Try new experience
with our app

INSTALL

Teman Tak Kasat Mata 

Teman Tak Kasat Mata

Jika ditanya percaya atau tidak dengan hantu, maka aku jawab tidak. Menurutku, hantu atau makhluk halus sejenisnya itu tidak ada. Mereka itu cuma mitos belaka. Lantas, apa yang membuat banyak orang sampai takut dengan hantu? Bukankah sewajarnya kita percaya dengan hal-hal yang tampak nyata?


 

Namun, semua estimasiku seketika berubah saat aku berkenalan dengan seorang teman baru. Dialah yang membuat aku percaya dengan hantu. Dia juga yang menyadarkan aku bahwa sebenarnya hantu itu ada di sekitar kita.


 

Mau tahu bagaimana kisah pertemanan kami? Baik, aku akan ceritakan. Kisah ini bermula saat Bu Wina, wali kelasku, memberi tahu bahwa Olimpiade Sains Nasional (OSN) akan dilaksanakan dua minggu lagi.


 

Aku, Revan, dan Vika terpilih sebagai peserta seleksi OSN. Hal yang tak pernah kusangka akan mendapat kesempatan besar ini. Pastinya, aku sangat senang dan bersyukur bisa terpilih dari banyaknya murid di kelasku. Sayangnya, Vika tidak menyukai keputusan Bu Wina. Menurut Vika, aku tidak pantas ikut dalam ujian seleksi OSN karena beberapa nilaiku di bawah standar.


 

Saat kutanya alasan Bu Wina memilihku, Bu Wina mengatakan bahwa dia melihat aku memiliki potensi untuk mengikuti OSN. Aku sendiri tidak percaya akan kemampuanku. Tidak ingin mengecewakan Bu Wina, aku bertekad untuk belajar lebih giat dari sebelumnya.


 

Ujian seleksi akan dilaksanakan dua hari lagi. Tidak ada waktu untuk berleha-leha. Inilah kesempatan aku untuk membuat Mama bangga sekaligus menunjukkan kemampuanku kepada Vika dan teman-teman yang lain.


 

Pada saat jam istirahat pertama, aku pergi ke perpustakaan. Niatku untuk belajar karena di sana suasananya sangat sepi dan nyaman. Ternyata, aku salah. Tempat yang biasanya dikunjungi beberapa orang, kini penuh dengan siswa-siswi yang belajar. Mereka juga ikut dalam ujian seleksi, sama sepertiku. Tidak ada bangku kosong, aku pun melangkah keluar sambil membawa beberapa buku yang dipinjami Bu Wina.


 

Aku bingung harus belajar di mana selain di perpustakaan. Di ruang guru? Itu tidak mungkin. Di lobi depan sekolah? Jelas, itu juga tidak mungkin. Apa di belakang sekolah? Itulah satu-satunya tempat yang jauh dari kebisingan. Namun, semua siswa dilarang mengunjungi area belakang sekolah karena terkenal angker. Aku yang tidak percaya akan hal-hal mitos seperti itu, begitu berani melangkah ke tempat itu.


 

Suasana memang agak berbeda ketika aku melangkah agak jauh dari sekolah. Sekejap hawa dingin merasuk ke permukaan kulit. Bulu kudukku mulai merinding. Langkahku kian jauh, aura mistis pun kian terasa kuat. Namun, segera kutepis omongan semua orang tentang penunggu sekolah itu sejauh mungkin dari pikiranku. Aku memilih memfokuskan diri untuk ujian seleksi nanti.


 

Kulihat banyak meja dan kursi berukuran panjang yang sudah usang, tetapi masih tersusun rapi di punggung gudang. Aku pilih yang masih bagus, lalu aku bersihkan debu dan jaring laba-laba dengan sapu tangan yang selalu siap di dalam saku baju.


 

Setelah selesai, aku duduk dan membuka buku. Ternyata, Bu Wina sudah menandai poin-poin penting dengan pensil agar aku gampang mempelajarinya. Saat kubuka lembar berikutnya, selembar kertas terjatuh ke tanah. Aku pun memungutnya dan menyelipkannya ke lembar kertas bagian belakang.


 

Deg.


 

Sejenak aku mematung dengan dahi yang berkerut. Eh, apa aku salah lihat, ya? Kok, bisa ada sepasang kaki? Sejak kapan ada orang duduk di sampingku?


 

Aku menoleh perlahan, menatap orang itu. Ternyata, dia seorang perempuan dengan rambut sebahu. Dia juga memakai seragam yang sama denganku. Itu berarti dia juga murid di sekolah ini. Namun, mengapa dia hanya diam? Bahkan, dia tidak menyapaku sama sekali.


 

Aku pun berbasa-basi. "Hai! Kamu siapa?"


 

Perempuan itu menoleh ke arahku sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Keningku sedikit berkerut. Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya, tetapi bagaimana mungkin dia bisa ada di tempat ini?


 

"Kenalan, yuk! Namaku Elena. Nama kamu?"


 

Setelah sekian detik tidak bersuara, dia tersenyum kecil dan menjawab, "Mia. Itu namaku."


 

"Senang bisa kenalan sama kamu, Mia. Oh, ya. Kamu, kok, ada di sini? Apa kamu juga belajar seperti aku?"


 

Kepalanya menggeleng. "Aku suka duduk di sini. Sepi, nggak ada yang ganggu. Kamu sendiri, kenapa belajar di sini?"


 

"Sebenarnya, aku mau belajar di perpustakaan, tapi ramai. Nggak ada bangku kosong, makanya aku duduk di sini."


 

"Emangnya, kamu nggak takut sama hantu penunggu sekolah?"


 

Aku tergelak mendengarnya. "Apa yang harus ditakutin, Mia? Hantu itu nggak ada. Menurut aku, orang-orang aja yang terlalu berlebihan. Aku dari tadi duduk di sini, tapi nggak lihat ada satu pun hantu yang lewat. Kamu sendiri nggak takut sama hantu?"


 

"Elena!" Seseorang memanggilku dari kejauhan. Tanpa menoleh pun, aku tahu pemilik suara itu adalah Revan, teman sekelasku. Saat aku menoleh, Revan sedang berlari menghampiriku.


 

Revan yang sudah berdiri di depanku, sedikit membungkuk sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Aku pun bertanya, "Revan, ngapain kamu juga ada di sini? Apa kamu mau belajar bareng aku?"


 

"Aku nyariin kamu ke mana-mana, Len. Ternyata, kamu ada di sini," balas Revan terputus-putus. "Kamu diminta Bu Wina ke ruangannya."


 

"Untuk apa?" tanyaku dengan dahi berkerut. Apa Bu Wina mau pakai buku ini, ya? Duh, aku belum selesai mempelajarinya! "Oke, deh. Aku akan menemui Bu Wina nanti."


 

"Bu Wina nyuruh sekarang, bukan nanti. Cepat, gih."


 

Saat aku menoleh untuk berpamitan, Mia sudah tidak ada di sampingku. "Lho, dia pergi ke mana? Cepat banget ngilangnya."


 

"Dia? Siapa, Len?"


 

"Tadi aku lagi ngobrol sama teman baru. Mia namanya."


 

"Ngobrol sama teman? Kamu salah, nggak? Pas aku manggil kamu tadi, aku lihat nggak ada siapa-siapa di samping kamu."


 

"Aku benar, Rev. Kalau kamu nggak percaya, nanti aku kenalin dia ke kamu."


 

Revan tiba-tiba bergidik. "Apa jangan-jangan dia itu ... hantu penunggu sekolah?"


 

Aku menepis pendapat Revan. Aku tetap yakin dalam hati bahwa hantu itu tidak ada. Aku berdiri. "Aku ketemu sama Bu Wina dulu. Kamu di sini aja. Siapa tahu bisa kenalan sama hantu penunggu sekolah," candaku sambil menertawakan ekspresi Revan yang ketakutan.


 

***


 

Esok harinya, aku pergi ke belakang sekolah. Tujuannya tetap sama, yaitu belajar untuk mengikuti ujian seleksi OSN.


 

Ketika aku ingin duduk di tempat yang kemarin, Mia sudah lebih dulu duduk di sana. Aku pun menghampirinya. "Hai, Mia! Kamu udah lama di sini?"


 

"Baru aja."


 

Aku duduk di sebelah Mia sambil memperhatikannya. Aku masih heran kenapa Mia mau duduk sendirian di sini. Apa dia orangnya pemalu atau tidak ada yang mau berteman dengan dia?


 

"Kamu pasti murid yang pintar. Buktinya, kamu belajar giat sekali."


 

Ingin rasanya aku membantah pujian Mia. Dia tidak tahu saja bagaimana nilai-nilaiku di kelas. Terpilih untuk seleksi OSN ini pun karena Bu Wina.


 

"Makasih, Mia. Sebenarnya, aku giat belajar seperti ini karena aku terpilih untuk mengikuti ujian seleksi OSN. Aku nggak nyangka bisa terpilih. Padahal, aku sering mendapat nilai di bawah standar. Kata Bu Wina, aku bisa terpilih karena aku punya potensi untuk mewakili sekolah walaupun aku sendiri nggak yakin dengan hasilnya nanti. Takut mengecewakan Mama dan pihak sekolah."


 

"Kalau kamu bersedia, aku akan membantu kamu saat ujian nanti."


 

Mataku terbelalak. "Kamu bercanda? Gimana caranya?"


 

"Tapi, kamu juga harus bantu aku, ya."


 

Aku mengerutkan dahi. Ternyata, dia nggak ikhlas mau membantu aku. Ada balasannya. "Bantu apa, Mia? Aku akan membantumu semampuku."


 

Tampak wajah Mia begitu semringah. Senyumnya pun melebar. Mengapa dia sampai sebahagia itu saat aku bersedia membantunya? Memangnya, dia butuh bantuan apa dariku?


 

"Aku akan kasih tahu kamu nanti."


 

***


 

Tiba waktunya ujian seleksi OSN. Para peserta dari semua kelas sudah berkumpul di aula sekolah. Di sana juga sudah disediakan meja dan kursi. Jantungku deg-degan menanti guru pengawas memberikan soal. Dari semalam, aku tidak bisa tidur nyenyak gara-gara terus kepikiran hari ini. Semoga saja aku bisa menjawab semua soal.


 

Setelah guru pengawas sudah membagi lembar soal dan jawaban ke semua peserta, aku membacanya sekilas. Tiba-tiba tanganku yang memegang pulpen, gemetar. Otakku pun mendadak lupa akan semua materi yang sudah kupelajari. Apa usahaku selama dua hari ini akan gagal? Bu Wina dan Mama pasti akan kecewa berat padaku.


 

"Kamu tenang aja, Elena. Aku akan memberitahumu semua jawabannya," bisik Mia di telingaku.


 

Aku terperanjat melihat kehadiran Mia yang tidak tahu-menahu sudah ada di sampingku. Aku memperhatikan ke sekeliling. Tampak guru pengawas sedang sibuk menulis. "Kamu harus cepat keluar dari sini, Mia! Nanti ketahuan guru pengawas, gimana?" ucapku dengan suara pelan.


 

Mia bukannya cemas, malah senyum-senyum. "Kamu nggak usah mikirin hal itu. Mereka nggak akan tahu aku ada di sini. Sekarang fokus aja ke soal ujian kamu. Ikuti jawaban aku, kamu pasti lolos!"


 

Aku masih bingung dengan Mia. Bagaimana mungkin orang-orang tidak mengetahui kehadirannya di aula ini? Jelas-jelas dia ada di sebelahku. Benar-benar aneh!


 

Tak ingin waktu habis, aku pun segera mengisi jawaban sesuai yang diberi tahu Mia. Aku tidak tahu benar atau salah, yang penting semua soal sudah terjawab. Bagaimana hasilnya nanti, aku serahkan kepada Tuhan. Biar Tuhan yang menentukan siapa saja yang lolos dan mewakili sekolah ke OSN tingkat kota.


 

***


 

Satu minggu kemudian, hasil ujian itu sudah ada. Bu Wina masuk ke kelas dan mengumumkan hasilnya kepada kami. "Sebelum Ibu sebut nama peserta yang lolos, Ibu ucapkan selamat. Meski kalian lolos atau tidak, kalian sudah berusaha dan giat belajar. Seperti yang kalian tahu, ada tiga orang yang terpilih sebagai peserta ujian seleksi OSN. Namun, peserta yang lolos hanya satu. Ibu pun kaget pas melihat hasil ujiannya. Benar-benar di luar dugaan Ibu!"


 

Meski aku nggak berharap bisa lolos, aku cukup deg-degan dengan hasilnya. Kira-kira siapa yang dimaksud Bu Wina, ya? Aku, Vika, atau Revan yang lolos?


 

"Sebut aja sekarang, Bu. Aku penasaran. Apa aku orangnya?" Vika begitu percaya diri. Dia memang murid terpintar di kelasku. Dia selalu mendapat peringkat satu. Tidak hanya dia, aku pun yakin dia yang lolos.


 

Bu Wina tampak tersenyum ke semua orang. Namun, matanya justru menatapku. "Elena. Dia lolos dan berhasil mewakili sekolah. Selamat, ya, Elena! Ternyata, pilihan Ibu tidak meleset. Nilai ujian kamu sungguh sempurna. Kamu hebat! Ibu bangga padamu. Semoga kamu juga bisa memenangkan OSN di tingkat kota supaya kamu bisa ikut ke tingkat provinsi."


 

Semua pasang mata langsung tertuju padaku. Mereka menatapku begitu horor, seakan-akan ingin menerkamku. Aku jadi bingung harus merasa senang atau sedih. Di satu sisi, aku senang bisa lolos ujian seleksi sekaligus mewakili sekolah. Inilah yang aku impi-impikan selama ini dan pastinya bisa membuat Mama bangga akan prestasiku. Di lain sisi, kelolosanku ini bukan karena hasil usahaku sendiri, melainkan Mia yang membantuku. Meski tidak ada yang tahu hal ini, aku harus mengucapkan terima kasih kepada Mia. Dia yang sudah membuat aku berada di posisi ini, tetapi bantuan apa yang dimaksud Mia saat itu, ya? Aku harus pergi mencarinya.


 

***


 

Sepulang sekolah, aku cepat-cepat ke belakang sekolah mencari Mia. Entah kenapa, aku merasa dia ada di sana meski sebenarnya aku tidak tahu dia ada di kelas berapa. Dugaanku benar. Mia memang ada di sana dan duduk di tempat yang sama saat kami bertemu pertama kali.


 

Aku berjalan mendekatinya. "Mia."


 

Mia menoleh, lalu berdiri sehingga posisi kami saling berhadapan. Dia tersenyum. "Aku dengar kamu lolos saat ujian minggu kemarin. Selamat, ya."


 

"Kamu ... sudah tahu soal itu? Aku baru aja mau kasih tahu kamu. Terima kasih, ya. Kamu sudah bantu aku."


 

"Itu berarti kamu harus bantu aku juga, Elena."


 

"Memangnya, kamu mau aku bantu apa?" tanyaku, penasaran. Tiba-tiba Mia menghilang dan muncul di hadapanku.


 

"Aku ingin meminjam tubuhmu," bisiknya, lalu menghilang entah ke mana.


 

Aku terbelalak melihat Mia bisa berpindah tempat begitu cepat, lalu lenyap. Apa itu artinya Mia adalah hantu penunggu sekolah yang digosipkan guru dan teman-teman?Aku jadi ingat saat pertama kali kami kenal. Dia menanyakan aku takut atau tidak dengan hantu. Ternyata, dia sendiri yang menjadi hantu itu. Jadi, hantu itu benar-benar ada dan aku melihatnya langsung? Apa aku sedang bermimpi? Kucubit pipiku sekeras mungkin, "Aww ...." Sakit, aku tidak bermimpi. Ini nyata. Eh, tunggu. Dia bilang mau meminjam tubuhku? Untuk apa?


 

***


 

Olimpiade Sains Nasional (OSN) dilaksanakan di aula utama Kantor Dinas Pendidikan. Ratusan peserta dari berbagai daerah sudah memenuhi kursi yang tersedia. Kali ini, aku tidak gugup seperti saat mengikuti ujian seleksi karena aku bersama dua orang dari kelas lain yang juga satu jurusan denganku.


 

Kuedarkan tatapanku ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Mia. Bahkan, saat aku dan dua temanku sedang mengerjakan soal pun, Mia tidak tampak. Ada apa, ya?


 

Setelah selesai mengerjakan soal, kami diminta menunggu tiga jam untuk mengetahui hasilnya sebelum lanjut ke tahap berikutnya. Aku memilih duduk di taman sambil memainkan ponsel. Tanpa kuduga, Bapak Kepala Dinas Pendidikan menghampiriku.


 

"Kamu yang namanya Elena?"


 

"Iya, Pak," jawabku dengan kerutan di dahi, lalu kutanya lagi, "Dari mana Bapak tahu nama saya?"


 

"Dari bet namamu."


 

Aku melirik ke seragam yang kupakai. Ah, iya. Di seragamku, kan, ada bet nama. Mengapa aku jadi pelupa seperti ini?


 

"Bapak ada keperluan apa menemui saya?"


 

"Bapak dengar nilai ujian saat kamu seleksi itu mendapat nilai sempurna. Bapak salut sama kamu. Jarang-jarang, lho, masih ada murid yang seperti kamu."


 

"Terima kasih, Pak. Memangnya, sebelum saya, masih ada yang juga mendapat nilai sempurna?"


 

Raut wajah Bapak itu mendadak sendu. "Ada, mendiang putri Bapak. Namanya Mia. Dulu dia juga bersekolah di sekolah yang sama denganmu."


 

Mataku melebar. Jadi, Mia yang kukenal adalah anak Bapak ini. Lalu, mengapa dia jadi gentayangan di sekolah?


 

"Kalau boleh saya tahu, putri Bapak meninggal karena apa?"


 

Air mata menetes di pipi Bapak itu. "Mia adalah putri Bapak satu-satunya. Dia meninggal karena kecelakaan saat mau pergi ke tempat ini untuk mengikuti olimpiade. Bapak masih tidak percaya bahwa Mia sudah pergi meninggalkan Bapak untuk selamanya."


 

Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Bapak ini. Pasti hatinya sangat hancur karena kehilangan belahan jiwanya. Entah sejak kapan, Mia sudah berdiri di sampingku. Wajahnya tampak berbinar seraya menatap ayahnya. Mungkinkah ini yang diminta Mia padaku?


 

Mia menatapku, penuh harap. "Bolehkah aku meminjam tubuhmu? Sebentar saja."


 

Hatiku ikut pilu. Mia pasti sangat merindukan ayahnya. Aku pun mengangguk, lalu tatapanku beralih ke Bapak itu.


 

"Sebenarnya, Mia ada di dekat Bapak. Dia sangat ingin berbicara dengan Bapak. Apa Bapak siap?"


 

"Siap. Bapak sangat siap. Di mana dia?"


 

Sesaat kemudian, Mia masuk ke tubuhku dan aku tidak tahu lagi setelah itu. Ketika aku tersadar, entah apa yang mereka bicarakan, Bapak itu sedang menangis sesenggukan. Aku melihat Mia tersenyum padaku.


 

"Elena, terima kasih atas bantuanmu. Kamu sangat baik. Aku senang bisa berkenalan denganmu. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang."


 

Belum sempat aku mengatakan sesuatu, Mia sudah menghilang. Hatiku ikut senang bisa membantu Mia, mempertemukan dia dengan ayahnya.


 

"Pak, Mia sudah pergi. Dia senang sekali bisa bertemu dengan Bapak."


 

"Terima kasih kamu sudah mempertemukan kami lagi. Sekarang hati Bapak benar-benar lega. Bapak juga sudah mengikhlaskan kepergian dia." Bapak itu beranjak berdiri sambil mengusap air mata. "Sekali lagi, terima kasih, Elena."


 

Aku ikut berdiri. "Sama-sama, Pak."


 

***


 

Semua tahap olimpiade sudah selesai. Sekolah kami mendapat juara dua. Meski tidak mendapat juara satu, aku sangat bersyukur. Saat ini, aku pergi ke belakang sekolah. Berharap bisa bertemu dengan Mia. Namun, dia tidak tampak di kursi seperti biasanya. Mungkin setelah bertemu dengan ayahnya, dia tidak lagi ada di sini.


 

"Elena, lagi-lagi kamu di sini."


 

Aku tersenyum melihat kepanikan di wajah Revan.


 

Revan melihat ke sekitar. "Kamu nggak takut sama hantu penunggu sekolah? Kalau mereka muncul, bisa-bisa kamu lari terbirit-birit. Sebaiknya, kita segera pergi dari sini. Bu Wina memanggilmu."


 

"Hantu itu sudah tidak ada lagi. Kamu tenang aja."


 

"Kamu tahu dari mana? Emangnya, kamu bisa lihat mereka?"


 

"Nggak cuma bisa lihat, aku juga kenal sama si hantu," jawabku santai sembari berjalan menuju ruang guru.


 

"Kamu ... anak indigo?"


 

Aku tertawa kecil. Entahlah, aku sendiri tidak tahu kenapa bisa melihat, mendengar, dan berbicara dengan hantu. Mungkin karena aku tidak takut dengan makhluk halus.


 

Sekarang aku jadi tahu satu hal. Mia gentayangan bukan karena ingin mengganggu murid-murid di sini, melainkan ada sesuatu yang terpendam sehingga dia tidak bisa pergi dengan tenang.


 

Selamat jalan, Mia. Semoga kita bisa bertemu lagi di kehidupan yang lain.


 

***


 

TAMAT