Contents
Cinta Beda Dunia
Chapter 4
Tiba-tiba suara serak dan berat terdengar lantang dari ujung pintu kamarnya. Suara yang sangat jelas ia ketahui, yaitu suara dari ayahnya.
Suara itu perlahan makin mendekat, seirama dengan langkah kakinya yang terdengar tergesa-gesa.
Lalu tubuh itu ia rasakan tepat berada di sampingnya, yura dengan agak takut berdiri, berusaha untuk gak tidur saat ada ayahnya di dalam kamarnya. Lalu suara itu menyapanya agak berbeda.
"Sudah sarapan?" tanya ayahnya singkat.
"Sudah, Yah," yura agak gemetar menjawabnya.
"Kenapa gemetar? Apa ayah ini monster bagimu? Sejahat itukah ayahmu ini?"
Belum sempat yura menjawab, tiba-tiba tangan ayahnya meraba-raba pungguh dan tengkuknya tepat dari belakang. Yura yang semakin ketakutan, hanya bisa diam dan gak bisa ngomong apapun lagi.
"Kamu ternyata sudah remaja ya? Ayah gak mengira wajahmu semakin remaja semakin mirip ibumu," tangan itu mulai meraba-raba perut yura, dan sampai ke paha yura yang membuat yura gemetar dan menggelinjang sebentar.
"Ayah?"
Ia rasakan hembusan napas ayahnya mendekat ke arah bibirnya, yang membuat yura gak karuan. Dalam pikiran yura, ayahnya pasti akan melakukan hal yang sama, yang dulu pernah ayahnya lakukan kepadanya saat berumur sebelas tahun lebih. Kejadian itu sampai sekarang ia ingat dan gak bisa ia lupakan sampai kapanpun.
"Kamu harum anakku?" desah ayahnya perlahan.
Lalu tangan kasar itu, mulai naik meraba-raba belahan dada yura yang tumbuh sesuai dengan umurnya. Yura mulai meronta, dan kedua matanya mendangak menghadap atap-atap langit kamarnya yang seakan-akan memudar.
Sebelum tangan itu merangsek masuk menguasai seluruh belahan dadanya, langkah kaki ibu iyu datang seketika, dan membuyarkan keinginan ayahnya untuk dapat melakukan hal itu kedua kalinya.
"Pak sedang apa di dalam kamar yura?" wajah pak tirta kebingungan dan mengelak keluar dari kamar yura tergesa-gesa.
"Ah, masak ayah mampir melihat anak sendiri gak boleh? Kamu ini bukan ibu kandungnya sok nanya kayak gitu ke saya!" belum sempat ibu iyu menjawab, ia keluar dengan langkah kaki yang gak beraturan.
"Yura gak kenapa-napa kan?" tanya ibu iyu ketakutan.
"Gak apa-apa kok," yura hanya bisa menjawab pelan, sebab kengerian yang barusan ia rasakan lebih membuatnya sesak nafas, lalu ia merangkul tubuh ibu iyu, dan dalam sekejab merebahkan kepalanya ke dalam pangkuan ibu iyu. Benar-benar anak yang malang.
Sementara terdengar dari kejauhan suara pak tirta yang dengan lahap memakan sarapan paginya. Ia sepertinya akan kembali keluar rumah dalam waktu yang lama. Sementara yura masih saja merebahkan tubuhnya ke dalam pangkuan ibu iyu.
"Bu? Aku mau cerita, tapi ibu janji gak bakal kecewa dengan ceritaku ini," wajah yura memelas lugu.
"Ceritalah, pasti bakal ibu dengerin, Nak," ia sadar pasti ada rahasia yang bakal yura ceritakan kepadanya.
"Ayah tadi meraba-raba paha, dan dadaku, Bu! Aku takut ayah melakukan itu lagi," kengerian seperti apa yang iyu rasakan dalam sekejab ini. Seketika tangannya gemetar dan nafasnya gak beraturan.
"Apa?" hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Dulu waktu aku berumur sebelas tahun, ayah mencium bibirku dan meraba-raba seluruh bagian tubuhku, Bu! Aku takut untuk mengatakan ini kepada ibu," seketika wajah iyu mencium lembut kening yura penuh kasih sayang.
Ia gak pernah berpikir jika ayahnya sebejat itu kepadanya, dengan agak tergesa-gesa ia berdiri dan berlari menuju kamar pak tirta, yura yang gak bisa melihat hanya diam dan meraba-raba apapun agar ia gak terjatuh dari kasur.
Yura mendengar teriakan itu, teriakan dari ibu iyu yang sedang memarahi ayahnya.
"Ayah kurang ajar! Ayah yang punya malu dan harga diri, kamu ini apakan anakmu? Kurang puas tah kamu menyakitinya dan bahkan melecehkannya seperti itu?" kedua matanya melekat dan menantang penuh kepada pak tirta.
"Basi," jawab pak tirta singkat.
"Dasar ayah yang gak punya moral dan etika!" teriak ibu iyu sekali lagi.
"Anak itu butuh belaian dan kasih sayang, jangan dimaknai macam-macam lah!" pak tirta mengelak dengan alasan-alasan yang ia buat.
Belum sempat ibu iyu menyanggah alasan itu, pak tira mengancam dirinya, jika melapor apa yang pernah ia lakukan kepada anaknya itu.
"Jangan pernah macam-macam denganku, kamu ini cuma pembantu, kalau berani macam-macam denganku, hidupmu gak bakal tenang!" setelah itu pak tirta keluar dari kamar, ia sepertinya akan pergi lama lagi. Hal ini membuat iyu agak sedikit tenang, agar rumah ini gak penuh dengan masalah.
"Anakku itu ternyata cantik dan manis, ya? Tapi sayang ia gak sebaik nasibnya!" masih sempat berbicara seperti, sebelum benar-benar pergi menjauh dengan mobil yang ia gunakan.
Ibu iyu langsung lemas gak berdaya, ia berjalan lunglai menuju ke kamar yura. Ia ratapi segalanya yang ada di dalam ruangan rumah ini.
Perabotan dan foto-foto serta lukisan alam membentang hampir disetiap sudut ruangan. Ia merasa telah gagal menjaga yura, dan telah gagal menepati janji kepada nyonya Kanja.
Dengan begitu lemas, ia tatap tubuh gadis itu, gadis yang gak bisa melakukan apapun, kecuali berdoa kepada Tuhan. Tanpa suara ia berada di samping yura, dan yura pun menyadari keberadaaan ibu iyu.
"Ibu?"
"Diam ya Nak? Ibu gak bisa menepati janji ibu kandungmu, gak bisa menjagamu setiap saat," iyu mengusap lagi kening yura penuh kasih sayang.
"Kok ibu ngomong gitu seh?" yura menolak anggapan itu.
"Kenyataannya seperti itu kan nak?"
"Gak seperti itu Bu, itu kelalaianku juga membiarkan ayah meraba-raba semua yang ada di tubuhku, aku lemah dan aku memang lemah!"
Lalu mereka berdua berdiam diri sejenak, mengheningkan suasana pagi yang terasa begitu panjang.
Setidaknya pak tirta sudah pergi, dan sepertinya dalam kurun waktu yang cukup lama, hal ini yang membuat yura dan ibu iyu sedikit legah dan bisa membuat suasana rumah ini kembali asri seperti hari-hari sebelumnya.
"Ibu sayang banget sama Yura," ibu iyu kecup kening yura begitu mesra.
"Yura juga begitu, Bu."
Akhirnya, yura tahu setiap hal yang akan terjadi adalah harapan-harapan baru yang bakal kekal. Doa ibunya di dalam mimpi adalah doa dan harapan yang harus ia percayai, ia masih punya ibu iyu yang sangat baik dan peduli kepadanya.
Tinggal ia tunggu apa yang sebenarnya kabar bahagia yang ibunya katakan kepadanya di dalam mimpi. Ia gak bakal bilang ke ibu iyu tentang mimpinya itu, dan tentang ayahnya, yura sudah menganggapnya tiada.
Ia lebih mirip benalu yang harus dihapus dan dilupakan demi masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.
Tangan itu masih mengelus keningnya, yura tersenyum dan bertanya lugu kepada ibu iyu.
"Aku cantik gak, Bu?"
"Cantik dan manis," jawabnya begitu singkat yang akhirnya membuat yura tersenyum lepas dan makin tenggelam dipangkuannya. Yura paham inilah kebahagiaan, sederhana seperti cinta yang perlahan hatinya rasakan entah darimana dan untuk siapa.
Ayahnya memang seorang yang mesum dan suka meminum alkohol, baginya anak dan pembantunya hanyalah boneka yang akan selalu nurut kepadanya, sehingga hampir selama ini yura dan ibu iyu diam dan mematuhi segala kemauan pak tirta.
Ia sangat kejam, apalagi parasnya yang memang terlihat kasar, semakin menampakkan jika tujuan hidupnya hanyalah untuk diri sendiri dan kepuasan hatinya.
Yura gak menduga ayahnya akan melakukan hal yang sama, seperti sebelas tahun yang lalu, saat umurnya masih agak belia. Tapi beruntunglah nasih yura pagi ini, gas sampai ayahnya menciumnya lagi, ibu iyu datang menyelamatkannya.
Mungkinkah itu doa dari ibunya? Yura gak bakal tahu, ia hanya berusaha menunggu dengan benar-benar doa dari ibunya, harapan yang ibunya berikan kepadanya.
"Aku masih menunggu itu, Bu! Menunggu apa yang ibu katakan waktu di dalam mimpiku semalam, harapan itu yang akan buat aku lebih semangat lagi, dan dengan harapan itu aku bisa punya mimpi-mimpi baru yang bakal aku ingat selama-lamanya!"
Dan pagi ini semua telah berlalu, yura terpaku duduk sendiri di sekitar kamarnya yang harum, ia begitu paham harapan-harapan baru akan selalu muncul saat ia bermimpi dan melepas angan-angannya lebih jauh lagi. Ia mencoba kuncir rambutnya yang tebal itu, sungguh pagi yang gak diduga-duga datang seperti ini.
Jam masih pukul depalan lebih lima belas menit, saat yura terbaring dan berharap semuanya berputar begitu cepat, meminta mimpi yang hampir sama, yaitu bertemu ibunya, atau bahkan bertemu kebahagiaan yang ibunya katakan kepadanya.