Contents
Santri Be Happy
Gus Attar : Maksiatul’ Ain
Aku benar-benar heran dengan santri jaman now. Ya, anak baru yang kemarin baru saja kepergok mau keluar tanpa izin. Mana mungkin aku lupa dengan wajahnya. Aku tipe orang yang punya daya ingat kuat. Sebenarnya aku sedikit malas mengurus pesantren Abah ini. Mengurus segala peraturan dan tetek bengeknya. Aku lelaki berjiwa bebas, tak suka dikekang. Tapi perihal santri yang sering melanggar peraturan aku tak bisa tinggal diam. Akal dan hati nurani tak bisa membenarkan dan akan terus menentang. Terutama dua santri putri itu. Kelakuannya benar-benar ... Astaghfirullah ... bikin darah naik seratus watt.
Sebelumnya aku tak sengaja mendapati mereka mau kabur, eh sekarang malah lihat salah satu dari mereka berakting memalukan. Parah. Aku memang bukan lelaki sok suci yang tak pernah melihat aurot wanita terbuka. Di televisi banyak yang sengaja membuka aurotnya, di pasar, di jalan. Namun, semua itu tak membuatku lantas terpedaya dan ingin terus-terusan memandang. Tapi ini beda wahai, Bani Adam! Kejadian memalukan itu terjadi di pesantren. Gadis itu berlari sambil berteriak-teriak menanggalkan sarungnya. Lalu berjongkok di belakangku. Ya, Allah. Sesuatu yang sangat langka terjadi di pesantren ini. Kejadian yang akan menjadi catatan unik dan bersejarah bagi kakak kelimaku, Furqon. Terbukti dari halaman pesantren tadi sampai di dalam mobil dia terus saja senyum-senyum nggak nggenah melihat wajahku geram menahan malu dan amarah. Aku hanya berharap gadis tahi lalatku tak melihat kejadian tadi. Arghhhh ... apa mungkin? "Woaaah ... boleh juga tuh cewek. Wakakkaka. Sampai bisa membuat muka Sampeanseperti badak cula. Hahahaha," ucap Furqon sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri. Sedangkan mataku lurus menyetir. Tentu saja sambil bersungut-sungut.
Tiba-tiba hawa terasa panas sekali. Jantungku berdebar keras. Bukan karena habis melihat tontonan gratis di halaman pesantren itu. Tapi aku takut gadis tahi lalatku cem-bu-ru. Ah, sial. "Kalau aku jadi Sampean, Tar ... wes tak lepas sarungku ini buat dia," sarannya berbau meledek dan memuakkan. Aduuhh ... mataku sungguh sakit melihat kedua kaki itu tanpa terbalut apa-apa. "Terus aja meledek. Kenapa nggak Njenengan wae tadi yang ngasih sarung?" "Maunya gitu, Tar. Tapi aku lupa kalau nggak pakai celana pendek. Ntar aku malah yang telanjang. Santri-santri putri tambah nge-fans sama aku dong. Hahahaha." "Dasar, Play Boy!" ucapku masih dengan wajah murka durjana. Mobil Alphard berbelok ke sebuah cafe modern di wilayah Bangil. Cafe dengan nuansa putih ini menjadi favorit kita melepas penat dengan seabrek kegiatan pesantren. "Ente ntar malem nggak bakal bisa tidur." "Ngapain?" sahutku sinis. "Itu habis lihat kaki mulus." "Heleh mulus apaan?" Aku sudah mulai jengkel. "Wes wae. Ayo pulang aja kalau mau bahas santri baru itu terus." Aku bersiap mengambil kunci mobil. "Eeet dah, gitu aja ngambek. Dasar Bambang. Cuma bercanda, Boy."
Kusesap capuccino latte yang masih mengepul dalam cangkir keramik sambil melirik sinis dari si Furqon. Si Furqon menyebalkan yang menobatkan diri sendiri menjadi pangeran kelima. Ah, kepala rasanya kembali enteng karena capuccino latte ini. Ponsel berdering. Segera kuusap layar lalu menempelkannya di telinga. "Assalamualaikum, Bah." "Waalaikumsalam warrahmatullah wabarakatuh. Bisa pulang sebentar, Cung." Duh, kupingku geli mendengar sebutan "Cung" emangnya aku kacungnya abah? mentang-mentang anak dari istri keempat, seenaknya saja memanggilku."Wonten nopo, Bah?" "Ada tamu penting dari Kediri. Mau ketemu anak-anake Abah." Pasti. Pasti bab perjodohan ala pesantren. Kenapa sih, aku dilahirkan di tengah keluarga Bani Ridwan. Mentang-mentang aku paling ganteng, pasti aku duluan yang disodorin. Untung saja aku selalu bisa berkilah dan menolak tradisi perjodohan yang teramat kolot itu. Astaghfirullah ... kenapa aku malah jadi kufur nikmat begini. "Awakmu nangdi saiki? Sama Furqon, kan?" "Njih ... lagi keluar sama Mas Furqon, Bah." "Ya wes, tak tunggu, ya." "Njeh, Bah."
Tut. Sambungan telepon terputus. Kumasukkan benda pipih itu ke dalam tas slempang kesayangan. Si Furqon sok kegantengan padahal masih ganteng aku itu pun kepo. "Ono opo, Cung?" "Disuruh pulang Abah." Aku berdecak mendengar dia ikut-ikutan memanggil Cung. "Halah, nggak tau orang lagi santai aja." Kalau benar Abah menyuruhku pulang karena akan ada bab perjodohan lagi, Si Jaka tua ini bisa habis-habisan lagi meledekku. Dasar Jaka tua nggak laku tapi masih santai aja. Iya nggak laku, karena setiap cewek atau putri kyai yang dijodohkan dengannya akan langsung menolak. Pasti alasannya sepele. Itu karena banyaknya jerawat yang bertebaran di wajah Pangeran kelima ini. "Ya wes ayo pulang. Sang Raja bisa murka." Acara santai dan semilir angin kota Bangil lenyap berganti dengan suasana tegang di ruang tamu. Di sana sudah ada beberapa orang menunggu. Juga ada kakak-kakakku yang duduk dengan tawadlu di samping Abah. Setelah mengucap salam, aku dan Furqon masuk. Lalu menyalami tamu dengan santun. "Nah, ini anakku yang nomor lima, Furqon. Terus ini yang terakhir Attar."
Bau-bau perjodohan sudah tercium wahai, Bani Adam. Lelaki berjenggot putih itu manggut-manggut sambil tersenyum. Begitu pula Si Furqon. Dia terus menyikut-nyikut lenganku sambil tersenyum meledek. Seperti sebuah kode bahwa aku harus menata mental jika abah akan menunjukku sebagai sasaran perjodohan. "Ini sahabatku waktu mondok, Cung. Kyai Adnan ini punya putri. Dia tidak hanya cantik tapi juga pandai dalam segala hal. Dulu pernah mondok sini waktu MTs. Ternyata menaruh hati sama salah satu anake Abah. Sekarang areke sudah dewasa. Ibarat buah ya siap dipetik. Begitu. Hehehe." Kyai Adnan tersenyum bahagia sambil menatap kami bergantian. Dari ujung sana ada kakak tertuaku. Namanya Huda-yang sudah punya anak sembilan. Ikut duduk di sini karena hormat tamu agung ini. Kedua, Ilyas juga sudah berumah tangga. Kini anaknya ada tujuh. Tak kalah hebat dengan anak pertama Raja Ridwan.
Ketiga dan keempat masih singgle. Mereka Ihya dan Naufal. Ihya itu julukannya "putra malu" karena setiap bertemu perempuan langsung lari dan sembunyi. Pokoknya aneh. Jelas sekarang ini posisi dia aman. Kemudian Naufal itu julukannya adalah kera putih. Dia pandai silat dan sangat sakti. Bahkan ketua Preman Bangil bertekuk lutut sama si Naufal. Saat ini Naufal membantu di pondok pesantren Malang. Posisinya juga aman. Kakak-kakaku yang cewek sudah dipersunting oleh orang-orang keturunan kyai dan darah biru. Mereka tidak bisa hadir karena sudah diboyong oleh suami-suami mereka. kujelaskan semua tentang mereka nggak bakalan kelar sampai subuh. Bani Ridwan sangat banyak. Kami tumbuh dengan sehat dan punya keunikan masing-masingAlhamdulillah. Kalau aku sendiri, julukan yang diberikan santri-santri putri adalah Cah Ganteng Pakistan. Karena memang ibuku berdarah Pakistan. "Pripun, Kang Adnan. Panjenengan ngersaaken (mau) yang mana?"
Mereka berdua lalu terkekeh. Sungguh menyebalkan. Memangnya kami ini barang dagangan. Barang pajangan. Seenaknya dikumpulkan di depan tamu itu dan harus siap dipilih. "Emm ... maaf. Putri saya ini memang tidak terlalu cantik, Kang. Tapi dia itu cerdas dan tangkas. Insyallah bisa menjadi istri yang solihah. Dia tidak hapal quran tapi dia sudah hapal ribuan hadits dan lanyah membaca kitab kuning." Abah manggut-manggut. "Alhamdulillah ... Barakallah ... lajeng yang mana ini yang sampean harapkan jadi menantu?" Deg Deg Deg "Emm ... apa tidak keberatan kalau putri saya berjodoh dengan Gus Furqon, Kang?". Furqon terkejut dan langsung menyemburkan minumannya. Aku tergelak, begitu juga mas-masku yang lain. Alhamdulillah ... plong rasanya mendengar ini. Ternyata bukan aku yang jadi sasaran. "Furqon?" Abah nampak terkejut kenapa si pangeran jerawat yang terpilih. "Nggih, Kang." "Yakin Njenengan?" Kyai Adnan mengangguk dengan wajah malu-malu meong. Mereka berdua pun berpelukan dan saling membentuk kesepakatan dalam waktu dekat akan merundingkan kembali bab perjodohan ini. Hari kami semua kompak meledek si Furqon. Akhirnya aku ada bahan ledekan buat dia. Hahaha. "Cieee ... akhirnya kepilih juga. Wakakaka." Furqon sepertinya ingin menangis tapi ia tahan. Alhasil wajahnya berubah lucu sekali. Hahaha. Mana mungkin dia bisa menolak titah raja. Semua nggak akan bisa berkutik kecuali aku. "Tak sumpahin kamu lihat aurotnya cewek lagi." Furqon mendengkus. "Huweeek ... ogah." Aku segera meloncat dari atas kasur menghindar dari serangannya yang mau meninju lenganku.
***
Seperti biasa, setelah selesaisholat Ashar dan bersih diri, aku bersama Kang-Kang Ndalem makan cemilan gorengan di halaman belakang dapur. Halaman tersekat oleh tembok yang terhubung dengan pesantren putri. Begitu kami mendongak, terlihat pemandangan jemuran santri putri di atas balkon. "Sambele maneh, Kang. Huh hah huh hah." Aku menahan pedas tapi masih ketagihan sama sambelnya Kang Muna. Dia memang paling top kalau urusan persambalan. Kucocol tahu isi dengan sambal nampol itu."Njenengan hebat, Gus. Iki lombok setan kabeh lho aleng aku nyambel," ujar Kang Muna. "Heh, ssst ... sssst ...Subhanallah ono bidadari habis mandi, Rek ...." Spontan kepalaku mendongak mengikuti bola mata Kang Muna. "Astaghfirullah .... "
Aku langsung mengalihkan pandangan. Siapa lagi itu yang cuma mengenakan kemben dengan santainya mengambil sesuatu di jemuran. Meskipun halaman belakang agak gelapoleh pepohonan, tapi balkon itu lumayan terang. jadinya penampakan di atas sana cukup jelas. Mataku ... aduh. Belum aja sembuh harus tersakiti lagi. "Huaaa ... opo iki, Rek?"
Aku terperanjat dengan benda ... semacam onderdil wanita jatuh di dekat kaki Kang Udin. "Wuah ... wuah ... ceroboh itu Mbak santri." Tanpa sadar, kembali aku mendongak. Pandangan kami bertemu, sejenak wajah santri yang telah memakai gamis dengan rambut meruap itu terpaku. Dia lalu berlari menggendong pakaian kering, meninggalkan onderdil pink yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian Kang Ndalem. Yakin itu tadi adalah salah satu santri sengklek yang mau kabur beberapa waktu lalu. Rupanya sumpah Furqon menjadi nyata. Mataku terkena kutukan zina.