Try new experience
with our app

INSTALL

Santri Be Happy 

Nanda : Kesurupan (1)

  Pagi-pagi aku sudah dipanggil ke ruang BP. Mbak Bubah memberi pesan saat para santri bersiap masuk kelas. Oyik menatapku heran, kami berpisah depan asrama. Oyik menuju kelas, aku berjalan ke arah kantor BP. “Nanda ... tolong duduk sini,” panggil Ustadzah Siti ketika melihatku sudah di depan pintu ruangan. Aku masuk dan duduk di hadapannya. “Maaf, Ustadzah, kenapa saya dipanggil?" "Kamu masih saja nggak mudeng, tho." Ustadzah Siti tersenyum, entah kenapa senyumnya terlihat mengejek. “Oh begitu, saya juga masih baru, jadi harap maklum kalau tidak tahu." "Nanda ... boleh Ustadzah bicara? Tolong dengarkan, ya. "Aku mengangguk. Diam tanpa bersuara, duduk manis di depannya. 

  Panjang kali lebar dia berkata, hingga membuat mata ini ngantuk. Tidak sepatah katapun aku keluarkan seperti permintaannya. “Nanda ... kamu mendengarkan semua? Bisa dimengerti?” tanyanya. “Ustadzah tadi bicara apa, ya? Saya lupa,” ujarku dengan wajah polos tanpa rasa bersalah. “Terus dari tadi kamu ngapain?!” bentaknya. “Diam.” "Benar kata Bubah, kamu memang selalu bikin gara-gara. Semua pusing menghadapi kamu!” "Ustadzah itu aneh, bukannya Ustadzah sendiri yang bilang kalau saya disuruh diam. Terus sekarang sudah diam dimarahi. Sebenarnya yang bikin gara-gara siapa?” Aku mulai naik pitam.  “Ya Allah, baru kali ini ada santriwati seperti kamu.” "Kenapa, Ustadzah. Aku paling cantik, ya?” “Sudah, silahkan kembali ke asrama. Perbaiki diri saja. Daripada saya senewen kalau berlama-lama sama kamu." Tidak menunggu lama aku nyelonong pergi. Menuju asrama putri. Terlihat wajah tegang Oyik ketika melihatku di depan pintu. “Bagaimana? Kamu kena marah Ustadzah Siti? Haduh Nanda, aku di sini sudah penasaran, bolak-balik mengintip. Pasti gantian nanti aku dapat giliran,” Oyik terlihat tegang. “Oh tentu tidak, Nanda anak pengusaha udang windu, masa kena marah,” kataku sambil bertepuk dada. “Halah ... mbujuki,” ucap Oyik. Kami cekikikan bareng. Aku ceritakan semua yang di katakan Ustadzah Siti, juga dengan semua pembelaanku. Ketika sedang asyik bercerita tiba-tiba Mbak Bubah datang membawa berita. “Oyik, kamu di panggil Ustadzah Siti.” Kami saling pandang-pandangan. Dugaan kami benar. Pasti giliran Oyik kena omelan. “Semangat,” aku bisikan kata di telinga Oyik. Dia hanya mengangguk dan memasang muka tegang. Anak itu berjalan menuju ruang BP.

  Mbak Bubah memandangku masam. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Sudah biarkan saja pikirku. Lagian hal yang lumrah orang membuat kesalahan. Masih terbayang jelas wajah Gus Attar sore itu. Dia sok jijik, padahal melirik. Awas saja kalau nanti jatuh cinta. Akan aku buat dia selalu terbayang wajahku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Ah ... apa-apaan ini. Bukannya masih banyak Gus yang ganteng. Kyai Ridwan istrinya empat. Anaknya juga banyak. Ada yang ganteng juga. Buat apa mikirin Attar yang galak seperti bledek. Mbak Bubah mendekat. Aku hanya diam saja. Sudah terekam jelas kalau dia pasti akan kepo tentang pertemuanku dengan Ustadzah Siti. Sebelum dia membuka mulut, langsung saja aku pamit ke belakang. Menghindari dari rentetan pertanyaan dan ceramah. Terlihat jelas wajahnya penuh kekesalan. Dalam hati aku bersorak. Berhasil membuat dia kesal.

  Dengan tergesa, aku segera berjalan menuju kamar mandi. Terdengar riuh suara dari asrama para Gus di sebelah tembok. Tidak biasanya seramai ini. Kenapa siang ini begitu gaduh? Hatiku bertanya-tanya. Rasa penasaran yang memuncak membuat ide iseng tiba-tiba beraksi. Sengaja telinga aku tempelkan di tembok. Berusaha mendengar apa yang mereka ributkan. Ternyata mereka sedang menggodaGus Furqon. Namun, masih samar-samar terdengar ucapan mereka. Aku teringat akan balkon lantai atas. Tempat paling jelas untuk mengintip para pangeran pesantren Khadijah. Pelan-pelan kunaiki anak tangga. Sambil berjingkat. Pokoknya nanti kalau ada yang curiga aku akan bilang mau mengaji di mushola. Pasti mereka percaya.

  Alhamdulillah orang cantik memang punya segala cara untuk mengintip. Baru saja akan memasang aksi, sebuah tepukan mendarat di bahu. Waduh ... mati aku! Siapa yang menepuk bahu ini. Aku terdiam sesaat, mau menengok takut itu Mbak Bubah, kalau tidak, bikin penasaran. Sambil menghitung bunga di gamis. Komat-kamit nengok ... enggak ... nengok ... enggak. “Nda ... hayo mau apa kamu di sini?” Suara cempreng itu sangat tidak asing. Apalagi tangan bau terasi. Ini pasti Oyik. “Oyiiik! Usil amat sih!” bentakku. “Lah ... kamu memang mau ngapain?” tanya dia. Oyik bercerita tentang pemanggilan Ustadzah Siti. Sama denganku, rentetan pertanyaan telah dia terima. Katanya kami sepasang santri yang harus di pantai eh di pantau. Padahal yang kami lakukan masih sebatas kewajaran. Lumrah karena masih baru perlu penyesuaian. Akhirnya aku mengaku. Kami berbisik-bisik sebelum melakukan aksi perngintipan. Oyik manggut-manggut seakan sudah paham semua rencana. Kami berdua mengendap-endap perlahan. Sesampainya di balkon atas, suara riuh itu makin terdengar jelas. Gelak tawa para Gus dan abdi ndalemnya.

  Sayang, belum juga kelihatan jelas. Kami terus naik ke tempat jemuran. Di sana terlihat jelas para Gus saling meledek. Wajah-wajah bening sudah nampak. Lelaki sholeh idaman. Walau nggak semuanya bening sih. Ada juga yang jerawatan dan lain-lain. “Gus Attar gantengnya,” celetuk Oyik. “Huuuss ... jangan keras-keras bahaya,” aku memberi peringatan sambil meletakkan jari telunjuk di atas bibir. Mereka ternyata sedang merayakan hari-hari terakhir Gus Furqon melajang. Herannya kenapa dia yang duluan menikah. Bukannya diantara Gus dia paling jelek. Batinku bertanya-tanya. Lagi asiknya mengintip, eh ternyata ada santriwati yang lain datang untuk menjemur pakaian. Beruntunglah dia malah ikut-ikutan mengintip. Katanya masih penasaran dengan wajah para Gus. Akhirnya kami berempat mengintip beberapa saat. Ada yang main bola dengan celana selutut, wow seksi. Ada juga yang mengobrol layaknya perempuan ngerumpi.

  Kami akhirnya kembali turun, ketika mereka sudah bubar. Kami berempat tertawa bareng. Karena sudah puas melihat wajah para Gus. Memang sih paling ganteng adalah  Gus Attar. Secara wajahnya indo. Bukan seperti yang lain wajah pribumi. Sayangnya Attar itu jutek, galak kepada kami. Seandainya dia lebih lembut pastilah poin tertinggi ada padanya.

***

  Sudah hampir dua bulan kami di pesantren. Ada banyak hal yang terjadi. Dari beberapa kejadian itu membuahkan nama kami memiliki raport kesalahan yang cukup banyak. Hukumannya tidak boleh pulang kerumah untuk berlibur selama sehari. Sedih rasanya tidak bisa pulang. Padahal sudah kangen banget sama kamar, Mama dan juga ponsel. Walau sebagian santri juga tidak pulang karena alasan rumah mereka jauh, tapi aku dan Oyik ingin pulang. Parahnya lagi Mama tidak boleh menengok. Karena kami masih kena hukuman. “Nanda, Oyik, nyong pulang disit, ya,” pamit Hasna pada kami. Hanya anggukan yang kami lakukan. Lemas dan lesu ketika satu persatu teman di tengok maupun di jemput untuk berakhir pekan di rumah. Asrama juga agak lenggang.  “Sudah tidak usah sedih, kami juga tidak pulang,” ucap Ratna menghibur kami berdua. Ratna berasal dari Kalimantan. Dia hanya pulang satu tahun sekali saat lebaran. Walau dia kakak kelas, tapi baik. Masih ada Ruli, Ani, Vega dan yang lain, sih. Dua bulan di sini membuat kami makin akrab. Rasa kangen pada Mama, membuatku merencanakan sesuatu. 

  Mendekati magrib, aku pura-pura terjatuh dan pingsan. Suara riuh para santriwati terdengar jelas. Mereka berusaha untuk menyadarkanku. Dalam hati aku tertawa. Perlahan mata ini terbuka. Begitu terbuka sempurna, aku mendelik. Bagai orang kesurupan. Mbak Bubah dan beberapa ustadzah bagian keamanan terlihat bingung. Lantunan ayat suci mereka ucapkan. Demi membuat aku tersadar. Padahal ini hanyalah bagian akting saja. Aku sangat mendalami semua peran ini. Sudah tanggung harus sampai tuntas. “Beri makan aku sate kambing sekarang! Cepaaat! Kalau tidak tubuh anak ini akan aku buat lebih parah!” Aku menirukan suara geraman yang dulu pernah kudengar waktu di kamar mandi. Ternyata ada manfaatnya juga saat jin itu menggodaku. “Jangan kamu apa-apakan santriku, siapa kamu sebenarnya?” tanya Mbak Bubah. “Aku Mbak Sono penunggu kamar mandi!” Mataku makin kubuat melotot.

  Beberapa santri sudah datang membawa sate kambing pesananku. Aku makan dengan lahap. Sudah lama tidak makan sate. Setelah sate habis lagi-lagi aku meminta sesuatu yang aku inginkan. “Mana jus jeruk, ayo cepat!” Jus jeruk sudah datang, ganti aku minta yang lain sampai kenyang. Segala cara mereka lajukan agar membuatku sadar. Karena ini akting yang aku buat dan sebenarnya aku juga sadar. Lantunan ayat suci itu bagai tidak mempan. Padahal kalau setan asli pasti takut dan pergi. Terakhir aku meminta untuk dipulangkan. Alasannya jika pulang rumah, aku akan keluar dari tubuh Nanda. Padahal ini hanya akal-akalanku supaya bisa pulang rumah. Yee ... akhirnya trik kesurupan ini berhasil. Mereka segera menelepon Mama untuk menjemput. Akhirnya aku sebentar lagi bisa pulang kerumah walau sesaat. Karena ini akting rahasia jadi kurahasian pada Oyik. Satu jam kemudian Mama datang menjemput. Aku masih bertahan memerankan kesurupan. Karena kami sepaket, jadi aku bilang mau keluar dari tubuh Nanda  kalau Oyik ikut pulang. Akhirnya tidak menunggu lama ijin pulang telah keluar. Saatnya aku berakting jadi baik dan tidak kesurupan lagi. Dalam hati aku tertawa bahagia.

***

  Aku masih saja meneruskan akting kesurupan sebelum pulang rumah. Suara langkah kaki mendekat. Sedikit kubuka mata. Mama nampak khawatir melihatku terkulai setengah kejang. “Afwan, Ustadzah. Bagaimana kondisi anak saya?” Terdengar suara Mama bertanya pada Ustadzah Siti bagian BP merangkap keamanan santriwati. “Afwan, Um, ananda kelihatannya kerasukan setan. Sudah kami lakukan berbagai cara agar sadar, tapi sampai sekarang keadaannya masih begini.” “Coba saya minta ijin bawa pulang dulu, kalau sudah membaik saya antar kesini lagi.” Mendengar Mama akan membawaku pulang, sontak hati girang. Namun, akting masih berlanjut. Tidak boleh gagal gara-gara kecerobohan. Akhirnya drama kepulanganku bersama Oyik terlaksana. Dengan di bantu santriwati lain, tubuh ini di papah masuk kedalam mobil Mama. Setelah berpamitan, mobil melaju menuju kota Surabaya. Aku membuka mata. Merasakan kebahagian yang tiada terkira. Sebentar lagi, kamar besar yang dua bulan tanpa di huni. Kini penghuninya datang berkunjung. Mata Mama melirik ke arahku. Sepertinya beliau mencium hal-hal yang tidak benar. Keningnya mengernyit. Kemudian melirik ke Oyik dan aku.

  Sepanjang perjalanan pulang, Mama tidak banyak bicara. Fokus dengan kemudi. Satu jam telah berlalu. Setelah keluar tol Waru, mobil kami melesat menuju rumah. Kami juga masih terdiam menyempurnakan akting. Takutnya di tengah jalan Mama tahu dan mengembalikan ke pesantren sekarang juga. Tiga puluh menit kemudian, mobil ekspander ultimate telah memasuki pelataran rumah kami. Aku masih pura-pura lemas. Mama dan Oyik memapahku masuk dalam rumah menuju kamar. Sudah ada Mbok Nah yang setia. “Non Nanda Pulang? Wah Simbok kangen,” ucapnya ketika melihat kami masuk rumah. Aku hanya mengangguk dan segera masuk kamar. Ruangan ber-AC dan besar itu telah menunggu kedatangan penghuninya. Oyik seperti biasa mengintil. Begitu pintu kamar di tutup. Langsung saja aku loncat kegirangan. Serasa lepas dari penjara suci anak ABG sekarang menyebutnya. Awalnya aku juga mlongo ketika mendengar kata penjara suci. Ternyata anak alay zaman sekarang banyak banget kata sebutan. “Masya Allah ... tolong, duh Gusti ini anak kesurupan meneh jingkrak-jingkrak. Mbok Nah tolong, Tante Iki yok opo anak setane pindah.” Oyik panik. ( Masya Allah ... tolong, ya Tuhan ini anak kesurupan lagi sambil loncat-loncat. Mbok Nah tolong, Tante ini bagaimana anak setannya pindah ke sini.)

  Melihat gelagatnya aku makin tertawa lebar. Dasar bocah gemblung, dia nggak tahu kalau ini hanya akting saja. “Nanda, seng iling, istighfar, Nda, mosok kesurupan gak mari-mari!” (Nanda, sadar, istighfar. Nda. Masak kesurupan tidak berhenti-berhenti!) “Kesurupan pala peyak, eh Oyik, aku sadar, nggak kesurupan.” Aku melotot, tangan satu membekap mulutnya agar tidak berisik. “Beneran kamu enggak kesurupan?” tanyanya sambil mencubit lenganku. “Halah, bocah ora peka. Ini hanya akting, Oyik, supaya bisa pulang walau hanya sehari. Makanya jangan keras-keras nanti Mama dengar,” jawabku menerangkan. “Owalah, kamu pinter bener!” Oyik tertawa lebar. Aku dan Oyik berpesta dalam kamar. Serasa menemukan surga. Tidur di ranjang yang besar. Bisa selfi beraneka gaya. Terpenting tidak ketinggalan bisa uploud foto dan video. Beberapa kali kami berpose. Dari ala Ayu ting-ting sampai ala Nunung Srimulat. Pokoknya seru. Tiba-tiba ada suara ketukan kamar. Waduh itu pasti Mama. 

   Segera aku berbaring, Oyik segera membuka pintu. Benar dugaan kami, Mama yang datang. “Oyik, bagaimana Nanda sekarang?” tanya Mama sambil mendekatiku. “Sudah nggak kesurupan, Tante. Itu anaknya sudah baik,” jawabnya sambil matanya menunjuk ke arahku. “Mama ....” “Alhamdullilah, anak cantik sudah baikan. Nanda sayang, badan masih lemas?” tanya Mama padaku. “Sudah enggak, Ma, ini lihat sudah bisa tersenyum,” rayuku pada Mama."Sudah malam, Oyik mau pulang apa menginap di sini?" Mama bertanya pada Oyik. "Saya mau pulang saja, Tante. Kangen sama Ibu." "Baiklah, nanti Tante antarkan." "Ma ..." Aku menyela, "besok antarkan jalan-jalan ya? Please." "Oke, Sayangku. Ayo Oyik, Tante antar pulang sekarang." Mama dan Oyik meninggalkanku. Ah, senangnya tidur di atas ranjang empuk. Dalam sekejap, mataku sudah terpejam.