Try new experience
with our app

INSTALL

Santri Be Happy 

Oyik : Santri Ngesot

  "Yakin kamu mau masuk pesantren?!" Suaraku naik beberapa oktaf, membuat gadis berkucir ekor kuda di depan sedikit melonjak. "Demi cangcut Suparmin beneran aku mau masuk pondok." Nanda melanjutkan acara nyemil ceker ayam bumbu balado yang tertunda. "Kesambet apa kamu, Nda. Bukannya kamu itu yang paling males sholat, ngajinya juga masih setia pada jilid tiga Iqro, pakai baju juga masih acakadul gitu sukanya hot pants sama you can see ketek kok berani-beraninya mau masuk pesantren." Aku makin berbusa-busa, mencoba menasihati sahabat sejak TK supaya menggagalkan rencananya.


  Nanda masuk pondok, aku khawatir nggak akan nemu sahabat royal seperti Nanda. Siapa yang akan traktir di cafe? Siapa yang akan ngajakin nonton bioskop film serem ahsoy macam Kuntilanak Mesum? Gawat. Gawat. Aku akan memakai segala cara supaya rencana Nanda gagal total. "Konon sekarang itu akhir zaman, Yik. Aku nggak mau dong jadi gadis yang merugi. Mumpung masih perawan, aku mau memperbaiki diri di pesantren. Mama juga sudah setuju."


  "Terus pacar terbaru kamu Kak Faleandra mau dikemanain?”  "Kamu pungut aja nggak apa-apa. Aku udah nggak ada rasa sama dia." "Aku berdecak. "Nda, apa kamu sudah siap dengan kehidupan pesantren? Aku pernah dengar di sana masakannya nggak enak, tidurnya barengan sebatalyon, mandinya antri kek sepur oleng, trus jadwalnya padat banget sampe bernapas aja susah. Enggak, Nda!" "Aku siap, Yik. Apapun akan kujalani demi masuk pesantren. Niatku sudah bulat, nggak bisa ditawar lagi. Oiya, Mama suruh aku menyampaikan ke kamu, apa kamu mau sekalian mondok bareng aku? Gratis dibiayai sama Mama."


  Aku menyibakkan rambut lurus sebahu ke belakang, lalu berkedip lima kali. Selama ini memang aku banyak mendompleng pada keluarga Nanda--keluargaku cukup misqueen, Ayah driver ojek online dan Ibu jualan buku online juga--, nggak mungkin keluargaku sanggup menyekolahkan di pesantren. Palingan aku disuruh masuk SMU negeri cari gratisan.
"Beneran, Nda?" 
Nanda mengangguk semangat. "Plus dikasi duit saku tiap bulan minimal lima ratus ribu."
Mataku langsung abang-ijo, "Yes! Aku mau. Di mana ada kamu di situ ada aku."
Horeee. 


  Kami berpelukan erat. Nggak peduli bumbu balado nempel-nempel di rambut. Nggak apa-apalah, sekolah di mana pun sama saja, yang penting dapat ijazah. Selama ini memang Tante Siska mamanya Nanda yang memberiku beasiswa. Tante Siska pengusaha di bidang ekspor-impor udang windu yang konon omsetnya ratusan juta rupiah tiap bulan. Nggak perlu waktu lama buat minta izin Ayah dan Ibu. Mereka percaya pada Tante Siska yang kebetulan mantan pacar Ayah dulu dan bersahabat dengan Ibu. Yah, sebuah hubungan orang dewasa yang rumit. Bagaimana bisa mantan ketemu mantan dan anak mantan saling bersahabat.  Au ah pusing. 


  Semua perlengkapanku dibelikan oleh Tante Siska. Buku, tas, sepatu, baju gamis, kerudung, seragam, hingga pendalamannya. Sekaligus dengan nama yang sudah terbordir rapi, melekat pada setiap baju dan pedalaman. Aman terkendali nggak akan keliru dengan santri lain. 
Ketika hari H, orang tuaku ikut mengantar, nebeng mobilnya Tante Siska. Mereka mendaratkan kecupan basah di kening dan pelukan erat yang mampu meretakkan tulang rusuk saat tiba perpisahan. 
Ibu menangis berderai-derai. ”Oyik, jadi anak baik, ya. Jangan petakilan. Jaga Nanda baik-baik. Awas kamu kalau nakal." 
Heleh, gitu amat nasihat Ibu. 
"Iya, Bu. Tenang saja. Aku akan jadi anak kebanggaan Ibu."
"Hati-hati, jangan sampai jatuh, ya." Ibu menyentuh lututku yang berbalut rok hitam. 
"Siap, Bu."


  Lagi-lagi Ibu memelukku. Para orang tua pulang sambil menyeka air mata setelah menyerahkan anak-anaknya pada Pondok Pesantren Putri Khadijah di daerah Bangil. Bersih. Mataku menyisir area pesantren saat mengikuti langkah Mbak-Mbak panitia murid baru menuju ke aula. Bangunan tiga lantai yang didominasi warna hijau, taman-taman cantik yang dilengkapi kolam ikan mungil serta air terjun mini membuat pesantren ini tampak adem.
 

  Aku langsung jatuh cinta! Apalagi Mbak-Mbak berwajah bening yang menyambut kami sangat sopan dan murah senyum. Membuat hati yang awalnya deg-deg ser jadi tenang. Kami mengikuti pengarahan, lalu para santri baru dibimbing ke dalam kamar yang terletak di belakang gedung sekolah.  Kamar-kamar saling berhadapan. Setiap kamar dihuni oleh sepuluh santri. Payung warna-warni yang instagramable diletakkan di atas ruas jalan selebar enam meter. Sebelum masuk area kamar, alas kaki wajib dilepas dan dijajar rapi serapi ikan asap. Deretan bunga aneka warna dan kerikil putih juga kolam ikan terhampar di sepanjang jalan.Serasa di hotel pokoknya, cakep banget. Yakin aku pasti betah berada di sini. Aku melirik Nanda, dia rupanya juga tercenung-cenung dengan keindahan pesantren ini. 


  Sesampainya di kamar, kami merapikan barang bawaan sesuai nomor ranjang masing-masing. Tiap anak mendapat satu kasur, satu lemari plus cantolan baju. Dengan cepat aku merapikan barang bawaanku. 
"Adik, siapa namamu?" Seorang Mbak berwajah bening bertanya padaku.
"Saya Oyik, Mbak. Kalau Mbak sendiri siapa?" 
"Panggil saja Mbak Bubah. Kamu cekatan banget, cocok buat kandidat pengurus kamar. Mau?" 
Aku menoleh ke Nanda. Ia hanya mengendurkan bahu yang artinya kira-kira begini : terserah kamu, aku nggak maksa, kalau aku sih ogah banget repot jadi pengurus kamar.
"Iya, Mbak. Mau." 
Mbak Bubah tersenyum, memperlihatkan ceruk dalam pada kedua pipinya. Alamak meleleh hatiku. Tiba-tiba ada teman Mbak Bubah datang, dia bilang Nyai Aisyah memanggil. 
"Ayo ikut aja, Dik Oyik. Jarang-jarang Nyai memanggil." 
Lagi-lagi aku melirik Nanda. Mulutnya monyong, dia mengusirku dengan gerakan tangan. Hush hush. Pertanda direstui.
Semangat mengekori Mbak Bubah keluar kamar menuju rumah megah yang berada di samping gedung sekolah. Setelah melepas sandal di teras, alangkah kagetnya aku melihat Mbak Bubah langsung berlutut. Ehem, tepatnya dia meletakkan kedua lututnya di lantai dan masuk ke dalam rumah dengan menggunakan lutut. Dia berjalan dengan anggun pakai lutut, menempelkan kedua tangannya di atas paha. Termenung agak lama, aku garuk-garuk ujung hidung yang penuh komedo nakal. Operasi tempurung lutut kiri akibat kecelakaan dua tahun lalu masih menyisakan nyeri. Nggak kebayang harus memakainya buat jalan. 


  Mbak Bubah menoleh, ia memberikan kode lewat kedipan mata berulang. Pasrah. Bermodal Bismillah, mulai kutekuk kedua kaki. Lutut kanan aman, nggak sakit saat menyentuh lantai. Lutut kiri, uuugh. Oh ternyata aman, nyeri dikit nggak apa-apa.  Ketika berat badan diambil alih lutut, aku merasakan sensasi lain. Apalagi saat berjalan perlahan, rasanya lutut kiriku berdenyut. Demi menghormati adat dan tata cara santri, aku berusaha setegar karang mencoba berjalan. Pada langkah ke delapan, ledakan panas tak tertahankan. 


  Menyerah bukan berarti kalah. Sedikit kuluruskan lutut kiri supaya nggak jadi tumpuan, kuganti dengan kekuatan kedua tangan yang menempel pada lantai porselen putih. Kembali aku berjalan di belakang Mbak Bubah menggunakan lutut kanan dilanjutkan kedua tangan menyeret tubuh. Yah, aku menjelma menjadi semacam santri ngesot gitu.
Kawan, cobaan ini sungguh berat kurasa. Kalau nggak percaya, coba kalian praktekkan. Wanita senja bermata sayu keluar dari balik selambu warna peach, Mbak Bubah masih berjalan bak putri menggunakan lutut dan menghampirinya. Meraih jemari Nyai. Mengecup punggung tangan keriput itu tiga kali. Belakang, depan, belakang. Cup cup muah. Dibolak-balik jemari itu biar matang merata.
 

  Mungkin itu Bu Nyai Aisyah, istri pemilik pesantren ini. Beliau berkerut-kerut saat melihat cara berjalanku seperti cicak merayap. Mbak Bubah sepertinya penasaran kok Nyai senyum-senyum nggak jelas. Dia menoleh kebelakang, memerhatikan tubuhku yang sudah seperti persiapan lari sprint gagal bergetar karena malu.
"Siapa itu, Nduk?" tanya Nyai  Aisyah syahdu.
"Dia santri baru, Nyai." 
"Kenapa kakimu, Nduk?" Nyai Aisyah bertanya padaku.
"Lutut saya pernah operasi, Nyai." jawabku kelu.
 

  Tak disangka, Nyai Aisyah menghampiriku perlahan. Beliau meletakkan tangan kanannya di atas ubun-ubunku seraya berkata lembut, "Alhamdulillah, Nduk. Semoga Allah menjadikanmu wanita soliha, wanita sabar dan tegar dalam menghadapi hidup." Entah kenapa, hati terasa bergetar hebat. Aku nggak pernah didoakan selantang itu. Ada sebuah kehangatan mengalir dalam tubuh. Sebuah kedamaian yang belum pernah kurasakan. Serta-merta aku memeluk kaki Nyai Aisyah erat-erat, menangis haru  sampai ingus meleleh. Sekalian aku usapin ke gamis Nyai. 
 

  Saat itulah aku berjanji, akan mengabdi pada pesantren ini dengan sebaik-baik pengabdian. Meskipun lututku nggak sempurna, nggak bisa dipakai ngesot berjalan, tetapi aku yakin, dibawah bimbingan Nyai yang penuh aura ini hidupku akan baik-baik saja. 
Sekali lagi aku menyerut ingus pakai gamis Nyai. Lega sekali, hidung terasa plong. Tiba-tiba telingaku yang punya kelebihan pendengaran ini menangkap bunyi nggak sopan. Suara kikikan lelaki.
 

  Apa ada Pak Kunto, suami Mbak Kunti di dalam rumah Nyai? Untuk memastikannya, aku mendongakkan kepala, mencari asal tawa.  Pandanganku tertumbuk pada seraut wajah putih bersih berhidung Bangir yang duduk di sofa pojok. Mata kami bertemu, alis tebal pemuda itu naik sebelah.  Aish gantengnya. Dengan cepat kegantengan itu luntur saat dia memasang ekspresi wajah muak. Fiks aku nggak mau dekat-dekat lelaki songong itu.  Mataku makin terbelalak saat dia menggerakkan jari telunjuknya di bawah hidung. Baru kusadari rupanya ingus bening telah meleleh hingga melewati bibir. Asin.
Wanja ... Astaghfirullah.