Contents
Cinta Beda Dunia
Chapter 3
Bau minuman alkohol itu menyeruak hampir di seluruh ruangan di rumah ini. Bau yang sungguh membuat kepala menjadi pusing.
Yura tahu bau itu pasti berasal dari minuman alkohol ayahnya. Iya, ayahnya sejak tadi pagi pulang dengan keadaan yang begitu kusut dan lusuh.
Sudah hampir seminggu lebih ia tak kembali ke rumahnya, ia lebih sering menghabiskan waktu dengan istri keduanya.
Semenjak ibunya meninggal, ayahnya selalu bilang jika dirinya adalah pembawa sial. Hal itulah yang membuat ayahnya murka kepada yura.
Pagi sudah tak lagi menyenangkan, iyu yang melihat gelagat tak enak dengan segera menghampiri yura yang sedang melihat ke arah luar di jendela rumahnya.
Dalam hati iyu, apa yang ia bayangkan selain imajinasi dan permainan-permainan yang gak tentu maksudnya. Iyu bukan pintu kamar itu, dan menghampiri yura dengan menyuapinya untuk sarapan pagi ini.
"Makan dulu, Nak?" iyu menawarkan sesuap nasi kemulutnya.
"Ayah pulang, Bu?" tanya sura serak.
"Hmmm..." iyu gak bisa langsung menjawab, takut menyakiti hati yura.
"Jawab jujur, Bu!" yura agak membentaknya.
"Anakku?" iyu berusaha lagi memasukkan sesuap nasi kemulut yura yang terlihat basah jingga.
"Kalau ayah pulang pagi ini, katakan yura ingin bicara dengannya, yura sudah gak sanggup punya ayah seperti dia, Bu!" iyu kaget, ternyata yura dengan tegas berani berkata begitu terhadap ayahnya.
Sikap tegas ini, mengingatkan iyu akan nyonya Kanja, majikannya itu adalah sosok tegas, perempuan yang gak bisa diperintah dan dijatuhkan dengan mudah.
"Apa kamu yakin ingin bertemu ayahmu, Nak?" tanya iyu sambil mengusap kening yura. Dan menaruh sesuap nasi yang ia letakkan di samping jendela.
"Aku ini anaknya, meski aku ini buta! Aku masih punya hak untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi milikku dan menjadi keinginanku," iyu mengelus dadanya, berusaha menenangkan diri yura sebaik-baiknya. Lalu ia tuntut yura ke kursi di sebelah kasurnya yang bersih itu.
Yura duduk dengan napas yang tergesa-gesa. Entah pagi ini keberanian apa yang merasuki diri yura, iyu sampai dirinya berumur tujuh belas tahu, baru pertamakali mendengar suara itu berontak dengan tegas dan lugas.
"Ayahmu sedang tidur, Nak?"
"Kapan ayah akan bangun?" yura mengelap keringat yang mulai berjatuhan di keningnya.
"Gak tahu anakku, ayahmu baru datang tadi pagi jam setengah enam, pasti dia kelelahan dan kayaknya baru siang hari akan bangun, Nak!"
Yura hanya diam, menerka-nerka berjuta warna dan ekspresi dari iyu, saat ia pagi ini memaksa dan membentak seorang yang sudah ia anggap ibu ini.
Tangan yura meraba-raba wajah keriput dan kasar itu, ia raba mulai dari rambutnya, keningnya dan kedua mata iyu yang menatapnya kosong penuh tanda tanya.
"Ibu gak nangis kan?" yura mengiba-ngiba setelah ia sadar deikit memaksa iyu untuk bertemu dengan ayahnya.
"Gak, Nak, itu pilihanmu ingin bertemu ayah sendiri. Ibu hanya takut saja kamu kenapa-napa, kamu tahu sendiri kan? Ayahmu itu selalu kasar dan sering melukai dirimu, Nak," setelah itu iyu mengambil lagi sesuap nasi untuk yura makan.
"Sekarang ayo makan, sudah jam segini," dengan begitu manis iyu merawat dan memberi sarapan kepada yura.
"Aku mau ayah berubah dan mengakui jika aku ini bukan pebawa sial!"
"Ayo makan dulu, kita bicarakan itu nanti setelah kamu selesai makan ya?"
Yura akhirnya nurut dengan ibu iyu. Ia dengan lahap menghabiskan sarapan sederhana, mie instan dan telor yang iyu buatkan kepada dirinya.
Kasih sayang seperti ini gak bakal yura lupakan, sebab inilah kasih sayang yang ia butuhkan sampai nanti. Kedua matanya yang buta sudah menjadi benalu dan rasa sakit hati yang gak bisa ia hindari.
Sehingga kehadiran iyu hampir setiap saat menjadi pengobat dari segala rasa sakit yang ia alami selama ini.
Setelah makan pagi selesai, iyu kembali ke dapur untuk mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Ia tinggalkan yura dengan keadaan yang sudah mulai tenang lagi.
Dalam pikiran iyu, apakah benar yura sudah mulai berani mengambil sikap atas apa yang selama ini ia alami. Kesedihan dan kekerasan yang hampir ia terima juga dirinya sendiri mengalami kekerasan itu.
Iyu sangat takut saat berhadap dengan ayah yura. Pak tirta lebih mirip singa yang haus akan kekuasaan, sehingga dalam tatapan matanya ia selalu lihat kerakusan yang gak pernah habis masanya.
Sambil mencuci piring yang menumpuk ini, tangan yuri menerka-nerka seberapa banyak ia harus menghabiskan waktu lagi. Juga kedatangan nyonya Kanja membuatnya semakin yakin untuk gak kemana-mana dan benar-benar menghabiskan sisa umurnya hanya untuk yura seorang.
Lalu saat lamunannya benar-benar hanyut ke dalam ilusi, suara serak berat itu terdengar keras memanggil namanya. Seketika ia ketakutan dan terburu-buru menghampiri suara itu. Dengan langkah kaki yang terburu-buru serta nafas yang terdesak iyu berlari menghampiri letak suara itu ada.
"Buatkan aku sarapan pagi!" sorot mata itu tajam dan melotot tegas ke arah wajah iyu.
"sarapan dengan lauk apa, Pak?
"Apa saja! Yang penting saya ingin sarapan pagi ini! Perut saya perih soalnya! Cepat gak usah banyak tanya!"
Lalu iyu membalikkan badan, tubuhnya yang tua sudah gak bisa lagi dengan cepat bekerja dalam tekanan. Ternyata suara itu berasal dari pak tirta.
Dalam hatinya sungguh campur aduk, wajahnya yang banyak ditumbuhi bulu-bulu halus, semakin membuatnya tampak kasar dan tegas, belum lagi sorot matanya juga tubuhnya yang tinggi besar membuat iyu semakin takut saat berhadapan dengan pak tirta.
Sekilas ia intip kamar yura, dan benar apa yang ada dipikirannya, yura meraba-raba pintu keluar, mungkin ia sadar jika suara ayahnya membuatnya kaget bukan kepayang.
"Ibu gak kenapa-napa nak? Ayahmu cuma ingin sarapan pagi," iyu berusaha menenangkan yura yang terlihat gusar berkeringat.
"Ibu gak bohong kan?" tanya yura seakan gak begitu percaya.
"Sejak kapan ibu berbohong kepada anakku ini? Sekarang kamu kembali ke kasur ya? Istrahat, ibu habis ini bakal menemanimu," dengan telaten iyu menuntun yura kembali duduk dan tiduran di kasurnya yang sungguh harum dan rapi, setelah itu ia ke dapur untuk segera memasak mie instan dan telor buat pak tirta.
Keadaan pagi ini benar-benar gak sesuai harapan yura, kedatangan ayahnya justru membuat hawa di dalam rumah langsung rusak, modd yang hancur dan ingatakan akan masa lalu yang kembali hadir begitu derasnya. Ia gak berharap ayahnya kembali ke rumah ini, baginya sang ayah sudah hilang sejak ia dilahirkan di dunia ini.
Pernah suatu ketika, ayahnya menampar pipinya yang masih kecil, padahal ia hanya menjatuhkan piring dengan gak sengaja.
Sejak saat itu, yura sangat takut ketika ia dengar suara dari ayahnya, tapi semenjak kemarin, saat ibunya datang di dalam mimpi, ia seakan mendapatkan dorongan batin yang begitu besarnya. Keberanian untuk menentang ayahnya atau bahkan berani membentak sang ayah jika ayahnya benar-benar keterlaluan.
Sambil menunggu ibu iyu selesai membuatkan sarapan ayahnya, yura mencoba mengingat-ingat kejadian yang ia alami tadi malam. Saat ia bertemu dengan ibunya yang ternyata sangat cantik sekali.
Ibunya yang melahirkannya, dan dengan segera meninggalkannya, ia harus belajar banyak kepada sang ibu, yang begitu tabah mengikuti perkembangan hidupnya sampai saat ini, meski dari dunia yang berbeda.
"Ibu? Kenapa seh Tuhan memberiku jalan yang begitu rumit ini? Apakah tuhan gak sayang sama Yura? Apakah Tuhan ingin yura merasa sedih begini? Atau apakah yura memang layak mendapatkan ini semua, Bu? Yura masih gak paham, apa yang ibu maksud itu, kalau akan ada kebahagiaan datang di masa depan yura, apakah ibu yakin seratus persen kalau itu akan datang kepada yura? Atau jangan-jangan hanya khayalan dan harapan ibu agar aku setidaknya lebih bisa bahagia, meski hanya sesaat saja!"
Yura mencoba mengira-ngira bentuk atap di dalam kamarnya, bibirnya tersenyum kecil dengan melipat kedua tangannya yang rapat dan halus. Dengan memakai celana tidur serta kaos polos berwarna putih, juga rambut tebal bergelombang, tampak jika yura sebenarnya adalah gadis manis yang pasti banyak lelaki jatuh hati kepadanya.
Tapi keadaan matanya yang buta, membuat ia hanya bisa meradang sendiri di dalam kamar, sesekali ia berjalan keluar rumah, ditemani dengan ibu iyu yang sangat baik kepadanya. Tapi hanya itulah yang dapat ia lakukan, berusaha memandang apapun yang ada di depannya, dengan imajinasi yang gak bisa ia pikirkan dengan sendiri.
"Apakah ibu yakin kalau nanti ada lelaki yang jatuh cinta padaku? Apa ibu juga yakin kalau aku ini perempuan yang cantik? Aku aja gak bisa melihat tubuh dan wajahku sendiri! Jadi aku gak bisa menilai kejujuran ibu, aku hanya bisa berharap kalau yang ibu katakan itu semuanya benar adanya," sambil mengelus keningnya yang berkeringat yura membalikkan badan dan terus menunggu kedatangan ibu iyu ke dalam kamarnya.