Contents
Raja Jatuh Cinta
PEMBALASAN NADIA
Raja membanting pintu begitu sampai di dalam kamar. Luapan emosi semakin menjadi ketika teringat cibiran Malla. Apalagi mengatakan hal itu di depan Citra, itu dosa pertama yang tidak pernah akan Raja maafkan. Semakin sering dia bertemu Malla, semakin besar pula rasa benci itu. Dalam hati Raja berjanji akan mempermalukan cewek dekil itu di hadapan banyak orang bagaimana pun caranya.
Selama ini dirinya selalu dipuja-puja gadis-gadis yang ada di sekelilingnya. Tapi tidak dengan Malla, dengan tampilan anehnya, Malla itu seperti sebuah parasit, dia harus menyingkirkan parasit itu selama-lamanya.
Raja merebahkan tubuh di atas tempat tidur, berusaha menghilangkan insiden yang baru saja terjadi. Namun, setiap kali menutup mata dan mengusir bayang-bayang Malla, bayangan gadis berkepang itu semakin jelas.
“Tunggu pembalasan gue, Malla.”
***
Keesokan harinya langit Jakarta terlihat mendung, gumpalan-gumpalan awan hitam terpahat di langit. Raja merapatkan jaket begitu udara dingin berembus mengelus leher. Seperti hari-hari sibuk di Jakarta pada umumnya, pagi ini jalanan macet seperti biasa, kendaraan mengeluarkan asap hitam yang menyesakan. Raja membuka helm dan tanpa diduga, di depannya, dia melihat seorang gadis berkepang yang sedang menaiki sepeda, dan entah dari mana datangnya rasa jail itu, Raja membunyikan klakson yang mengejutkan Malla hingga gadis itu terjatuh dari sepeda.
Lengan Malla yang menghantam aspal mengeluarkan darah. Melihat gadis itu meringis kesakitan membuat Raja sedikit merasa bersalah.
“Lo nggak apa-apa?” Raja berusaha membantu Malla berdiri.
“Jangan sentuh gue!” seru Malla. “Puas sekarang berhasil membuat gue celaka.”
Raja sama sekali tidak menduga jika Malla beranggapan dia sengaja mencelakainya. Walau sangat membenci Malla, tapi dia sama sekali tidak akan melakukan perbuatan pengecut seperti itu. “Gue masih waras, Malla, gue nggak serendah itu, tadi bener-bener nggak sengaja.”
Malla memandang Raja dengan tatapan menyelidik, ia sama sekali tidak percaya dengan pengakuan Raja.
“Tangan lo harus segera diobati, takut nanti kalau infeksi.”
“Nggak usah, nanti juga sembuh sendiri,” jawab Malla meringis memegangi tangan yang berdarah.
Raja menggeleng. “Tunggu di sini, di dekat sini ada apotik.”
Sebelum Malla mencegah, cowok itu sudah pergi menuju apotik, dan tujuh menit kemudian kembali membawa obat.
Raja berjongkok di sebelah Malla, menarik tangan gadis itu dengan pelan, dia membersihkan luka dengan alkohol(Malla meringis perih begitu Raja membersihkan dan mengobati lukanya. “Nah, begini lebih baik,” kata Raja begitu dia selesai menempelkan perban.
Malla berdiri, dia menghampiri sepedanya. “Terima kasih.”
Raja tersenyum.
Malla melenguh begitu melihat kondisi sepeda yang rantainya telah putus. Raja yang melihat kejadian itu entah kenapa tergerak hatinya “Sepertinya sepedanya nggak bisa dipakai. Mau berangkat bareng?”
Malla berpaling ke arah Raja dengan tatapan menilai. “Berangkat bareng lo? Jangan harap deh, gue tahu lo ada maunya kan?”
Lagi-lagi gadis ini membuat Raja tersinggung. “Gue tulus bantuin lo, lagi pula kalau nggak mau juga nggak apa-apa, sepuluh menit lagi gerbang sekolah ditutup.”
Malla melirik arloji di lengan kiri. Raja benar, sepuluh menit lagi kelas akan dimulai, dan dia tidak mau bolos sekolah hanya karena hal sepele seperti ini.
“Bagaimana?” tanya Raja kembali menaiki sepeda motor. “Sepeda lo titipkan dulu di apotik itu, nanti pulang sekolah baru lo bawa bengkel.”
Malla tampak bimbang, hingga akhirnya dia menyetujui usul Raja untuk berangkat bareng, setelah Raja menitipkan sepeda Malla ke apotik, mereka bergegas menuju sekolah.
Tepat ketika bel berdering mereka sampai di depan sekolah. Malla bergegas turun, dia mempunyai perasaan tidak menyenangkan begitu melihat tatapan beberapa siswa yang menatap ke arahnya, bahkan Malla melihat Nadia sedang berbisik-bisik mencurigakan dengan kedua temannya.
Malla sampai di kelas sebelum pelajaran pertama dimulai, dia bergegas menuju bangkunya, Raja datang tidak lama kemudian.
“Sepertinya ada yang baru jadian nih,” kata sebuah suara saat Raja duduk di sebelah Malla. “Raja, lo kok mau sih jalan bareng Si Dekil?”
Raja memutar bola mata, tidak mau ambil pusing untuk hal sepele seperti ini.
Tina menarik tangan Malla untuk duduk di sebelahnya. “Lo beneran jalan sama Raja?” bisiknya pelan.
Malla mengulurkan lengan yang terluka ke arah Tina. “Raja tadi nolongin gue ketika jatuh dari sepeda. Terus sepeda gue rusak, dan mau tak mau aku berangkat dengannya.”
“Oh begitu,” Tina mengangguk-angguk(dia tampak berpikir. “Ini aneh.”
“Apanya yang aneh?”
“Gue sudah lama mengenal Raja,” bisik Tina lagi. “Baru kali ini gue lihat dia peduli dengan cewek, biasanya ia selalu cuek.”
Malla mendengarkan cerita Tina dengan serius. Kalau dipikir-pikir ucapan Tina ada benarnya juga, dia ingat pertemuan pertaman mereka, Raja sama sekali tidak minta maaf. Tapi kenapa sekarang Raja peduli dengannya? Malla merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kebaikan Raja.
“Gue rasa lo benar, Tina,” kata Malla akhirnya. “Jadi menurut lo, gue harus bagaimana?”
“Harus lebih hati-hati lagi,” bisik Tina. “Jangan sampai terbuai, dan yang paling penting, jangan sampai lo jatuh cinta.”
“Jatuh cinta sama Raja?” Malla mengerutkan kening. “Gue masih waras, Tina. Gue nggak mungkin jatuh cinta sama cowok macam dia.”
“Siapa juga yang mau jadi pacar lo,” celetuk sebuah suara menyela pembicaraan mereka. “Walaupun lo cewek terakhir di dunia ini, gue juga nggak bakalan tertarik.”
Malla berpaling ke arah suara itu—Raja, dia sedang berdiri dengan angkuh. “Tahu diri dong, cewek dekil sih bukan tipe gue.”
Seluruh siswa di dalam kelas terbahak. Nadia dan kedua kroninya terlihat sangat senang.
“Itik buruk rupa yang merindukan bulan…” cibir Nadia disambut tawa Ingrid dan Donica.
“Hahaha bener banget tuh,” dukung Donica. “Apa di rumah nggak ada kaca ya?”
“Mana mungkin di rumah Si Dekil ada kaca,” tambah Ingrid membuat dada Malla terasa sesak. “Lihat saja wajahnya, dekil banget kan?”
Seluruh siswa kembali tertawa. Tina menarik tangan Malla. “Nggak ada gunanya meladeni mereka.”
Tina benar, tidak ada gunanya melayani Nadia dan kroni-kroninya. Sebagai siswi baru di sekolah ini Malla tampaknya harus menjaga sikap, apalagi dia bisa sekolah di sini karena beasiswa.
“Yang sabar ya,” Tina menyentuh bahu Malla dengan pelan. “Gue yakin lo pasti bisa melewati semua ini.”
“Gue pernah ngalami yang lebih buruk dari ini,” Malla tersenyum. “Terima kasih, Tina, karena mau jadi sahabat gue.”
Tina tersenyum. Sang guru masuk ke dalam kelas. Proses belajar kali ini berjalan normal.
“Apa gue bilang, Raja cuma mau mempermalukan lo,” kata Tina ketika bel istirahat berbunyi. “Mulai sekarang harus lebih hati-hati jika Raja berbuat baik. Gue yakin dia punya maksud tersembunyi.”
Malla mengangguk setuju. Bodoh benar dia tadi mau berangkat bareng Raja. Jadi inilah alasannya kenapa dia pura-pura baik.
***
“Jadi apa rencana lo?” tanya Adit begitu mereka berada di kantin. “Lo terima tantangan Andre?”
Raja mengerutkan kening mendengar pertanyaan Adit. “Gue nggak rencanain apa pun.”
“Jangan bohong,” Lanjut Adit. “Lo nggak bakalan berangkat sekolah bareng Si Dekil kalau nggak merencanakan sesuatu kan?”
“Gue emang nggak merencanakan apa-apa,” kata Raja menyeruput minuman. “Tentang Si Dekil yang tadi pagi berangkat bareng, itu semata-mata karena kecelakaan, gue nggak sengaja membuat sepedanya rusak.”
“Nggak biasanya lo peduli dengan cewek,” ucap Adit dengan tatapan menilai. “Tapi kenapa dengan Malla lo perhatian? Jangan bilang lo mulai suka sama Malla.”
“Jangan ngaco deh, gue gak bakalan suka sama cewek dekil sepert itu.”
“Syukurlah,” Adit mengembuskan napas lega. “Apa kata dunia kalau lo sampai jatuh cinta sama Si Dekil. Reputasi sebagai Raja Jatuh Cinta bakal hancur kalau lo sampai jadian sama Malla.”
***
Hampir semua siswa bersorak senang ketika bel terakhir berbunyi. Malla sedang merapikan buku ketika sebuah amplop berwarna biru meluncur jatuh ke atas meja—dia mengambil amplop itu dan membukanya.
“Dari siapa?” tanya Tina melihat amplop itu.
Malla menggeleng. “Amplop ini tiba-tiba jatuh dari buku gue.”
“Buka dong,” Tina tampak penasaran. “Mungkin dari penggemar lo.”
Malla tertawa. “Penggemar? Memangnya siapa yang yang jadi penggemar gue?”
“Entahlah, Raja mungkin,” jawab Tina asal. “Buka dong, gue penasaran?”
Harus diakui, Malla juga penasaran dengan amplop itu. Siapa yang menulis surat ini? Kenapa amplop ini bisa ada di dalam bukunya? Kapan amplop itu dimasukan ke dalam bukunya?
Malla membuka amplop itu dan mendapati selembar kertas kecil, dibukanya kertas itu, dan mulai membaca isinya.
Temui gue di belakang sekolah. Penting
R.
“R? Menurut lo R itu siapa, Tina?” Malla mengerutkan kening. “Kenapa gue harus menemuinya di belakang sekolah?”
“Ada banyak siswa di sekolah ini yang mempunyai nama depan R,” Tina juga mengerutkan kening. “Ada Rio, Roni, Rean, dan masih banyak yang lain.”
“Tapi gue nggak kenal mereka,” kata Malla lagi. “Gue yakin pasti yang ngirim surat ini orang yang kenal gue.”
Tina tampak berpikir sejenak, setengah menit kemudian mereka berdua mengucapkan satu nama yang berawalan huruf R.
“Raja.” Kata mereka kompak. “Tapi untuk apa Raja ngirim surat ke gue?” tambah Malla.
“Mungkin ada sesuatu yang ia rencanakan, sebaiknya lebih hati-hati, kalau memang surat itu dari Raja, siapa tahu ini hanya jebakan.”
Malla mengangguk. “Gue nggak boleh masuk ke dalam permainan Raja lagi.”
Tina tersenyum. “Mau pulang bareng?”
Malla menggeleng. “Gue pulang sendiri, masih mau ambil sepeda dulu.”
“Begitu ya,” Tina membenarkan letak kacamata. “Kalau gitu gue balik dulu. Oh ya, tanganmu apa masih sakit?”
Gadis itu menggeleng.
Begitu Tina keluar dari kelas, rasa penasaran kembali menggerogoti benaknya. Siapakah sosok R itu? Apa benar bahwa R itu Raja? Kalau memang sosok misterius itu benar Raja? Apa yang ingin dia bicarakan dengan dirinya di belakang sekolah?
Kelas sudah benar-benar kosong sekarang. Malla memutuskan untuk menemui sosok R. Mungkin Raja ingin mengantarkan Malla ke apotik untuk mengambil sepedanya, atau mungkin saja Raja ingin meminta maaf atas apa yang diperbuatnya kemarin.
Malla berpapasan dengan Adit dan Andre di koridor, dia tidak melihat keberadaan Raja, padahal biasanya mereka selalu bersama. Apa itu artinya benar jika Raja menunggunya di belakang sekolah?
Lagi-lagi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Malla berjalan ke belakang sekolah dan melihat suasana sangat sepi. Malla sedikit bergidik, seolah ada suara-suara yang mengatakan bahwa tidak seharusnya dia berada di sini. Malla berjalan ke arah sebuah pohon rambutan yang tumbuh di belakang sekolah, dan di tempat itulah dia menunggu kedatangan sosok R.
“Raja…” bisik Malla, dia melihat keadaan sekeliling, dan tidak melihat tanda-tanda keberadaan Raja ataupun manusia lain. Sepertinya Tina benar, ini hanya lelucon, Malla merasa perutnya melilit begitu menyadari betapa bodohnya dia karena datang ke tempat ini hanya karena sepucuk surat.
Malla berjalan pelan meninggalkan tempat itu, baru sekitar sepuluh langkah berjalan meninggalkan belakang sekolah, tiga orang gadis yang sudah sangat dikenalinya mendekatinya.
“Nadia,” kata Malla pelan. “Ngapain kalian di sini?”
“Lo nggak perlu tahu,” jawab Nadia menyeringai angkuh. “Ingrid, Donica, kalian tahu apa yang harus lakukan.”
Ingrid dan Donica langsung memegang kedua tangan Malla dengan kencang, membuat Malla tidak mempunyai kesempatan untuk melawan.
“Bawa Si Dekil ke sini,” Nadia melambaikan tangan ke arah Donica. Nadia tampaknya sedang membuka sebuah ruangan yang sudah tidak terpakai di belakang sekolah. “Masukin Si Dekil itu ke sini, dia memang pantasnya sama tikus.”
Malla memberontak ketika Donica dan Ingrid mendorongnya ke dalam gudang.
“Lo pantasnya di tempat ini,” Ingrid mendorong tubuh Malla hingga gadis itu merintih kesakitan ketika tangannya yang luka menabrak meja. “Selamat bersenang-senang.”
“Lepasin gue,” Malla mencoba untuk keluar dari ruangan pengap dan gelap itu, namun tetap gagal, Ingrid dan Donica menahannya agar tidak bisa keluar.
“Ini ganjaran kalau lo berani-berani melawan gue,” seringai Nadia. “Ingrid, Donica, kunci Si Dekil di sini.”
Ingrid kembali mendorong Malla hingga gadis itu kembali menabrak meja. Nadia mengunci ruangan itu dan meninggalkan Malla yang terus menggedor-gedor pintu.
Tina benar, surat itu hanyalah jebakan. Bukan Raja yang menyelipkan surat itu, melainkan Nadia. Harusnya Malla tidak datang ke tempat ini. Harusnya dia mendengarkan ucapan Tina. Harusnya tadi langsung pulang. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Malla hanya bisa menunggu seseorang mendengar teriakannya, dan mengeluarkan dari ruangan ini.
Terdengar gelegar petir ketika Malla sedang melihat keadaan sekeliling. Di luar sudah mulai hujan, embusan angin dingin masuk ke dalam ruangan itu, membuat tubuhnya kedinginan. Dipeluknya tas selempang dengan erat, Malla menyisir dinding ruangan, berharap menemukan saklar, setengah berharap jika di ruangan ini ada lampu.
Sial. Rupanya lampu di ruangan ini sudah tidak berfungsi, Malla menduga jika ruangan ini pastilah gudang yang sudah sangat lama tidak dibersihkan, debu betebaran di mana-mana, membuat dadanya sesak.
Gemuruh hujan di luar semakin menggila, membuat tubuh Malla semakin menggigil kedinginan. Gadis itu duduk di lantai berdebu dengan memeluk kedua kaki dengan erat. Malla teringat dengan ibu yang pasti sangat khawatir. Petir kembali menggelegar, semuanya berubah menjadi gelap.
Malla ambruk di ruangan itu.
***
Raja merapatkan jaket biru yang dikenakan. Dia tengah berteduh di sebuah ruko penjualan makanan ringan, hujan turun dengan sangat deras. Embusan angin dingin mengelus pipinya.
Sebuah sepeda yang sudah dikenalinya teronggok begitu saja terkena hujan. Raja baru menyadari bahwa ruko di sebelahnya adalah apotik yang tadi pagi dia datangi. Raja mendatangi apotik itu dan menanyakan apakah yang punya sepeda ini belum mengambilnya.
“Saya kurang tahu, Mas,” jawab petugas apotik. “Pegawai yang masuk sift pagi sudah pulang, jadi saya nggak tahu itu sepeda siapa.”
“Sepeda ini punya teman saya, boleh saya memindahkan supaya nggak kehujanan?”
Pelayan apotik itu mengangguk.
Setelah Raja memindahkan sepeda di tempat yang teduh, entah kenapa dia jadi kepikiran Malla. Jika sepedanya masih ada di sini, kemungkinan besar gadis itu masih di sekolah. Raja jadi bertanya-tanya apa yang sedang Malla lakukan di sekolah di tengah hujan deras seperti ini. Jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk dengan dia.
Raja mencoba untuk tidak peduli dengan semua ini, tapi gagal. Entah kenapa bayang-bayang Malla terus berputar-putar di dalam kepala. Dia tidak tahu kenapa perasaan bersalah seperti ini terus menerornya.
Raja memutuskan untuk kembali ke sekolah guna memastikan Malla baik-baik saja. Dia kembali memakai jas hujan dan semenit kemudian menerobos derasnya hujan. Raja semakin cepat memacu sepeda motor, sepuluh menit kemudian sudah sampai di depan gerbang sekolah.
Suasana sekolah yang sepi tampak mencekam. Sepertinya semua staf sekolah sudah pulang ke rumah masing-masing. Raja membuka pintu gerbang(ternyata sudah digembok. Raja memutuskan melompati gerbang itu.
Gemuruh angin sudah mereda. Setelah Raja berhasil masuk ke halaman sekolah, dia bergegas menuju belakang sekolah, dia mempunyai firasat jika Malla ada di sana. Begitu Raja sampai di belakang sekolah yang tampak sepi, dia berjalan menuju ruangan gudang yang sudah lama tidak digunakan.
“Dikunci,” bisik Raja tidak berhasil membuka pintu itu. “Malla, apa lo di dalam?”
Tidak ada jawaban.
“Malla, jawab gue, apa lo di dalam?!” Raja kembali mengetuk pintu itu.
Tetap tidak ada jawaban.
Setelah mengetuk pintu sebanyak lima kali dan tidak ada jawaban, Raja memutuskan untuk meninggalkan tempat ini, dia yakin Malla tidak datang ke tempat ini. Baru lima langkah Raja meninggalkan tempat ini, sesuatu yang tergeletak di tanah menarik perhatiannya.
Sebuah buku tergeletak basah di atas tanah. Raja membuka buku itu dan mengenali bahwa buku ini milik Malla. Raja kembali berkeliling mencari keberadaan Malla, dia yakin Malla pasti ada di tempat ini.
“Malla!” Teriak Raja keras.
Bunyi gedubrak di dalam ruangan yang dulunya bekas gudang menarik perhatian Raja, dia kembali menghampiri ruangan itu, ia mempunyai dugaan kuat jika Malla ada di dalam sini, dan tanpa pikir panjang, Raja langsung menendang pintu itu berkali-kali, hingga pintu itu akhirnya terbuka.
Raja masuk ke dalam ruangan itu dan cukup terkejut melihat apa yang ada di hadapannya. Malla sedang tergolek lemah entah pingsan atau mati.