Try new experience
with our app

INSTALL

Cinta Beda Dunia 

Chapter 5

Aku ingin jalan-jalan di luar rumah!"

Suara merdu dan rendah itu terdengar jauh dari sudut kamarnya. Yura ingin jalan-jalan, menghirup udara kebebasan yang selama ini seperti mengekang di dalam otaknya. Dengan sigap iyu datang menghampiri yura, yang ternyata sudah berusaha membuka pintu kamarnya sendiri.

"Jangan maksa," iyu gak mau yura kenapa-napa.

"Aku sumpek, Bu, ayo jalan-jalan! Ajak aku menghirup udara bebas, sudah senja kan?" yura mengait lengan iyu dengan mesranya. Hanya perempuan ini yang dapat ia percaya, tentu selain ibunya sendiri.

"Iya sudah jam setengah lima nak," iyu menjawab rendah.

"Mau kemana?" tanya iyu lagi.

"Pokoknya aku dapat merasakan kebebasan, Bu. Sudah sumpek beberapa hari di dalam kamar, ibu mau kan ajak aku jalan-jalan sore ini?" dengan wajahnya yang lugu itu, gak bisa membuat iyu untuk menolaknya.

"Astaga, mana tega ibu gak nuruti kemauwanmu, Nak," sanggah iyu agar suasana menjadi agak hangat.

"Lalu?" yura menyahut setelahnya.

"Ayo berangkat, gak usah jauh-jauh loh ya, cukup di sekitaran kompleks perumahan saja! Yang penting kamu bisa merasakan kebebasan bukan?" tanpa menjawab, yura mengangguk pelan, sebagai tanda setuju dengan batasan yang dikatakan iyu.

"Pakai sweter saja Nak?" lalu iyu memakaikan sweter itu ke badan yura yang membuat ia semakin menawan dan manis, dengan bawahan rok panjang bermotif bunga dan rambut yang dikuncir kuda.

"Seandainya kamu gak buta, Nak," iyu bergumam dalam hati, sambil menuntut tangan yura menuju pintu keluar.

Memang beginilah kebiasaan dari yura, ia kadang merasa bosan dengan rutinitasnya, dan sore ini ia ingin menghirup udara senja yang katanya penuh kehangatan itu. Terkadang yura juga sering bertanya pada iyu tentang hal-hal yang ada di depannya, bagaimana bentuknya, siapa saja yang ada di depannya dan hal-hal detail yang gak bakal bisa ia lihat saat ini.

Melihat itu iyu sebenarnya kasihan, gak ada penderitaan yang melebihi penderitaan yura ini baginya. Sebab ia pikul kesedihan jauh-jauh hari, ditinggal ibu kandung sejak lahir, buta sejak kecil dan punya ayah seperti hewan buas yang gak punya hati baik. Jadi apa pun yang ia mau, maka iyu usahakan untuk berkata iya.

Di luar cahaya, cahaya matahari memantulkan warnanya, jingga yang manis dan cendurung menyakitkan. Di sekitar mereka berjalan anak-anak hendak pergi mengaji bersama orang tuanya, suara-suara dari kejauhan pun terdengar merdu, menyayat segala sisi hatinya.

"Bu?" tanya yura tiba-tiba.

"Ada apa nak?"

"Bentuk matahari itu seperti apa seh?" mendengar pertanyaan ini, hati iyu sekejab luluh.

"Hmm... bulat nak, tapi letaknya sangat jauh, kita manusia hanya bisa mengeluh saat panasnya melebihi batas," iyu mengusap jidad yura yang sudah mulai berkeringat.

"Berarti sangat jauh ya? Hmmm soalnya sering aku dengar di televisi, kalau matahari sedang panas-panasnya, Bu," yura menyanggah seakan ia pernah melihat dan merasakan dengan dekat matahari.

"Hmmm, katanya seh itu namanya pemanasan global nak, jadi ini ulah manusia, bukan hanya matahari, tapi bumi juga yang paling menderita! jadi tugas manusia bukan hanya untuk dirinya sendiri nak, tapi juga untuk kelangsungan alam ini," sambil berjalan menyurui trotoar di kompleks perumahan yang masih sunyi.

"Jadi gedung-gedung yang tinggi itu, yang sering ibu katakan ada dampak gak baiknya?"

"Betul! Pintar anak ibu ini," iyu usap kepala yura dan menyuruh yura duduk di sekitar taman yang ada di daerah kompleks perumahan.

Tempat ini adalah tempat favorit bagi yura dan iyu, sering kali mereka berdua saling berbicara dan menunggu bintang benar-benar turun dari sudut mata. Iyu selalu bilang jika keindahan yang paling agung dari tuhan adalah bintang.

Bintang-bintang itu adalah harapan baginya, ia selalu berkata begitu agar yura tahu kalau masih ada harapan dan kebahagiaan dalam kehidupannya.

"Capek?" tanya iyu singkat.

"Lumayan, tapi masih lebih capek mikirin ayah!" anehnya yura malah tersenyum dan tertawa kemudian.

"Ayahmu itu masih belum bisa menerima ditinggal ibumu," iyu selalu berpikir, kalau pak tirta adalah orang baik yang kaget dan gak bisa menerima kematian istrinya. Sehingga hidupnya semakin gak terarah sampai sekarang ini.

"Kalau ayah baik, kenapa ayah jahat padaku? Bukannya kebaikan sangat jauh dari kejahatan?" bibirnya tertekuk, dan mengernyit pelan, sangat lucu anak ini.

"Mungkin keadaan yang membuat ayahmu seperti ini, Nak. Bukan keinginannya, tapi keadaan yang membuatnya sampai seperti ini. Dan kamu gak salah, kamu berhak kecewa ke ayahmu, seharusnya kasih sayang lah yang kamu terima! Bukan rasa sakit seperti ini," iyu sambil memungut dedaunan yang berjatuhan dari dahannya.

Memang senja hari ini sedikit berbeda dari hari-hari biasanya, banyak sekali orang berjalan sambil menatap ke arah yura. Padahal sebelumnya gak ada yang aneh, biasa saja. Dan memang agak ada yang aneh di diri yura saat ini, mangkanya iyu agak risih saat mereka semua hampir menatap yura dalam keadaan yang sinis.

Tanpa bisa menerka-nerka apa yang mereka pikirkan tentang yura, iyu hidup dalam-dalam udara senja ini dengan lapang dada.

"Tuhan cukuplah kau berikan kesedihan kepada anak ini," hatinya tergelitik sedih, ia gak bisa membayangkan jika itu adalah dirinya sendiri atau bahkan anaknya yang hidup di desa.

Daun-daun itu berserakan hampir di sepanjang taman ini, membuat yura meraba-raba dengan telapak tangannya, ia sadari jika ayahnya adalah korban dari keadaan, dan dirinya ini juga korban keadaan. Mau seperti apa lagi? Ia akhirnya melupakan ayahnya dan bertanya kepada iyu dengan nada suara yang sedikit berbeda.

"Apakah ada lelaki yang bakal menyukaiku?" tanya yura sambil menerka-nerka dimana letak harum tubuh yang membuatnya ketagihan. Harum tubuh itu segar dan jantan, tepat berada di belakang tengkuknya yang ia lapangkan.

"Kok bilang seperti itu nak? Kamu ini canti, jujur kamu cantik anakku," iyu mengelus kening yura.

"Hm... ibu gak bohong kan?"

"Gak bakal bohong ke anak sendiri, kamu ini udah ibu anggap anak sendiri! Hayo, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?" iyu menyentil telinga yura, seakan itu bentuk kasih sayang agar hatinya bahagia.

"Hmmm..." hanya itu yang keluar dari yura.

"Kamu ini berhak jatuh cinta, Nak, karena kamu juga punya perasaan dan hati bukan?" iyu semakin memancing yura untuk berkata jujur.

"Gak ada apa-apa kok, aku Cuma takut gak ada yang mau denganku Bu! Wajar kan kalau aku punya pikiran seperti itu?" bibirnya mengernyit tanda ingin dimanja, sedangkan tatapan matanya gak fokus, serta pupil yang terlihat abu-abu.

"Kamu ini loh lucu ya? Jangan berpikir buruk kepada sesuatu yang belum pernah kita alami, termasuk urusan cinta ini anakku," iyu berusaha meyakinkan yura agar berpikir baik kepada segala hal.

"Menurut ibu bagaimana seh sebenarnya laki-laki yang setia dan baik hati? Pastikan ibu sering berjumpa dengan beberapa lelaki sampai ibu berumur sekarang," ia tahu jika pengalaman menentukan segalanya.

"Gak ada ketentuan, tapi yang paling penting sebetulnya niat dan bukti serta tingkah laku, itu bagi ibu menentukan bagaimana sikap lelaki kepada perempuan," yura kemudian melempar selembar daun yang ia genggam dengan susah payah.

"Oh begitu? Jadi gak ada ukuran ya? Jadi siapapun boleh aku cintai kalau begitu bu?"

"Kamu sedang jatuh cinta nak? Gak ada larangan, tapi kalau cowok itu kurang baik, maka wajib dijauhi, semi kebaikanmu bukan?"

"Hmmm... mungkin aku setuju dengan ibu," yura lalu meminta iyu untuk melihat adakah seseorang di belakangnya.

"Siapa dibelakangku bu? Harum tubuhnya memabukkan dan membuat aku segar!" iyu yang mendengar itu seketika menjadi takut, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri begitu saja.

"Gak ada siapa-siapa nak!" jawab iyu dengan sangat curiga.

Tanpa pikir panjang iyu melihat jam di tangannya, sudah pukul lima lewat sepuluh menit, dan lagi angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat untaian rambut yura terlempar kebelakang, saat itulah yura benar-benar merasakan ada seseorang mencium rambutnya dan menyentuhkan hidupnya dipunggungnya yang harum.

"Ibu!" iyu paham ada apa ini sebenarnya.

"Lebih baik ayo pulang, Nak," dengan tergesa-gesa iyu menggandeng tangan yura dan meninggalkan taman itu semakin jauh dari pandangan matanya.