menyerangku. Kuputuskan untuk mematikan lampu dan kembali tidur. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Suara ganjil tadi mungkin gerimis hujan yang mengenai seng atau rerumputan. 

***

“Monster. Monster. Monster, Galih! Tolong aku, Galih! Monster itu sudah berhasil melumatku. Aku kalah. Habislah aku. Monster itu, monster, Galih!”

Teriakkan Boutros di pagi buta sontak membangunkanku dalam sekejap mata. Aku hampir lompat dari tempat tidur ketika teriakkan Boutros diiringi dengan gedoran di pintu kamarku. Panik seketika menyergapku, Boutros tak pernah keluar dari kolong gelap tempat tidurnya selama ini. Aku menegakkan tubuhku, cepat-cepat membuka gagang pintu. Ingin segera tahu apa yang terjadi pada Boutros, bahkan lampu pun tidak kunyalakan. Kubiarkan gelap menyisa di ruang kamarku, matahari pagi masih bergeliat di tempatnya, belum juga berdiri dari singgasananya.

“Ada apa,” kataku dengan suara serak khas orang baru bangan tidur.

Aku seperti menelan kembali tanyaku ketika tak kutemukan Boutros di depan kamarku. Cekat menohok kerongkonganku hingga kehilangan kata ketika melihat lantai indekos yang putih, ditapaki oleh jejak berdarah. Aku mengikuti jejak kaki berdarah itu. Semakin kuikuti, takut menjalari tubuhku hingga gemetar. Jejak darah itu sedikit kecokelatan, seperti bercampur dengan lumpur. Bersumber dari halaman belakang rumah. Tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan pendek itu kini menggembur, seolah habis digali seseorang untuk menguburkan sesuatu. Apa ini yang didengarnya semalam?

Aku mengedarkan pandangan lebih jauh, di tengah tanah yang menggembur itu, teronggok kantong plastik sebesar dirinya. Seperti kantung untuk mayat atau jenazah. Apa ini suara gemerisik plastik yang didengarnya semalam? Bulu kudukku mulai berdiri. Pagi buta yang masih gelap dan berembun, membuat pemandangan di depannya semakin menakutkan. Aku seolah merasakan ada cekam yang merayapi tengkukku. Ada embus angin dibawah telingaku. Membuatku menggigil. Gigil akan takut yang menebal.

Gundukan tanah di hadapanku membuatku terus menerka-nerka apa yang terkubur dibaliknya. Dan, pertanyaan yang menyesakkan dadaku kini: siapa. 

“Monster!” 

Teriakan Boutros seperti belati yang menusuk jantungku tiba-tiba. Membuatku meloncat ke dalam rumah. Sedari tadi, aku memang belum melihat Boutros. Aku melangkahkan kaki yang bergetar, dengan langkah yang cukup cepat mengarah ke kamar Boutros yang pintunya terbuka. Begitu kagetnya aku, ketika melihat jejak darah itu berhenti tepat dimana sekarang Boutros meringkuk. Di bawah tempat tidurnya.