Try new experience
with our app

INSTALL

Santri Be Happy 

Nanda : Begini Rasanya Jadi Santri

  Sembari menunggu Oyik, aku berjalan mengitari kamar. Terlihat teman-teman masih beres-beres. Memasukan baju di lemari dan menata sprei. Hal yang tidak pernah aku lakukan sama sekali. Sejak kecil hingga dewasa, jarang sekali aku mengerjakan pekerjaan rumah. 
“Sira ora noto baju?” Suara logat Tegal menyapa. 


  Ada yang menepuk punggung. Aku menoleh. Senyum mengembang dari gadis mungil berkulit sawo matang. Teman satu kamar. Kami kenalan, namanya Hasna asli Tegal.
“Nanti saja, aku masih capek perjalanan jauh,” jawabku. Hasna menawarkan diri membantu, kebetulan sekali. Akhirnya kami membuka dua koperku yang penuh dengan baju. “Masyaallah, akeh temen gombale? Ojo akeh-akeh gawane ora cukup lemarine,” ucapnya lagi, sambil berdecak kagum melihat gamis-gamis yang kubawa. Dia menempelkan gamis tersebut di tubuhnya, melenggak-lenggok di depan kaca. Gadis itu memang norak dan lucu. Sepertinya belum pernah lihat baju bermerek terkenal. Muncul ide usilku untuk ngerjain dia. “Hasna, kamu mau pinjam bajuku?” Aku melancarkan serangan. Matanya berbinar, raut wajah Hasna terlihat merona. “ Beneran boleh? Aku pingin pinjam yang itu.” Hasna menunjuk sebuah gamis berwarna pink. Aku hanya mengangguk saja. Dia segera mengambil gamis. Aku mencegah tangannya. “Eit bentar, kalau mau pinjam ada syaratnya!”
“Syarat opo?”
“Kamu bisa baca Alquran?” tanyaku.
“Aku sudah hapal tiga juz,” jawabnya.


  Kubisikan sesuatu di telinganya, supaya tidak kedengaran yang lain. Dia manggut-manggut. Sepertinya setuju dengan syarat yang aku ajukan. Beberapa jam kemudian Oyik datang. Seperti biasa senyum-senyum sendiri. Dia langsung duduk di ranjang sebelahku. 
“Lama amat?” tanyaku.
“Biasa lagi pengarahan dari Bu Nyai,” jawabnya.
“Oh.”


  “Itu koper sudah kosong, tumben bisa beresin sendiri.” Oyik menunjuk dua koper yang sudah kosong terjajar di sebelah ranjang kami. Kami tertawa kecil, membisiki sesuatu pada Oyik. Kami cekikikan berdua. Beberapa pasang mata memandang. Aku menutup mulut, menebarkan senyum paling manis. Kami tertawa karena berhasil memanfaatkan Hasna untuk merekam suaranya saat mengaji. Agar nanti giliran aku untuk tampil di depan ustadzah tidak terlihat bodoh. Maklum karena sampai sebesar ini aku masih saja sampai iqro jilid tiga. 


  Berbekal jam tangan digital iPhoneku, semua jadi mudah. Walau untuk sementara waktu ponsel disita, karena peraturan pesantren. Namun, jam tangan ini masih bisa menyelamatkan. Mana mungkin aku jauh dari sosmed. Rasanya hampa, dong. Tidak bisa apload foto di Instagram. Jam tangan digital ini fungsinya seperti ponsel, walau lebih terbatas layarnya. Nggak apa-apa yang penting masih bisa berhubungan dengan sosial media. Bisa merekam suara Hasna juga. Nanti tinggal pencet saja, sama komat-kamit  ini mulut, biar seolah-olah pinter ngaji.


  Mbak Bubah masuk, membawa lembaran berisi segala tata tertib pesantren. Juga dengan jadwal rutinitas santri sehari-hari. Membacanya saja bikin puyeng. Mana bisa aku harus bangun pukul 03.00 WIB dini hari. Bisa kliyengan ini kepala. Kalau tidak untuk sebuah misi menjadi gadis sholihah, ah ingin rasanya kembali ke rumah saja.


  Hari pertama masih santai. Hanya diisi dengan perkenalan semua ruang dan lingkungan pesantren. Kami berjalan menyusuri semuanya. Dari lorong-lorong hingga kolong semuanya tanpa tertinggal satupun. Menghapal seluruh letak ruang dengan  tujuan agar santri paham seluk beluk pesantren.
 

  Sesekali aku dan Oyik mengambil foto selfi secara sembunyi-sembunyi. Pakai jam digital milikku. Seperti maling saja kita. Namun, demi update status apapun kami lakukan. Mumpung momentnya mendukung. Mata lirak-lirik kesana kemari, begitu aman jepret deh. Pokoknya spesial pakai telor sama daging ini jam tangan. Konon Mama belinya harus pesan dulu. Limited edition katanya. Strategi Mama memang top banget. Sangat membantu sekali. Tidak lupa foto tersebut aku uploud di Instagram dengan hastag #Aku Mondok Gaes.
 

  Kemana aku pergi, Oyik memang bagai buntut cicak yang mengekor. Setelah acara jalan-jalan sekeliling pesantren kami di persilahkan beristirahat di kamar. Ruang yang tidak begitu besar. Ada lima ranjang susun, beserta sepuluh lemari kecil. Satu meja agak besar buat belajar. Bayangkan begitu sumpeknya. Kamar besarnya satu ukuran sama kamarku di rumah. Kali ini untuk sepuluh penghuni.
 

  “Aoww,” jeritku saat badan menyentuh kasur. Seakan tubuh ini langsung menempel ranjang. Walau kasur baru, tapi hanya busa bukan spring bed seperti yang aku miliki. Empuk menul-menul bagai permen Yupi.
 

  Beberapa pasang mata memandangku. Oyik berdiri, dengan sigap memberi penjelasan pada mereka kalau hanya reflek dan tidak terjadi apa-apa. “Busyeet, ini kasur murahan. Bikin badan seksi ini mengalami encok.” Aku berbisik di telinga Oyik. Seperti biasa, hobi nyinyirku keluar.
 

  “Aih, cerewet kamu. Namanya pondok ya seperti ini, biar kamu mandiri. Sudahlah, tidur saja, yuk!” ajak Oyik. Dia mengambil napas dan berbaring di ranjang tepat di bawahku. Akhirnya aku pasrah walau rasanya tidak enak banget. Aku harus bisa memejamkan mata. Sengaja aku memilih ranjang bagian atas. Perhitunganku jika ranjang rapuh dan ambruk masih ada satu lapis di bawah yaitu Oyik.
 

  Kami terlelap di ranjang masing-masing. Seperti biasa aku selalu memakai kaos you can see dan celana pendek kalau tidur. Toh ini juga kamar isinya cewek semua. Gerah rasanya ruangan  tanpa AC. Hanya beberapa kipas angin yang menempel pada tembok. Samar terdengar ada yang mengetuk pintu kamar. Bodo amat masih ngantuk. Lagian kurang kerjaan banget malam-malam ketuk pintu. Aku melanjutkan ngorok, mungkin Oyik juga. 
 

  “Banguuun ... ayo pada bangun saatnya Tahajud dan mengaji.” kudengar suara agak keras. Aku masih cuek saja, tetap tidur. Masih dalam keadaan setengah nyawa yang belum terkumpul. Aku bangun karena tidak kuat mendengar suara bising dan keras.
  “Masyaallah, Nanda ... itu kenapa pakai baju terlihat aurat?!” Ternyata itu Mbak Bubah yang bersuara lantang.  Karena kaget, mataku langsung terbuka lebar. Rasa ngantuk sirna. Aku masih tertegun di atas kasur, tangan reflek mengambil selimut untuk menutupi tubuh.
“Kamu tidak membaca peraturan di sini?” Mbak Bubah kembali bertanya.
“Ba-baca, Mbak,” jawabanku terbata.
“Kalau baca kenapa pakaian kamu begini?”
“Ini kan tidur, Mbak, bukan ngaji. Jadi aku rasa nggak masalah. Kan juga gelap nggak ada yang lihat,” jawabanku membela diri. 
 

  Mbak Bubah dan beberapa kakak kelas geleng-geleng kepala mendengar jawabanku. Aku menunggu pembelaan Oyik, nihil. Awas saja, bakal kupotong uang saku dari Mama. “Sudah, segera pakai gamisnya, semuanya menuju mushola untuk mengaji dan jamaah Subuh,” perintah Mbak Bubah pada kami semua. 
 

  Satu persatu teman satu kamar keluar mengikuti Mbak Bubah menuju mushola yang berada di lantai dua atas kamar santri. Aku dan Oyik yang masih mengantuk berjalan di belakang. Sungguh derita pertama yang harus kujalani. 
Oyik bilang, "nikmati saja, nanti juga terbiasa."
Anak satu itu sok bijak. Gemes aku.
 

  Tak lama kemudian, kami sudah berjejer rapi di mushola. Melakukan sholat tahajud di teruskan mengaji hingga adzan subuh berkumandang. Mushola  pesantren lumayan megah, rapi  dan sepoi-sepoi semilir angin masuk. Aku bagai tersihir. Sambil sholat mata ini perlahan-lahan terpejam. Bodo amat yang penting mengikuti gerakan. Antara tertidur dan setengah terjaga. Kini giliranku mengaji, waduh gawat jam tangan digital lupa nggak kubawa. Untuk mengelabui aku pura-pura serak, nggak bisa mengeluarkan suara. Alhamdullilah strategiku aman. Lancar hingga subuh datang. Kami kembali menuju kamar untuk bersiap-siap mandi dan sekolah setelah selesai melaksanakan ibadah pagi.
 

  Aku harus segera mandi agar tidak mengantri lama. Ada delapan kamar mandi yang saling berhadapan. Aku memilih kamar mandi pojok. Ketika masuk kamar mandi yang sempit, membuatku teringat rumah. Tidak ada shower ataupun bathtub untuk berendam. Haduh bagaimana ini?  Mana bisa aku mandi tanpa berendam?
Kebetulan kamar mandi tersebut ada baknya. Cukup panjang. Lumayanlah untuk berendam. Langsung saja aku jeburkan diri dalam bak. Baru beberapa saat berendam, terdengar suara pintu diketuk.
“Siapa di dalam? Buruan dong gantian!” Terdengar suara orang dari luar.
“Sebentar,” jawabku.
 

  Acara berendam kuakhiri. Susahnya mau mandi, harus gantian dan antre. Aku mengambil handuk, memakai gamis dan keluar dari kamar mandi. Ternyata kakak kelas yang menunggu. Baru saja kaki melangkah meninggalkan kamar mandi, ada panggilan.
“Hei, kenapa air di bak keruh? Kamu tadi ngapain?” 
“Berendam,” jawabku singkat dan berlari meninggalkannya sendiri.
“Akan aku adukkan sama Ustadzah!” teriaknya padaku. 
 

  Bodo amat, begitu saja mengadu. Seperti anak kecil saja. Oyik sang buntut berlari mengejar. Rupanya dia sudah menungguku di bawah pohon jambu dekat area kamar mandi.  Oyik heboh, Dia bertanya tentang air dalam bak. Matanya melotot kaget ketika pertanyaannya kujawab sejujur-jujurnya.
“Nanda, kita pasti akan kena masalah.” Raut wajahnya penuh kekhawatiran. Dia terlalu parno atau baper mungkin.
“Sudahlah, nanti biar Mama yang ngurus!”
 

  Kami menuju kamar untuk berganti seragam. Saatnya sekolah. Aku dan Oyik berjalan menuju gedung sekolah yang berada di balik kamar-kamar. Ruang kelas yang cukup nyaman dan rapi. Ventilasi besar yang membuat suasana segar, ditambah beberapa kipas angin. Nggak terlalu buruk untuk ukuran kelas.
Proses belajar mengajar lancar sempurna tidak ada kendala. Ustadzahnya juga baik. Jadi betah sekolah di sini. Sayangnya aku belum terbiasa dengan situasi pesantren. Masih banyak aturan dan rutinitas yang belum sreg di hati. 
 

 "Yik, ayo Selfi dulu." Aku menggandeng lengan Oyik. Kami berdiri di depan kolam ikan. 
Kuarahkan jam tangan ke atas setelah menyetel waktu. Aku dan Oyik sudah berpose bibir monyong sambil mengacungkan jari jempol. Apes betul, pada saat itu bertepatan dengan Mbak Bubah dan para senior lewat. Mereka melihat kami dengan tatapan menyelidik.
"Serahkan jam tangannya. Sekarang!" Mbak Bubah berkacak pinggang, aku ciut.
Dengan jemari gemetar, aku melepas jam tangan. Menyerahkan kepada Mbak Bubah yang nampak mengerikan.
"Ambil kembali kalau sudah waktunya liburan."
Rombongan pengawas itupun berlalu, meninggalkan aku dan Oyik yang saling bertatapan sendu.
"Nggak bisa medsosan lagi, Yik." Suaraku bergetar.
"Kasian deh kamu, Nda. Nggak bisa pamer lagi."
Aku lemas, Oyik menggandengku menuju bangku kecil di bawah pohon. Kami duduk di sana hingga hati tenang.
***

  Hari ini,  pertama kali aku merasakan yang namanya makan bersama. Para santri sudah antri di aula dapur sesuai kelas masing-masing. Berjajar rapi bagai kondangan. Kami lalu duduk bersila menunggu hidangan datang. Ternyata beginilah perjuangan untuk makan. Hal yang asing bagiku. Keluarlah kakak kelas, mereka membawa tampah makanan di tangan. Tahu kan tampah itu apa? Itu, lho, nampan besar terbuat dari batang pring atau  bambu yang sudah dianyam rapi.
 

  Tampah itu diletakkan di depan barisan kami. Kakak pengawas memberi instruksi kalau jatah satu kamar adalah satu tampah. Kebetulan tampah ruanganku berada tak jauh dari tempat duduk. Para santri baru yang belum mengetahui peraturan segera berpindah tempat. Makanan itu disantap ramai-ramai menggunakan tangan.  Menunya juga sangat sederhana. Nasi urapa beserta tahu, tempe, kerupuk dan ikan asin.


  “Hiks ... ngenes rasanya. Mana bisa anak pengusaha udang windu makan begitu?” gumamku. Tidak ada ayam goreng, pizza, spageti atau daging. Aku pernah mendengar bisik-bisik santri kalau menu  ayam ataupun telor hanya seminggu sekali setiap hari Jumat. Ya Allah bisa kurus kering ini badan seksi. Haduh kenapa begini amat menunya. 
Terlihat kakak kelas dan santri baru yang lain lahap makan dengan penuh suka cita.  Begitu juga dengan Oyik. Dia makan apa saja ya masuk ke dalam perutnya itu. 
Aku ragu, rasanya agak jijik makan bersama seperti ini. Nanti ludah para santri menempel ke makanan, lalu makanan itu kumakan. Hii, ngeri banget membayangkannya. 
Oyik aku senggol, dia menghentikan aktifitas menyuapkan tempe dalam mulutnya.
"Yik, cari makanan di luar, yuk," bisikku pada Oyik.
“Apa ... makan di luar?” Spontan Oyik menjawab, mana kencang pula suaranya.
Segera kubekap mulutnya dengan tanganku. Anak ini memang ember. Percuma aku bisikin kalau jawabnya keras begitu. Kutarik tubuhnya menjauh keluar dari ruang makan pesantren.
“Pokoknya belikan makanan di luar buatku, Yik. Mau nasi bungkus, pizza, burger, terserah kamu. Yang penting ada daging juga ayam goreng!" 
Mata Oyik terbelalak mendengar betapa panjangnya perkataanku. 
"Hah? Serius, Nda. Tapi ... tapi ...."
Jangan membantah atau ....” Aku meletakkan telunjuk di leher dan menggerakkannya seperti menggorok.
“Jangan-jangan, oke aku mau!” Oyik histeris sambil garuk-garuk kepala. “Tapi ... cara keluarnya bagaimana? Bukannya gerbang pesantren selalu terkunci?” 
“Aku cari cara dulu, demi sebungkus makanan,” ucapku.


  Setelah berpikir beberapa saat, aku punya ide. Semoga aman sulaiman. Aku memberi isyarat pada Oyik agar mengikuti. Kami berdua mengendap-endap bagai maling. Sesekali berhenti, menyisir sekeliling memastikan keadaan aman. Tak berapa lama, sampailah di gerbang depan. Tidak terkunci! Benar-benar rezeki.
“Alhamdullilah lancar,” bisikku pada Oyik.


  Perlahan aku membuka gerbang, kira-kira selebar setengah meter. Baru saja kaki kanan berada di luar gerbang, sementara kaki kiri masih tertinggal, ada suara lantang bagai petir di siang hari menggelegar.
“Hai anak baru! Kalian mau kabur, ya?”
Spontan kami menoleh kearah sumber suara. Mulutku mangap, mata tak berkedip. Setitik liur menetes, segera kubersihkan menggunakan lengan baju.
“Sungguh luar biasa, pengusir lapar. Cowok bening, mulus bagai pualam di turunkan langit untukku,” ucapku spontan sambil memerhatikan makhluk sempurna yang berdiri tak jauh dariku.


  Oyik reflek menutup mulutku dengan tangannya. Segera aku empaskan tubuh Oyik, lalu melongo lagi sampai gigiku tanggal. Hahaha. Enggak, Ding, aku hanya mengagumi ciptaan Tuhan yang maha indah. Mata ini memang bisa diajak kerjasama, kalau melihat cowok ganteng, langsung terdepan. 
 

  Kutowel kepala Oyik. Kakinya aku senggol-senggol sementara pandangan masih tertuju pada titisan dewa di depan mata. Lelaki itu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kami yang saling toyor. Di sebelah kiri, tampak sebuah motor terparkir.
“Mau kemana kalian? Jawab!” gertaknya.
“Mau makan di luar,” jawabku. Suara bagai gledek itu terdengar seksi.
“Kembali ke kamar kalian, sudah di sediakan makanan buat apa jajan?” 


  Masih dengan pasang aksi dan berat hati meninggalkan kesempatan mengagumi ciptaan Tuhan, kami akhirnya melangkah masuk menuju asrama. Lelaki bersuara bledek itu menuntun motor sport keluar gerbang. Dia menggembok lagi pintu gerbangnya.
 

  Perutku keroncongan dan dangdutan. Gara-gara tidak nimbrung kepungan nasi di tampah tadi. Menyesal kalau begini. Buat apa duit banyak kalau perut lapar? Misi gagal total. Rasa lezat menu-menu warung hanya tinggal kenangan. 
 

  Sambil berjalan aku bertanya pada Oyik. “Itu cowok siapa sih, galak amat! Untung dia ganteng. Apa dia santri baru juga seperti kita?” tanyaku padanya. “ Entahlah dia siapa, yang jelas aku tadi melihatnya di rumah Bu Nyai Aisyah. Kalau santri kayaknya nggak mungkin. Inikah pesantren khusus putri.” Oyik menjawab. “Iya juga. Angkuh bener dia, awas sebentar lagi aku pacarin itu orang biar tahu rasa. Belum tahu siapa Nanda? Sang penakluk hati laki-laki,” kataku menyombongkan diri sembari berkacak pinggang. Kami tertawa berdua, berjalan menyusuri lorong-lorong pesantren menuju kamar.