Contents
Raja Jatuh Cinta
DIMAS
Malla merapikan tampilan di depan cermin, dia kembali mengepang rambutnya yang hitam lurus, setelah memastikan semua rapi, gadis itu bergegas ke ruang makan untuk sarapan bersama ibunya.
“Pagi, Bu,” sapa Malla mengecup pipi ibu yang sedang menata telur ceplok di piring. “Hari ibu cantik sekali, ada yang bisa Malla bantu?”
“Tolong ambilkan piring itu, Nak,” ibu menunjuk piring keramik dengan motif bunga kecil-kecil. “Ini telurnya sudah matang.”
Malla mengambil piring dan menyerahkan pada ibunya. Malla menyendok nasi goreng dengan tambahan sosis goreng dan telur.
“Tadi ada yang mengantar sepeda ke rumah,” kata ibu membuat Malla tersendak nasi goreng.
“Siapa?”
Ibu menggeleng.
Malla berhenti mengunyah sosis goreng, dia ingat kejadian saat bersama Raja. Ketika cowok itu secara tidak sengaja membuatnya jatuh dan terluka. Tanpa perlu seorang genius untuk menjawab siapa pengirim sepeda itu, pasti Raja yang mengantarnya. Malla bertanya-tanya dari mana Raja tahu rumahnya.
“Malla berangkat dulu, Bu,” ucapnya setelah selesai sarapan.
Lima belas menit kemudian Malla sampai di sekolah, memarkirkan sepeda di tempat biasa, setelah mengunci sepeda, dia berjalan menuju kelas dengan mantap. Suasana sekolah masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang duduk-duduk di tepian koridor, beberapa siswa sedang bermain basket. Malla berhenti sejenak ketika melihat seorang cowok yang entah kenapa menarik perhatiannya, cowok itu melompat dengan indah ketika hendak memasukan bola basket ke dalam ring.
“Hayo, lagi merhatiin Kak Dimas ya?” celetuk sebuah suara mengangetkan Malla.
“Eh, siapa juga ya merhatiin dia,” Malla sedikit salah tingkah. “Lo kenal siapa dia?”
“Tentu saja gue kenal,” Tina ikut menatap cowok itu. “Namanya Dimas, ketua klub drama. Orangnya baik banget, beda jauh deh sama Raja.”
“Begitu ya?” Malla manggut-manggut. “Tampaknya dia punya sesuatu yang dibanggakan ya, nggak seperti si Raja, dia playboy murahan.”
Tina terkekeh. “Yuk, masuk kelas.”
Ketika mereka hendak menuju kelas, —ada sesuatu yang menabrak pelan sepatu Malla. Sebuah bola basket. Malla mengambil bola itu dan memandang lurus pemuda yang sedang menuju ke arahnya.
“Maaf, itu bola kami,” pemuda itu tersenyum. “Boleh gue minta bola itu?”
Malla mengangguk dengan sedikit salah tingkah. Dengan tangan sedikit gemetar, dia memberikan bola itu kepada pemuda yang di hadapannya.
“Lo Malla kan?” tanya pemuda itu lagi. “Gue tahu dari Bu Nina, beliau mengatakan bahwa di sekolah ini ada anak baru yang pandai.”
Malla terdiam, mulutnya terasa gagap untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. Sebelum Malla menjawab—Tina lebih dulu menyela, “iya dia Malla, lo Dimas kan? Ketua klub drama?”
Dimas tersenyum cemerlang. “Iya gue Dimas, senang rasanya ada yang kenal gue, soalnya selama ini selalu kalah dari Raja.”
“Lo jauh lebih baik dari Raja,” kata Malla tanpa sadar. “Eh, maksudnya(” tambah Malla begitu menyadari apa diucapkan.
“Woi, Dimas!” Teriak seseorang yang berkumpul di lapangan. “Kalau mau kenalan nanti saja, kita lagi latihan nih.”
Dimas terkekeh dan melambaikan tangan ke arah teman-temannya. “Oke, Malla, dan lo siapa namanya?” Dimas berpaling ke arah Tina.
“Tina,” jawab Tina semangat. “Gue Tina, teman Malla.”
“Gue pergi dulu ya, sepertinya mereka bakal ngamuk kalau nggak latihan lagi,” kata Dimas ramah. “Bye…” Dimas langsung berlari ke tengah lapangan, kembali bergabung bersama teman-temannya.
“Apa gue bilang,” wajah Tina berseri-seri. “Dimas itu orangnya care banget kan, ia selalu ramah pada siapa pun, dia beda banget sama Raja.”
Malla sependapat dengan Tina mengenai cowok yang baru saja ditemuinya. Rasanya tidak bisa dipercaya jika di sekolah ini masih ada orang seperti Dimas, selain tampan dan atletis, Dimas juga mempunyai kepribadian yang menarik dan ramah.
“Lo tahu nggak, apa cita-cita gue yang belum tercapai sampai sekarang?” tanya Tina begitu mereka sampai di kelas. “Coba tebak.”
Malla pura-pura berpikir. “Mungkin ingin jadi murid kesayangan Bu Nina?”
“Sialan,” Tina terkekeh. “Bukan itu, Malla, gue pingin banget suatu saat nanti bisa masuk klub dramanya.”
“Lalu kenapa nggak coba masuk klub drama itu, Tina?” Malla mengerutkan kening. “Gue yakin Dimas bakal nerima kok, dia sepertinya bukan orang pemilih.”
“Itu dia yang jadi masalah,” wajah Tina berubah lesu. “Gue sama sekali nggak bakat akting, bisa pingsan kalau ada pementasan drama, kebiasaan gue yang paling konyol dan memalukan, selalu demam panggung.”
“Benarkah?” tanya Malla. “Tapi kalau memang itu mimpi lo, harus kejar mimpi itu, Tina, gue yakin lo punya bakat. Percaya deh, bakat tanpa minat adalah hal yang sia-sia.”
“Tapi gue malu.” jawab Tina lagi. “Gue selalu grogi jika berada di dekat Kak Dimas. Belum lagi, anggota klub drama itu biasanya cantik dan tampan. Ingrid itu juga salah satu anggota klub drama.”
“Ingrid di klub drama?” Malla tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Memangnya cewek manja seperti dia bisa apa? Paling-paling dapat peran sebagai pohon, bagaimana kalau kita berdua mendaftar ke klub drama itu?”
“Yang benar saja!” Sebuah suara nyaring dan angkuh menghentikan pembicaraan mereka. “Kalian berdua mau masuk klub drama? Kalian udah ngaca belum sih, muka kalian nggak pantas banget tampil di pementasan.”
Donica berdiri di depan Tina dan Malla dengan angkuh, Malla tidak tahu sejak kapan Ingrid dan Donica ada di kelas ini, dan sejauh mana mendengar pembicaraan mereka. “Lo bener, Ingrid, kalian nggak sadar kalau muka kalian tuh mirip pantat panci, jadi jangan harap Dimas mau menerima kalian. Saran gue sih, sebaiknya kalian tahu diri sebelum ditendang mentah-mentah.”
“Lo bener banget, Donica,” lanjut Ingrid lagi. “Kalau pun Dimas nerima mereka, paling-paling mereka mendapat jatah memaku papan-papan set panggung, kalau pun mereka dapat peran, gue rasa mereka paling tepat dapet peran sebagai patung.”
Hampir semua siswa yang ada di dalam kelas tertawa. Malla hanya terdiam menahan emosi, dia sedang tidak ingin meladeni mereka. Sedangkan Tina matanya berkaca-kaca.
Raja masuk ke dalam kelas diikuti Adit dan Andre, ekspresi wajah Raja langsung berubah begitu melihat Malla, campuran antara perasaan senang dan gamang. Sedangkan Malla langsung memalingkan muka. Malla sudah berjanji, kalau dia harus menjaga jarak dengan Raja. Malla tidak ingin kesialan kembali menimpa dirinya. Bahkan dia memutuskan untuk tidak duduk sebangku dengannya. Malla memilih duduk bersama Tina.
***
Malla berpapasan dengan Raja di kantin. Gadis itu langsung melengoskan wajah begitu Raja tersenyum.
“Gue tadi lihat Raja senyum sama lo, Malla,” kata Tina begitu mereka sampai di kantin. “Baru kali ini gue lihat Raja tersenyum sangat tulus, padahal biasanya dia selalu merendahkan cewek-cewek yang nggak disukainya.”
“Kayak baru kenal Raja saja, dia emang selalu merendahkan gue, mentang-mentang populer di sekolah ini.”
“Bukan itu maksud gue,” kata Tina lagi. “Gue baru lihat Raja tersenyum tulus seperti ini sama lo, gue punya dugaan jika sebenarnya Raja menyukai lo.”
Malla memutar bola mata. “Jangan ngaco deh, Raja pernah mempermalukan gue di dalam kelas, ingat?”
“Siapa yang mempermalukan lo di kelas?” celetuk sebuah suara riang menyela mereka. Malla berpaling ke arah suara itu dan mendapati sosok pemuda yang tadi pagi ditemuinya.
“Dimas?” Tina mengucap lebih dulu. Membuat dia salah tingkah. “Eh(apa(lo(duh, maaf.”
Dimas tertawa kecil melihat keterkejutan di wajah Malla dan Tina. “Iya ini gue, kenapa sih kalian selalu grogi, nggak senang ya ketemu gue?”
“Bukan itu,” Malla juga salah tingkah. “Hanya saja(nggak nyangka lo mau nyapa gue.” Wajah Malla langsung bersemu.
“Memangnya salah kalau gue nyapa kalian?” Dimas tersenyum ramah. “Gue bukan orang yang pemilih dalam berteman, gue dengar kalau kalian punya rencana untuk masuk klub drama ya?”
Wajah Malla dan Tina berubah kaget. Mereka sama sekali tidak menduga jika Dimas menanyakan ini langsung kepada mereka.
“Kok kalian diam?” tanya Dimas lagi. “Kalau memang kalian berminat, gue dengan senang hati menerima, kebetulan sekali bulan depan akan ada pementasan, jadi semakin banyak anggota, semakin baik.”
Tina membuka mulut, tapi malah tidak ada satu pun kata yang terucap. Begitu juga Malla, dia masih tidak percaya jika Dimas menawarkan mereka untuk gabung ke klub drama.
“Akan kami pikirkan dulu, Dimas.”
“Oke, gue tunggu keputusan kalian,” Dimas tersenyum. “Senang bisa mengenal kalian, kalau sudah menemukan keputusan, jangan sungkan hubungi gue ya.” Dimas mengeluarkan secarik kertas dari saku baju dan mencatatkan nomor telepon, kemudian menyerahkan pada Malla.
Setelah berkata seperti itu Dimas pergi meninggalkan Malla dan Tina yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.