Try new experience
with our app

INSTALL

Symphony Cinta Masa Lalu 

Kenangan

  Jogja, 2020. Teriak seorang gadis memecahkan lamunan dan tatapanku dari kotak usang yang tidak sengaja ku temukan tadi. Kemudian gadis itu masuk ke dalam kamarku, sontak aku melempar kotak itu agar tidak terlihat olehnya.


  “Ma..are you okay? Bella daritadi panggil mama gak denger sih, Bella berangkat ya ma, udah telat.” Katanya sembari menyodorkan tangannya lalu mengecup kedua pipiku. Gadis cantik itu adalah anakku, usianya kini sudah 18 tahun, kuliah di jurusan seni. Huh..Apa hanya aku yang merasa waktu cepat sekali berlalu? Perasaanku, foto dalam kotak ini baru saja terjadi kemarin. Foto yang menyimpan banyak kenangan yang sebenarnya harus aku lupakan tapi tidak bisa. Kenangan itu begitu membekas diingatanku..
Aku meneguk teh sambil menatap langit cerah diluar sana melalui jendela rumahku. Langit cerah itu pun mengingatkanku dengan pertemuan pertama kami. Pertemuan pertamaku dengan cinta pertamaku, dengan pria yang ada di dalam foto kenangan itu.


  Jogja, 1996. Dibawah langit cerah Jogja, aku menyusuri jalan setengah berlari berharap hari pertamaku kuliah tidak akan menyebabkan masalah. Entah kenapa aku tidak bisa bangun tepat pada waktu alarm ponselku berbunyi. Namun semuanya sudah terjadi, akhirnya aku terlambat dan tidak diperbolehkan masuk kelas yang pada saat itu dosenku cukup ketat dan disiplin dengan peraturannya yang berujung aku harus menunggu diluar kelas. Aku yang mudah bosan memutuskan untuk berkeliling gedung kampus, sampai aku mendengar alunan musik yang begitu halus masuk ke dalam telingaku.

 

  Aku menghampiri alunan musik itu, membiarkan celah pintu yang tadinya sedikit terbuka menjadi setengahnya sudah terbuka tanpa sadar seseorang yang sedang memainkan piano itu berhenti dan menatapku tajam.


“Kalau mau masuk tolong diketuk pintunya.” Katanya sinis menatapku sesaat lalu tampak sudah bersiap ingin pergi.
“Mau kemana? Kenapa tidak dilanjutkan?” kataku ingin menahannya yang sesungguhnya aku ingin dia memainkan kembali alunan pianonya. Namun dia pergi tanpa menjawab dan tanpa sapa.
“Namaku Lerina. Sampai bertemu lagi.” Aku meneriaki dia agar terdengar dan masuk ke dalam ingatannya meskipun dia sudah berjalan cukup jauh.


  Mengingat kenangan itu, membuat hatiku kembali berdebar. Apakah dia juga sedang melakukan hal yang sama dengan yang sekarang ku lakukan?

 

***