Contents
Monster di Kepalaku
Chapter 3
Tetangga sudah mulai membicarakan Boutros. Tidak mengherankan. Sepanjang tujuh hari penuh, Boutros berteriak hal yang sama. Tentang sosok monster yang mendelik padanya setiap kali ia bergerak barang sedikit saja. Monster yang berniat menghujamnya, merajamnya, mengebirinya. Siapa yang bisa mempercayainya jika seisi rumah kost tidak kutemukan monster. Teriakkan yang mengganggu itu akhirnya mendatangkan ibu kost dan kepala rukun tetangga untuk menemuinya di sebuah sore. Membahas perkara monster.
“Pernah Nak Galih bertanya pada Boutros, bagaimana sosok si monster yang ditakutinya?” tanya Pak RT sambil meneguk kopi panas yang kubuatkan. Busa gelembung kecil yang mengambang di permukaan cangkir kopi panas itu menempel pada kumis tebal Pak RT.
“Pernah. Boutros bilang, monster itu bermata elang, bertubuh besar sekali, rambutnya begitu hitam dan acak-acakkan. Sosoknya seperti manusia biasa, tapi bisa berubah menjadi serigala tanpa hati yang menerkam mangsanya untuk perutnya yang lapar.”
“Boutros bilang melihatnya di rumah kost ini, Gal?” tanya Ibu Kost. Kudapati ada tatap tidak percaya di kedua manik matanya yang kurasa, mengedip lebih sering dibanding orang yang pernah dikenalnya.
“Ya, Boutros berkali-kali berteriak ketakutan, bilang jika monster itu menerornya, mengancamnya, hendak membunuhnya. Apa pun itu yang berhasil menakutinya. Dan ia bilang, ada di sini. Di rumah kost ini, di dekatnya. Kemana pun ia pergi.”
Hening sesaat. Tatap tidak percaya masih melekat di mata Ibu Kost. Tentu saja, bagaimana ibu itu bisa percaya. Rumah-rumah kost yang ia punyai lebih dari sepuluh tahun itu dihuni oleh sesosok monster? Aku sendiri yang sudah tinggal dua tahun di sini, tak pernah menemui makhluk khayalan seperti itu. Pak RT menggelengkan kepalanya, sesekali ia menekan kening kepalanya yang mengerut. Bisa kutebak apa yang sedang ia pikirkan.
“Nak Galih tidak mencoba…ehm, membawanya ke dokter? Psikiater, maksud saya,” saran Pak RT ragu-ragu, takut menyinggungku.
“Pernah. Tapi, Boutros bilang sebaiknya jangan. Sebab monster itu bisa membunuh siapa saja yang mengusiknya. Dan ia kerap kali memohon untuk tidak dibawa kemana-mana. Saya tahu sekali, teriakkan Boutros mengganggu warga sekitar. Mungkin, saya akan membicarakannya lagi dengan Boutros lebih jauh,” jelasku berusaha mengakhiri diskusi konyol ini.
“Ia tidak bisa diajak berbicara, Gal. Kau harus menyumpal mulutnya tiap kali ia berteriak. Atau,” sambung Ibu Kost dengan nada menggantung. Pak RT memaku pandangannya pada Ibu Kost. Aku sendiri diburu rasa penasaran.
“Kau harus bunuh monster itu.”
Aku diam. Kulihat Pak RT mengangguk. Membunuh monster itu, sama saja percaya jika monster itu benar-benar ada. Lagipula, sosoknya saja tak pernah kutemui, bagaimana cara membunuhnya? Monster ini sudah benar-benar menjadi prahara. Tak hanya Boutros yang percaya jika sosoknya benar-benar ada, tapi Ibu Kost dan Pak RT juga. Aku bisa gila.
***