Try new experience
with our app

INSTALL

Santri Be Happy 

Oyik : Gara-gara Cicak

  Tahu binatang cicak? Itu, lho, yang biasanya diam-diam merayap, datang seekor nyamuk. Hap! Lalu diemplok. Meskipun lagu itu udah terkenal seantero negeri, aku jelas-jelas nggak akan mau menyanyikannya. Secara dulu waktu kecil pernah dikerjain sama Nanda. Seekor cicak mainan di masukin ke kausku sama si resek manja itu. Walhasil aku sampai demam dua hari. Sejak saat itu binatang cicak jadi semacam hantu telanjang. Mengerikan!Eh, ya kan? warna kulit cicak mengingatkan pada kulitku yang nggak pakai baju. Porno, ah! Jangan ngebayangin.Pernah aku baca sebuah artikel di Mbah Gugel, katanya cicak ini binatang yang meniup api saat nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup sama raja dzolim. Makanya, nabi pun menganjurkan untuk membunuh cicak dalam satu gaplokan. Jangan dimutilasi apalagi disiksa, itu bikin jiwa psikopat terangsang. Bahaya, kan, kalau hanya gara-gara cicak kamu jadi next Joker. Ew nggak banget. 

  Sebuah artikel kesehatan menuliskan bahwa di seluruh tubuh cicak ini mengandung bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Apalagi kalau dia sampai jalan-jalan di atas makanan, lalu nggak sengaja dimakan. Uwah, minimal bisa mencret! Maksimal is death. Fiks, eneg banget aku sama cicak. Nggak mau dekat-dekat, nggak mau lihat-lihat. Nggak mau juga raba-raba. "Yik, bajuku habis, nih. Besok pinjam punyamu, dong." Acara melamun cicak di antara lelah setelah seharian mengikuti kegiatan pondok jadi terjeda. Nanda berdiri menjulang dalam keremangan kamar. Sudah pukul sebelas malam, baru saja lampu dimatikan supaya santri bisa istirahat dengan nyaman. Hanya sebuah lampu kecil di pojokan yang memancarkan cahaya redup kekuningan. Gadis itu ndusel-ndusel di atas ranjang sempit ini. "Salahmu dewe, Nda. Masa ganti baju sehari sampai tiga kali. " Aku mencoba mempertahankan harta, walau sudah tahu endingnya. "Habisnya badanku keringetan terus, Yik. Nggak biasa pakai gamis panjang-panjang begini. Gatel kan kalau ketempelan keringat. Ayolah, Yik. Seratus ribu deh buat sewa baju sehari."

  Demi mendengar duit warna pink, kepala langsung aja manggut-manggut. Nanda menepuk pipiku lalu kembali ke ranjangnya sendiri yang berada tepat di atas. Padahal gamisku juga tinggal satu. Sebenarnya tunik sebatas betis juga, tapi nggak ada roknya. Ah, rok bisa disiasati pakai sarung. Mbak Bubah suka pakai setelan tunik dan kain sarung. Fashion yang aneh, tapi rekomended kalau kepepet.Besok jadwalnya cuci baju untuk kelas 10 disusul kelas 11 dan kelas 12. Peraturan terkait cuci-mencuci ini awalnya terasa aneh, kenapa kok nggak bareng saja langsung mencuci pada saat bersamaan. Setelah melihat jemuran yang terbatas, barulah aku mengerti. Intinya, jadwal mencuci seminggu dua kali. Harus hemat baju kalau nggak mau kehabisan.

  Pesantren Khadijah ini hanya menerima santri putri doang, nggak ada santri cowok. Pun dengan jumlah siswa, dipilih hanya seratus santri dari masing-masing kelas. Jadi total anak kelas 10 sampai 12 ada sekiatar 300-an santri. Meskipun begitu, ada beberapa pesantren cabang Khadijah yang sukses dengan sistem small santri ini. Tidak seperti pesantren lain yang ribuan jumlah santrinya. Dengan jumlah yang cukup langsing itu, pihak pesantren bisa mengawasi santrinya dengan penuh perhatian. Di sini nggak ada yang terkena borok, bebas kutu rambut juga. Konon dua legenda yaitu gudik dan kutu adalah teman setia para santri. Nggak afdol kalau belum kena.Aih, nggak banget, dah. Jangan sampai kutuan. Apalagi korengan, bisa hilang kemulusan kulit eksotik ini. Kantuk menyerbu tanpa ampun, desing kipas dinding yang berputar mengirimkan hawa sejuk. Perlahan mataku terpejam.

***

  Tempat favorit santri nongkrong adalah dua puluh meter di halaman rumah Nyai. Di situ ada sebuah pohon beringin besar yang akarnya berjuntai-juntai. Di bawahnya, berbagai tanaman hias berupa paku ekor kuda dan bangsanya lidah mertua lancip berduri tumbuh subur. Tempat duduk terbuat dari semen yang dibentuk seperti dahan kering melingkari pohon konon tempat makhluk halus bersemayam. Di tempat itulah, para santri melepas lelah setelah belajar. Karena kuota bokong terbatas hanya sampai dua puluh, maka tempat itu jadi rebutan. "Nda! Ayo cepat, itu masih ada yang kosong." Aku menarik tangan Nanda sambil berlarian, sementara tangan satunya memegangi sarung supaya nggak melorot. Pelajaran Alquran-Hadist baru saja selesai, seluruh santri dipersilakan istirahat selama satu jam untuk menjalankan sholat Dhuha. Aku begitu penasaran ingin tahu kenapa area di bawah pohon beringin selalu penuh. Jadi sebelum sholat Dhuha dijalankan, rasa kepoku harus terobati.

  Berhasil! Aku berhasil duduk di tempat yang menghadap langsung rumah Nyai Aisyah. "Ngapain di sini, Yik. Males banget." Tuan putri mulai berkeluh kesah. Ujung lengan gamisku dipakai buat lap keringat di dahinya. "Makanya aku mau cari tahu, ngapain santri pada betah nongkrong di mari." Aku menolehkan kepala ke arah kiri, terlihat seorang santri berbadan bongsor sedang menatap syahdu rumah Nyai. "Mbak, kenapa sih, pada suka duduk di sini?" Aku keluarkan jurus sok kenal sok dekat. "Ini tempat paling strategis untuk melihat Gus Attar lewat," jawabnya syahdu. Dia mendamba sepertinya. "Siapa itu Gus Attar, Mbak? "Santri berpipi bakpao itu menatapku heran, "Kamu belum tahu Gus Attar? " Aku hanya menggeleng pelan. "Dia itu pujaan hati santri! Salah satu anak Kyai Ridwan yang belum menikah, ada juga sih Gus Ihya tapi dia jarang nongol. Ada juga Gus Furqon, juga Gus Naufal. Pesona mereka kalah telak dibandingkan Gus Attar. Gus Attar keturunan Pakistan, jadi wajahnya ganteng pakai banget. Ibunya asli Pakistan dan menikah sama Kyai Ridwan."

  Sebentar, apa mungkin Gus Attar itu cowok yang berada di rumah Nyai Aisyah dan juga orang yang suaranya menggelegar waktu aku dan Nanda mau kabur beli nasi bungkus? Kalau diingat-ingat, memang wajahnya agak-agak indiahe gitu, sih. "Bukannya istri Kyai Ridwan itu Nyai Aisyah?" tanyaku. "Kyai mah bebas punya banyak istri. Umminya Gus Attar istri ke-empat." "Ew!" "Ya Allah, mimpi apa aku semalam. Itu Gus Attar baru saja keluar dari rumahnya." Dia memekik pelan. Aku mengikuti pandangan santri itu. Seorang cowok berbaju koko putih dan bercelana kain hitam cingkrang berjalan keluar rumah. Di sebelahnya, ada seorang laki-laki yang lebih pendek menyertai. Laki-laki itu ngesot sampai pintu, sementara Gus Attar melenggang santai. Yakin, dengkul semua santri di sini pada gosong kebanyakan ngesot.  "Nda, itu kan cowok resek yang kemarin, ya? Dia ternyata anak Kyai Ridwan. Namanya Gus Attar." Informasi penting ini kusampaikan pada Nanda yang sekarang sibuk kipas-kipas pakai kipas digital mungil yang dibawa dari rumah. "Gus Attar? Suaranya yang keras banget sepertibledhek itu?"

  Aku mengangguk mantap, "Gus Bledhek, nama yang cocok buat dia. Hahaha. "Aku terpingkal-pingkal dengan celetukan Nanda. Dia paling pinter kalau memberi julukan ajaib. "Bledhek resek," lanjutnya.  Kami ngukuk nggak jelas sambil memandang Gus Attar. Ada seorang laki-laki berkemeja biru terbirit dari dalam menyusul Gus Attar. Entah siapa dia, yang jelas berjalannya nggak pakai ngesot. Dua lelaki yang sekarang berjalan perlahan menuju mobil di sebelah kanan rumah Nyai. "Kalau itu siapa? Di sebelah Gus Attar?" Aku bertanya lagi pada pipi bakpao. "Oo, itu Gus Furqon, kakak Gus Attar. "Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba tawa Nanda berhenti. Wajahnya berubah pias, telunjuknya terarah pada kakiku. "Yik, Oyik, itu ... itu ada yang masuk ke dalam sarungmu. "Nanda suka gitu, saat enak-enak bercanda, dia sering keluarkan jurus bohong level tujuh. Aku nggak akan kemakan hoaks kali ini. "Sarung warisan ini, nggak bakal ada yang berani mendekat. Sudah dilindungi ajian penangkal apes." Aku menyangkal. Rupanya Nanda nggak bohong, kuurasakan sesuatu merayap di betis. Rasanya gatal dan geli. Jantungku langsung melonjak. "Yik, beneran. Tadi aku melihat ada cicak masuk sarungmu."

  Demi mendengar kata cicak, pikiran warasku langsung terbirit ke dalam lubang hitam, diganti oleh sesuatu yang dinamakan histeris. Aku langsung mencak-mencak, menjerit jijik dan ketakutan membayangkan kaki cicak menodai kesucian tubuh.Aku mengibas-ngibas sarung liar sangat. Binatang kecil itu terasa masih merambat, sekarang terasa di area paha. Kurang ajar itu cicak! Tak sadar, aku berlari meminta pertolongan. Kalau di rumah, biasanya Ayah yang akan menolong dan menenangkanku saat ketakutan pada cicak muncul. Insting itulah yang membuatku berderap mendekati makhluk berjenis kelamin cowok yang berada beberapa puluh meter di depan. Gerakan mengibas sarung sekaligus berlari juga berteriak mungkin membuat orang berpikir aku sudah gila. Apalagi mendekati Gus yang masih perjaka ting-ting. "Aaaw! Tolong, cicak, tolong ...!" Aku semakin mendekati mereka. 

  Gus Bledhek dan Gus Furqon melongo. Mereka menatapku dengan ngeri. Pandangan mata dua pria itu terarah pada kakiku, serta-merta mereka berdua balik badan. Saat itu kusadari kalau sarungku sudah teronggok beberapa meter di belakang. Pantesan kaki terasa semriwing. "Wasem ...!" Aku berjongkok, menutup kaki telanjangku pakai tunik. Saat ini hanya satu yang kuinginkan : moksa alias menghilang dari dunia ini.