Try new experience
with our app

INSTALL

Santri Be Happy 

Nanda : Mandi oh Mandi

  “Ya Allah, Oyik! Itu sarung melorot ha ... ha ... ha ....”. Aku terpingkal-pingkal ketika melihat sarung Oyik copot. Dengan muka masam menahan malu Oyik berlari meninggalkan kedua pemuda itu setelah mengambil sarung. Aku mengikutinya dari belakang sambil terus tertawa geli. Oyik berlari menuju kamar. Sekilas tadi kulihat muka Gus Attar merah padam. Juga lelaki yang berada di sebelahnya. Oyik mengempaskan diri di atas ranjang. Membenamkan mukanya dalam bantal. Kasihan juga melihat dia terpuruk seperti itu. Aku duduk di bibir kasur. Mencoba menenangkan. "Sudahlah, Yik. Kamu kan nggak sengaja."

  "Aku malu, Nda. Apa kata dunia sekarang? Pasti santri-santri itu sekarang sedang ngomongin aku." Suara Oyik bergetar. "Biarin aja, nggak perlu dipikirkan. Aku akan bantu belain kamu kalau ada yang nyinyir." Oyik duduk, kerudungnya morat-marit. "Beneran?" Aku mengangguk. Kami lalu berpelukan. Jemariku menepuk punggung Oyik. "Cup cup cup." "Semua gara-gara kamu, Nda. Gamisku tinggal satu kamu sewa. Huhuhu." Oyik tersedu-sedu.  Duh Gusti, memang sih salahku. Tapi aku juga nggak mau dong disalahkan. Oyik kan sudah menerima uang sogokan.  "Iya, iya ... maaf." Hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Aku bergidik membayangkan kejadian memalukan yang baru saja terjadi. Kalau aku yang mengalami bisa-bisa aku keluar dari pesantren ini.

***

  Hari ini kami dapat jatah mencuci. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Padahal gamis juga sudah ludes kotor semua. Kemarin aku sewa gamis sebesar seratus ribu pada Oyik. baju itu terpaksa kupakai sampai cucian kering. Kata Mbak Bubah semua santri wajib mencuci baju sendiri. Tidak boleh loundry ataupun nitip santri yang lain. Waduhmodyar tenan iki ... masak suruh cuci sendiri. Sambil tepok jidat akhirnya mau nggak mau aku mengucek pakaian kotor. Berderet bersama santri kelas 10 yang lain. Tiga gamis aku masukkan ke dalam bak cucian Oyik, sambil berbisik nominal uang sogokan. Gadis itu tersenyum miring pertanda setuju. Tak lama kemudian, gamis-gamis kami sudah berjejer rapi di jemuran.

  Tak terasa sudah beberapa kami tinggal di pesantren. Aku mulai adaptasi dengan makan di tampah. Walau sering minta kiriman makanan kesukaan pada Mama. Sekarang aku juga sudah tahu kalau anak kyai itu di panggil gus. Dulu aku kira namanya Bagus lah ternyata bukan. Gus itu panggilan anaklaki-laki kyai. Kalau anak perempuan biasa dipanggil ning. Mana kutahu, wong selama ini aku nggak pernah merasakan aroma pesantren. Jadi pengetahuan tentang kebiasaan pesantren benar-benar nol besar. Nggak menyangka kalau di pesantren ada makhluk indah bernama Gus Attar.Gus Attar memang ganteng. Wajahnya campuran bule, sesuai seleraku. Kalau dia berjalan, bikin hati bergerilya membayangkan jadi pacarnya. Ya Allah, memang berat godaan ini. Mataku jelalatan kalau melihat makhluk Tuhan yang tampan. Fiks, aku dan Oyik resmi menjadi bagian santri yang memperebutkan jatah tempat duduk di bawah pohon beringin. Demi apa? Demi melihat ketampanan Gus Attar kalau dia kebetulan lewat.

  Sore ini, aku nggak kebagian jatah antri mandi di asrama pondok. Biasanya aku mandi nomor satu. Kali ini para santri sudah mengular berdiri di depan kamar mandi saat aku datang. "Nda, kamu mandi belakangan. Sudah habis kesabaran kita. Kamu ngawur, bak buat mandi beberapa santri kamu pakai berendam," kata salah satu santri. Namanya bukan Nanda kalau kehabisan akal. Aku mandi juga di luar, tepatnya di tempat wudhu mushollaatas. Kran untuk wudhu berjejer bagaikan shower kw. Setelah tengak-tengok kanan kiri sepi, akhirnya aku melakukan aksi mandi.

  Guyuran air kran membuat tubuh ini segar. Aku juga bisa leluasa mandi meskipun memakai kemben sarung. Tak perlukhawatir kaget dengar gedoran kakak kelas yang cerewetnya minta ampun. Andaikan Mama setuju, sudah aku bangun kamar mandi khusus untuk aku. Sayang, Mama bilang tidak boleh. Beliau menginginkan anaknya prihatin. Ah ... Mama nakal! Setelah puas membersihkan badan, aku baru sadar kalau baju ganti tertinggal di area kamar mandi. Gawat! Aku turun dari tangga menuju tempat meletakkan baju. "Kalau ketahuan pengawas aku berjalan hanya pakai kemben bisa kena hukuman. Bagaimana ini?" rutukku pelan.

  Terpaksa aku berputar haluan, sembunyi-sembunyi menuju tempat jemuran yang ada di balkon atas. Untung saja hari ini kebetulan jadwal mencuci dan belum sempat mengangkat baju dari jemuran. Ah, selamat.  Aku segera mengambil gamis, langsung memakainya. Lantas menjemur kemben yang basah. Sekalian mengambil baju-baju yang sudah kering. Saat hendak mengambil jemuran celana dalam yang berada di pinggir balkon, tiba-tiba jemariku lemas. Celana berwarna pink itu pun jatuh ke bawah.  Alangkah kagetnya saat aku menengok ke bawah, beberapa pria tampak mendongak tepat ke arahku. Salah satunya adalah Gus Attar! Waah! Aku lupa kalau tempat menjemur baju ini berada tepat di belakang ndalem. Aku segera berlari, bertanya-tanya dalam hati apakah mereka melihatku ganti baju? Duuh, gawat! Gawat! Huf ... benar-benar uji nyali. Kapok-kapok aku nggak mau lagi mandi di tempat wudhu. 

***

  Rutinitas jadwal para santri wajib bangun  pukul 03.00 WIB. Satu persatu santri sempoyongan keluar dari kamar menuju musholla lantai atas. Saat menunggu semua santri berkumpul, perutku terasa mulas. Aku kebelet buang air besar. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi asrama setelah memaksa Oyik mengantar. Aku duluan berjalan, sudah nggak kuat menahan mules. Suasana kamar mandi hening, angin berembus semilir. Rasa dingin menusuk tulang.  Aku masuk ke dalam toilet setelah sekilas melihat kelebatan Oyik mendekat. Aku buang hajat dengan tenang saat mendengar pintu kamar mandi sebelah tertutup dan keran air terbuka. “Yik ... Oyik? Kamukah itu?” Aku memanggil Oyik. “Oyik ....!” Terdengar balasan dari sebelah. Suaranya nggak mirip Oyik. Seperti geraman. “Oyik ... jangan bercanda. Kamu juga buang air?” Aku bertanya lagi. “Oyik ... jangan bercanda. Kamu juga buang air?” 

  Loh kenapa suara itu selalu menirukan ucapaknu? Ya Allah siapa dia? Jantungku berdegup kencang. Tanpa pikir panjang aku berlari keluar kamar mandi setelah selesai buang hajat, tak peduli belumdisiram dan cebok. Nggak terlihat Oyik di luar. Kamar mandi sebelah juga terbuka lebar, tak ada tanda-tanda digunakan.Buku kudukku merinding. Lantas bayangan tadi siapa? Siapa yang menirukan ucapanku? Hii. Badanku lemas. Aku bersandar di dinding depan toilet sambil memejamkan mata. Takut melihat penampakan setan. Tiba-tiba terasa sentuhan dingin di pundak. "Aaaah!" Aku terpekik pelan. Suaraku seperti cicitan tikus, kecil sekali. “Nda ...ada apa? Kamu sudah selesai?" suara Oyik terdengar khawatir. Disusul tepukan beruntun pada bahu.  Kuberanikan diri membuka mata perlahan. Oyik berdiri di depanku dengan alis berkerut, bukan jin sialan yang barusan mengganggu. "Oyik ..." Aku memeluknya erat. "Nda, bau apa ini." Oyik melepaskan pelukan dan menutup hidungnya. “Astaghfirullah, aku belum cebok!” Aku masuk lagi ke dalam kamar mandi. Kali ini dengan penuh keberanian. Segera kuguyur kotoran dan cebok. “Ya elah, dasar horang kaya. Mosok cebok kok lupa!” sindir Oyik dari balik pintu kamar mandi. "Yik, bajuku terkena najis." Dari luar, kudengar Oyik tertawa terpingkal-pingkal. Tawanya semakin keras saat kuceritakan kejadian yang baru saja kualami. Kepergok Gus Attar saat ganti baju dan digoda jin. Kurang ajar!