Try new experience
with our app

INSTALL

Monster di Kepalaku 

Chapter 2

Intensitas teriakan Boutros semakin sering terdengar tiap hari. Awalnya hanya di pertengahan malam, lalu terdengar di sepinya siang. Semakin lama, tidak kenal waktu. Ketika fajar bergerak menguasai cakrawala, teriakan Boutros mengiringinya lebih awal dibanding kokok ayam. Siang menepi, Boutros semakin histeris di kamarnya. Senja mewarnai langit, Boutros menangis sambil berteriak, ia bersembunyi di bawah tempat tidurnya, katanya untuk melindungi dirinya dari serangan monster. Malam datang berkunjung, teriakan itu tak berhenti. Apakah Boutros tidak pernah tidur, mengapa jua letih tidak kunjung menghampirinya, pikirku.

Boutros mungkin lupa, ada yang tidur, ada yang beraktivitas, ada yang bermain, dan tentu saja ada yang hidup di sekelilingnya. Tetangga-tetangga mulai mengeluh, bertanya apakah aku baru saja membawa lari pasien dari rumah sakit jiwa.

“Bou, aku tinggal di sini bertahun-tahun. Tidak ada monster. Lagipula, kau bilang monster? Konyol sekali. Kau hanya mengganggu tetangga, kau dikira mengidap penyakit sinting. Berhenti bertingkah gila karena kau tidak dapat kerja,” ujarku suatu hari.

Boutros menggigiti jari jemarinya. Terdengar gemeretak giginya karena ketakutan. Ia menyembulkan kepalanya dari kolong tempat tidur. Matanya sayu dan memerah. Rambutnya yang acak-acakkan kini menjadi sarang laba-laba. Tubuhnya dipenuhi debu-debu dan noda hitam. Pakaiannya berlubang di sana-sini. Sudah seminggu, keponakanku satu-satunya itu seolah memiliki kelainan. 

“Kau tak tahu, Galih! Monster itu menerorku tiap hari. Monster itu mengajakku berperang! Berlomba! Berkompetisi! Dan kau tahu apa? Aku selalu kalah. Dan…dan…”

Boutros keluar dari kolong tempat tidur, memeluk kedua kakinya kuat-kuat. Matanya menyapu ke tiap sudut ruang, seolah memastikan jika ‘si monster’ yang dipercayai Boutros, tidak ada di sana. Kukira setelah Boutros menyadari ruang kamarnya benar-benar kosong, tidak ada monster-monster yang ia bilang itu, Boutros akan sedikit lebih tenang. Tapi, aku salah. Boutros justru berteriak. Suaranya berat, keras, kuat. Ada nada ketakutan dan ketegangan yang terselip di antara teriakannya. Aku semakin bosan dengan permainan gila ala Boutros. 

“Dan apa?” tanyaku hendak membuka pintu kamar dan keluar. Tapi, tiba-tiba Boutros bangkit. Kuku jarinya yang panjang dan kotor, mencengkeram pundakku kuat-kuat. Membuatku terlonjak kaget, lantas mendorongnya kuat hingga menghantam dinding. 

“Dan, monster itu siap menerkamku, memperbudakku hingga menuruti perintahnya. Aku kalah, kalah, kalah,” teriak Boutros. Sekali lagi, ia bangkit dari atas lantai. Tidak menyerangku, tapi mencakar dinding kamar dengan kuku jarinya yang panjang dan tajam. Cat putih di dinding kamar mengelupas, menimbulkan bunyi kecil yang tidak enak didengar telinga. 

“Serah kau. Sinting,” makiku cepat. Aku berlalu sembari membanting pintu. Akan kupertimbangkan solusi untuk mengirimnya pulang kembali ke kampungnya. Namun, tidak mungkin Boutros bisa pulang dalam keadaan seperti itu. Mungkin akan kupikirkan cara lain mengatasinya.

Saat kuputuskan untuk mendinginkan kepala sejenak dengan menyeduh daun teh, samar-samar kudengar ceracau Boutros. Suaranya tidak sekencang yang tadi. Tapi tetap saja mengundang hujat dan olok tetangga yang lewat. Aku ingin segera menutup telinga dan pergi keluar rumah, tapi ceracau Boutros malah semakin keras. Berulang. Memanggil namaku pula.

“Galih, Galih. Monster itu ada di sini. Ada monster di sini! Galih.”

Monster sialan, umpat Galih dalam hatinya, tak tahan dengan racauan Boutros yang semakin hari semakin tidak masuk akal. 

***