Contents
The Mono
4. The Meeting
Seiring dengan berjalannya waktu, Mono pun lulus dari pendidikannya, diapun sekarang menjadi Dosen Sarjana S1 Fakultas Teknik Sipil yang memang menjadi bidangnya, sengaja dia tidak memberitahukan orang tuanya, dia pikir bagi orang tuanya, proyek lebih utama, juga dia takut dapat teguran orang tuanya karena sering meninggalkan kerjaannya. Dan atas rekomendasi bu Profesor Siti yang sekarang menjadi Dekan Fakuttas Teknik agar Mono diangkat menjadi Dosen paruh waktu, Mono menyetujui karena dia juga banyak kerjaan yang harus dia lakukan.
Dikampus sekarang ada klinik kampus dekat ruangan Mono, di Lembaga Pengadian Pada Masyarakat (LPPM). disitu ada dokter yang menjaga, namanya dokter Dini, dia masih muda, single dan masih saudara ibu Siti. Mono sering menggodanya, kalau tidak Bunga maka dokter Dini yang jadi sasaran Mono padahal mereka masih saudara, belum tahu Mono bahwa mereka sudah memiliki pacar masing – masing. Kalau sedang ada rapat di Fakultas mereka selalu datang. Suatu hari ada rapat reguler yang dihadiri oleh Dekan, para Wakil Dekan, Dosen, LPPM dan Klinik membahas masalah penerimaan mahasiswa baru, skripsi perlu atau tidak perlu dan sosilisasi kesehatan mahasiswa baru. Sewaktu pembahasan skripsi perlu tidak, terlihat Mono paling serius memperhatikan, mereka tidak tahu waktu ia kuliah di Singapura dan Amerika tidak perlu menggunakan skripsi/thesis sedangkan di kampus ini mengharuskan, Monopun bereaksi, seperti biasa Mono yang memang kritis atas semua kebijakan kampus didasarkan keputusan pemerintah, ini terkait dengan bisnis dia yang terkadang dipersulit dengan seribu satu alasan dan terkadang dia harus mengeluarkan biaya lagi untuk menyelesaikan.
Kira – kira sebulan yang lalu di dalam rapat seperti yang sama, dalam pembahasan masalah kelas jauh, bahwa peraturan pemerintah dalam hal ini dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti), melarang semua kelas jauh, Mono langsung bereaksi.
“kenapa dilarang?, apa dasarnya?, dalam UUD 45, Pasal 31, dijelaskan bahwa hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi setiap warga Negara dan pemerintah tidak boleh membatasi”. Ini didasarkan kampus di Amerika yang bahkan sudah membuka cabang sampai ke Negara lain, ini baru beda propinsi/kabupaten dilarang.
Pembantu Rektor I pak Prof.Pramono berusaha menerangkan,
“ini untuk mempermudah mengatur strategi pemasaran kita, kalau kelas jauh akan sulit mengkoordinirnya, belum lagi masalah biaya yang pasti akan lebih mahal”.
Pak Ahmad dari Dikti menambahkan,
“ini untuk pelajaran bagi semua Perguruan Tinggi yang lain agar fokus terhadap pendidikan mereka di kampus utama dan agar kita tidak terlalu susah mengatur PTS/PTN (Peruguruan Tinggi Swasta/Negri) yang ada” . waktu itu memang ada orang dari Dikti yang datang dalam rangka mensosialisasikan peraturan baru tersebut.
Bukan Mono namanya kalau mengalah begitu saja,
“oke, kalau begitu kita tanya Mahkamah Konstitusi tentang peraturan baru tersebut, peraturan yang saya kira sangat melanggar UUD 45, Pasal 31, yaitu hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi setiap warga Negara, dimana saja, maka biarkan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan bukan pemerintah”.
Langsung geger dalam rapat itu, dari pak Ahmad, Prof. Pramano, Prof. Siti dan semua Dosen yang ikut rapat terdiam, lama terdengar suara – suara mendukung. Sebenarnya bukan itu sepenuhnya maksud Mono dalam pembelaanya, dia juga tidak perduli, yang dilihat waktu ada Bunga di rapat itu sebagai perwakilan mahasiswa, lumayanlah buat “gagah - gagahan”. Dasar.
Sejak itu accidental (tidak niat/tidak sengaja) Mono namanya langsung dikenal sebagai orang dikenal kritis atas semua kebijakan kampus yang berdasarkan atas keputusan pemerintah. Ampun deh
Pada rapat yang sekarang ini dalam pembahasan skripsi dan nonskripsi reaksi Mono berlanjut, seperti biasa ada Bunga dan Dini di dalam rapat. Di situ ada lagi bapak Ahmad dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang mau mensosilisasikan Peraturan baru dari Dikti yang membahas semua mahasiswa S1/S2/S3 harus membuat penelitian yang akan dimasukkan ke Jurnal Ilmiah, ini sejalan keinginan sebagian sivitis kampus untuk tetap menjalankan keputusan Rektor tentang nonskripsi tidak boleh dilakukan di tengah hiruk pikuk pihak yang menginginkan adanya keputusan nonskripsi boleh dilakukan.
“Kampus tidak menyetujui adanya nonskripsi, bagi semua mahasiswa yang lulus harus sudah menyelesaikan skripsi dan thesis sebagai pertanggungjawaban secara moral dan akademik kepada masyarakat dan kepada kampus”, itu yang di nyatakan pihak kampus oleh bapak Prof.Pramono sebagai Wakil Rektor I dalam pertemuan ini.
Dan seperti biasa para dosen hanya menganguk saja, mungkin terlihat masuk akal. Tapi tidak bagi Mono, dia sudah mensurvey sebelum pertemuan ini termasuk pengalaman dia waktu kuliah di luar negri.
Waktu diberi kesempatan bicara dia langsung mengeluarkan uneg – unegnya,
“sebelumnya kita harus tahu semua kebijakan pendidikan kita harus berdasarkan pada UUD 45 dan Peraturan Pemerintah dalam hal ini dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, lalu apa dasar hukum kita, yang akan menetapkan peraturan tersebut”, mulai panas, seperti biasa dia tenang aja sambil mengemukakan hal tersebut, tidak ada yang ditakuti. Ditambahkannya lagi,
“saya melihat sudah banyak PTS dan PTN yang melakukan kebijakan nonskripsi (sambil menyembut satu persatu PTS/PTN), kalau dilihat dari sisi marketing ini akan sangat bagus terutama di Sekolah Bisnis di kampus kita yang belum lama terbentuk, saya lihat yang dari luar negri banyak yang melakukannya (sambil menyembut kampus satu persatu), dilihat dari sisi akademik yang menyebutkan ini adalah proses yang kurang bertanggung jawab kata siapa?”, Mono menjelasakan begitu detainya tapi tetap tenang, tebih tepat santai, sambil melihat Bunga dan Dini.
Bunga diam – diam berharap kebijakan itu dicabut agar dia bisa lulus tanpa pusing – pusing menjalankan skripsi yang pasti akan lama dan melelahkan.
Yang lain terdiam, sementara Prof. Pramono berusaha menjawab,
“kita harus melihat masalah ini lebih luas lagi, seperti kalu kita lihat anak sekolah juga mahasiswa yang akan belajar kalau akan menghandapi ujian demikian juga ujian skripsi mereka pasti akan lebih belajar, juga akan ada Dosen Pembimbing yang membimbing dan mengarahkan, ini adalah untuk kepentingan mereka terutama di dunia kerja yang menuntut kecepatan, kejelasan dan keakuratan dan itu bisa dilakukan di skripsi”.
Dengan entengnya Mono membalas keterangan Prof. Pramono
“itu bagi mahasiswa yang belum berkerja, bagaimana yang sudah, belum tentu mereka punya waktu untuk mengerjakan skripsi, dan juga bagaimana mereka yang sudah nyaman dengan pekerjaannya dan harus terbuang untuk hal yang mereka mungkin tidak ada kaitannya dengan pekerjaan mereka”.
Bapak Ahmad berusaha mencari titik tengah,
“mungkin lebih tepat peraturan ini adalah untuk membuat mahasiswa termotivasi untuk membuat penelitian baik itu skripsi atau thesis”, baru melunak bapak Ahmad tentang sosialisasinya, mungkin dia pikir, dia lagi - dia lagi, sama dengan Mono yang berpikir sama.
Mono menjawab,
“saya sudah berbicara dengan beberapa orang yang merupakan peneliti baik dari kalangan Dosen atau memang peneliti sendiri dari LIPI, Jakarta, sebagian saya melihat di artikel – artikel setelah Peraturan tersebut dikeluarkan Dikti, intinya untuk mahasiswa S1 tidak dididik untuk menjadi seorang peneliti dan mereka belum tentu akan menjadi seorang peneliti, berdasarkan silabus matakuliah mereka yang memang bukan untuk menjadi seorang peneliti, jadi berdasarkan apa bapak menetapkan peraturan ini”, kata Mono sambil bertanya kepada pak Ahmad dan Prof. Pramono, pertanyaan yang langsung diikuti riuh tepuk tangan oleh semua yang hadir.
Mono tersenyum sambil melihat Bunga dan Dini yang terlihat bertepuk tangan atas argument Mono. Tidak penting mereka pada ribut, yang penting “yayang – yayangnya” suka. Dasar. Ibu siti hanya geleng – geleng kepala tidak tahu setuju atau tidak.
Bapak Prof. Pramono akhirnya berkata,
“kami akan membicarakan ini dalam rapat pimpinan dengan memperhatikan segala masukan – masukan yang ada”,
Bapak Ahmad juga berjanji akan melaporkan pembicaraan ini ke atasannya di Jakarta.
Sedang Mono dengan santai menjawab,
“lakukanlah, kami akan mengawasi, dan untuk bapak Ahmad, kalau Peraturan Dikti tersebut masih terus dijalankan, saya sendiri akan uji material ke Mahkamah Konstitusi tentang peraturan tersebut”. Gertak Mono, yang membuat seisi ruangan bertepuk tangan lagi. Mantap
Dalam hati pak Ahmad, “
mahkamah konstitusi lagi, mahkamah konstitusi lagi
Cape deeh”.
Esoknya Mono dan Santoso disuruh kerumah ibu Siti untuk mengantar ibu Siti ke kampus. Diperjalanan mereka langsung berbicara tentang pertemuan yang kemarin, itu yang sekarang jadi alasan Mono jadi “supir” ibu Siti.
“kamu benar – benar yaa, kamu kalau ngomong dipikir ngga sih”, kata ibu Siti, bukan untuk menegur atau tidak suka.
Bunga berusaha membela,”ngga apa – apa bu, semua mahasiswa mendukung, dosen – dosen sebagian besar saya lihat mendukung, ibu seharusnya mendukung kan demi kebaikan kampus juga”,
Sedang dokter Dini yang kebetulan ikut menambahkan,
“biar saja bu, mereka terlalu arogan kalau berbicara terhadap hal – hal yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa”.
“bukan masalah mendukung atau tidak, tapi kamu No,(ibu Siti memanggil nama Mono) harus tetap bersikap tenang, jangan terlalu keras, inget biar bagaimapun Prof. Pramono dan pak Ahmad adalah orang tua, kita tetap harus menghormati mereka, mereka juga berjasa terhadap perkembangan kampus kita”. Ibu Siti berusaha menasehati.
“iya bu, saya hanya ingat mba Bunga yang akan kesulitan kalau harus menyusun skripsi, bahkan kalau bisa masalah ini bisa dimasukan ke televisi, kan mba Bunga seorang jurnalis”.kata Mono
“ngga sedramatis gitu kali”,Bunga menjawab .
“oh jadi gitu, semuanya demi Bunga tuh”, sindir dokter Dini
“bukan begitu maksud saya, intinya semuanya demi kebaikan bersama”, terang Mono, sambil melirik Bunga, sebenarnya memang itu yang dimaksud.
“oke, thank you”, kata Bunga. Dia memang sudah tahu dari berita yang dia dengar, Mono memang suka denganya, diapun bertanya,
“kamu kalau tidak mengajar, apa aktifitasnya? Kerjakah?. Dia mau melihat seberapa mapan hidup seorang Mono, kayaknya dia mulai suka dengan Mono, yang selalu berusaha membela dia, dengan menggunakan argument – argument yang cukup ilmiah, menandakan ia adalah orang yang terpelajar.
“saya kerja di perusahaan konstruksi di Jakarta tapi tugas di Bandung, sedang membangun proyek di depan kampus”, jawab Mono, apa adanya.
“oh ya, proyek besar tuh, disitu ada mall, ruko, dan aparteman, kalau tidak salah proyek paling besar di Bandung”. terang Bunga.
dokter Dini bertanya juga,
“kamu sekarang tinggal dimana? Apa sudah punya pacar?.
“yaa saya tinggal di proyek, kadang tidur di kampus, yah namanya bujangan, tidur dimana saja sesuka kita”, jawab Mono, berusaha memelas untuk mendapat iba dari Bunga dan dokter Dini. Emang dasar
Sedangkan Ibu Siti bertanya,
“bagaimana dengan orang tua?, katanya mereka tinggal di Jakarta, apa kamu tidak merasa kengen kepada mereka”.
“kadang – kadang bu, biasanya sebulan atau dua sebulan sekali saya pulang nengok orang tua”.jawab Mono, selama lebih dua tahun proyek itu berjalan, Mono baru dua kali pulang itupun pas lebaran. Kadang untuk bisnisnya di Jakarta, dia suruh anak buahnya yang datang ke Bandung.
Ibu Siti bertanya lagi rupanya masih ragu dengan kehidupan Mono, jaga – jaga anaknya, Bunga, sampai suka dengan Mono,
“orang tua kamu katanya pengusaha, latar belakang usahanya apa?
Mono agak bingung menjelaskan, jangan sampai ketahuan, proyek besar yang melingkar di sekitar kampus adalah proyek keluarganya, dia hanya menjawab,
“usaha kecil kecilan bu, ngomong – ngomong bagaimana hasil rapat pimpinan yang membahas nonskripsi bu”, sengaja untuk mengalih perhatian
“masih di rapatkan, gara – gara kamu”, jawab ibu Siti.
Mono hanya nyengir saja. Sambil bertanya kepada dokter Dini,
“katanya bu dokter lagi bisnis herbal, produknya apaan?”
Dengan semangat Dini langsung menjelaskan,
“hebal kita salah satu produknya adalah herbal untuk menambah stamina badan, cocok bagi kamu yang kerja seharian, kamukan sehabis mengajar di kampus masih mengerjakan proyek bangunan, kalau kamu mau, saya bisa mengajak ikut presentasi kita, tenang aja murah kok, buat dosen dan pekerja proyek kaya kamu”,
Bunga langsung menambahkan,
“sekarang Dini jadi level Presiden di MLM usaha dia, lho”,
Ibu Siti langsung bereaksi,
“oh yah, kamu sekarang hebat, Din, orang tua kamu sudah tahu?”.
“sudah bu”,jawab dokter Dini
Bunga menambahkan,
“gajinya bu, sampai 60 juta perbulan, belum lagi tunjangan dan fee marketing”.
“alhamdullillah, kalau begitu tinggal kapan rencana nikahnya?, katanya sudah punya calon, jangan kaya Bunga, alasannya sibuk terus”. Ibu Siti bertanya
“belum ada calon bu, orang tua sudah meminta tapi nanti dulu, nunggu Bunga”, saut dokter Dini sambil mengelak, sambil melihat Bunga dan Mono yang sedang menyetir.
“jangan lama – lama, memangnya cari cowok yang kaya gimana”. cecer ibu Siti.
Dini menjawab,”kaya gimana ya, yang pasti orang yang bertanggung jawab, tidak kabur – kaburan, tidak apa – apa orang yang agak “tidak teratur”, pintar, berani, tidak ganteng juga nga apa – apa”, dia baru sadar semuanya ada di sifat Mono, demikian juga Bunga baru tersadar dengan ungkapan Dini.
Santoso langsung menimpali,”hati – hati, jangan – jangan sudah ada orangnya”, sambil menyindir melihat kesamping Mono.
Dini pikir pasti Mono langsung “galau” mendengar semua. Terus terang Dini mulai tertarik dengan kehidupan Mono yang serba “tidak teratur” tapi pintar dan punya keberanian, sewaktu di ruangannya di Klinik kedatangan mahasiswa laki - laki yang kerasukan jin dan tidak ada bisa menolongnya, Dini sebagai Kepala Klinik, beberapa dosen dan mahasiswa langsung menuju ke ruangan Mono yang terdekat , Mono sudah dengar kabar itu, tapi kelihatan santai sedang Dini walaupun bingung melihat sikap Mono, hanya berkata,
“tolong pak, mahasiswa ada yang kemasukan jin, kami sudah berusaha, mahasiswa,
karyawan dan Dosen hanya bisa berdoa ditempat saya”.
Mono hanya menjawab dengan enteng,
“biar saja bu, ntar kalau sudah capai, berhenti sendiri”, jawab Mono sambil membaca Koran.
“Astaghfirloh, bapak bagaimana sih, orang lagi butuh bantuan kok didiamkan saja”. Dini menjawab sekaligus setengah berteriak. Aneh ada orang kok kaya gitu
Cukup lama kejadian terjadi, hingga terlihat banyak orang bekumpul sampai ke dekat ruangan Mono, Monopun terlihat mulai terganggu melihat kejadian itu, terlihat waktu sudah menjelang sholat Ashar sedangkan masalah itu masih ada, akhirnya Mono mengambil penggaris dari besi dari ruangan praktek mahasiswa Teknik Sipil dan menuju ke Klinik. Disitu terlihat dokter Dini, para karyawan, mahasiswa dan seseorang yang dianggap “orang pintar” sedang “berbicara” dengan mahasiswa yang katanya kerasukan jin dan langsung Mono berteriak,
“minggir, ente”, kepada “orang pintar”, melihat Mono dengan suara keras sambil membawa penggaris besi dia langsung menyikir,
Mono langsung mendekati dan mencekek leher mahasiswa yang kerasukan jin dengan mengatakan dengan keras,
“ente berani juga datang ke sini, ente bikin orang jadi ngga bisa sholat, kalau ente ngga pergi, saya bakar ente sampai mati juga semua temen – temen ente”.
Ajaib, mahasiswa tersebut langsung pingsan, rupanya jin itu langsung takut.dan pergi, Monopun langsung membubarkan kerumunan orang, sambil menyuruh orang untuk sholat. Sedang mahasiswa yang pingsan langsung diobati di klinik. Disitu terlihat dokter Dini tidak bisa berkata apa - apa, hanya rasa kagum bukan main.
Monopun mengampirinya dan berkata,
“katanya kalau bertemu situasi seperti ini, kamu ingin berbicara dengan jin untuk bertanya apa yang dimau, apa yang dia inginkan”, dokter Dini hanya diam seribu bahasa tidak tahu apa yang dia ingin jelaskan.
Monopun berusaha menjelaskan,”manusia aja susah ditebak, apalagi jin”.
Pengalaman itu tidak akan pernah dilupakan oleh dokter Dini. Dan dia selalu teringat akan pengalaman itu bila bertemu dengan Mono.
Merekapun sampai ketempat tujuan mereka, setelah mereka masuk ke ruangan mereka dikampus, meninggalkan Mono dan Santoso di belakang, sedang santoso hanya berkata,
“berat friend, dua – duanya ente mau dapatkan, orang cantik kaya gitu engga mungkin belum punya cowok, cowok juga pasti orang berada”.
Mono menjawab dingin,”namanya usaha”.
Sorenya Mono bersama Susanto, ibu Tati, ibu Cut, Rani, Randy orang – orang dari Bagian Administarsi Keuagan, Bagian Umum, dan Bagian penerimaan mahasiswa baru, makan sore di tukang nasi goreng di luar kampus sambil menunggu pulang kantor, orang – orang “marginal”, orang – orang kecil dikampus yang keberadaraan hanya sebagai pelankap dalam struktur organisasi kampus. Tapi Mono suka sekali bicara dengan mereka, mereka bicara apa adanya, tidak ada sungkan dan takut, tapi terkadang cukup menjengkalkan terhadap apa yang mereka ungkapkan, seperti ibu Tati yang mengungkapkan,
“sampayen gimana sih, udah jelas tuh cewek mau ama sampayen masih aja bingung, sikat aje”.
Ibu Cut menambahkan,”ente masih takut apa, mentang – mentang anaknya ibu Siti, emangnya kenape”, keluar logat Aceh Betawinya
Santoso ikut nimbrung,”bukan itu aja, ini baru perkiraan saya, kayaknya ibu dokter Dini juga suka ama Mono”.
Mereka yang mendengar langsung berteriak ramai mendengar kabar itu,
“iye gimana ngga pade suka, sering digodain, sering di gombalin apalagi waktu kita lagi rapat, belain mulu, nga tahu apa yang terjadi kalau lagi nyupirin mobil ibu Siti”, Rani menambahkan.
“itu dia strateginya, iya Mon”,Santoso berusaha menjelaskan
“enak aje loh, saya sih apa adanya aja”,Mono berusaha berkelit.
“bos, pilih salah satu aja, satu aja nga abis, kita pasti dukung”,Randy berbicara berusaha berpikir logis.
“dukung sih dukung, tapi bagaimana menurut ente (sambil menunjuk ke arah Mono), dua – duanya, Bunga dan dokter Dini, istilahnye orang – orang jetset, orang – orang kelas atas, Bunga aje sering dijemput pake Masereti ame cowoknya, dokter Dini pernah kita lihat dijemput sama temanya pake mercy, beeraat bos”, kata ibu Cut juga berusaha berpikir logis.
“apapun itu kita harus tetap mendukung Mono, siapa tahu mereka bosan, namanya pacaran belum tentu jadi nikah, masih cari – cari, ini sebenarnya kesempatan buat sampeyen membuktikan niat ikhlas sampeyen kepada salah satu mereka, satu aja, jangan dua – duanya, kita nga tanggung jawab kalau sampai terjadi ”,seloroh ibu Tati
“saya pernah ngajak Bunga makan disini”, sambung Mono,
Merekapun langsung berteriak ramai mendengar kabar itu,
“gile loh, cewek jet set kaya Bunga ente ajak makan disini, tapi ente yang bayarin kan”,celoteh Ibu Cut
“yah, orang sekalian nunggu bu Siti, kebetulan lagi pas tongpes, lagian bagian keuangan belum kasih honor ngajar”,enteng aja jawaban Mono, dalam hatinya, lagian tukang nasi goreng tidak mungkin dikasih dolar.
“gile loh”,kompak menjawab
“ngabrolin apaan, jadian dong”,kata Rani dan ibu Tati
“masalah biasa, hoby, kesukaan dan makanan”, jawab Mono
Ditambahkan Mono,”dua hari yang lalu, saya pernah ajak dokter Dini kesini, waktu itu saya udah terima honor dari bagian keuangan”.
“yang bener lo”, mereka kompak menjawab.
“saya memang tahu dari ob kalau ibu dokter Dini lagi makan sama pak Mono di tukang nasi goreng, nga taunye berita itu bener tu”,jelas ibu Tati
“bener – bener sampayen" ,gantian santoso mengomentari.
Ibu Tati menambahkan,”ob cerita kalau pak Mono ribut sama bencong yang sering nyanyi di warung – warung makan, katanya pak Mono menceramahi untuk mereka pada tobat dan menyuruh mereka keluar dari warung, mereka tidak terima dan memanggil teman – temannya sesama bencong, mereka hampir mengeroyok pak Mono, untung pak Mono langsung kabur”.
Mereka langsung pada tertawa.
Randy menambahkan,”yang hari itu pada ribut di depan kampus, sampai satpam langsung tutup pintu kampus”.
Mereka langsung pada tertawa lagi.
“emang enak, trus dokter Dini gimana”,Tanya Rani
Mono langsung menjelaskan,“dia sih nga apa – apa, cuman kaget, waktu ketemu di ruangan bu Siti cuman geleng – geleng kepala sambil sedikit senyum ”.
“ente memang pantes dipanggil bu Siti gara – gara berantem sama kumpulan bencong”,seleroh ibu Cut.
“nga jadideh kencanye”,Mono sedikit memelas.
Mereka langsung pada tertawa lagi.