Jam istirahat tiba. Seperti biasa aku menghabiskan waktu di taman belakang sekolah. Terlihat Kak Iky duduk lesu di bawah pohon beringin. Dia kenapa ya? Rasa penasaran membuatku mendekatinya. 

 "Kamu kenapa? Kok sedih?" 

 "Hari ini hari terakhirku sekolah di sini. Besok udah pindah ke Betawi lagi."

"Betawi tuh di mana?" 

 "Jakarta."

"Wah, asyik dong ke Jakarta. Aku aja dari dulu pengen ke Jakarta gara-gara lihat sineton yang Mama tonton setiap hari."

"Asyik gimana, di sana belum tentu bisa menemukan sahabat sebaik kamu. Kalau aku rindu kamu gimana?"

 Aku juga sedih. Kalau Kak Iky pergi artinya aku nggak ada teman lagi. Namun, aku nggak ingin menangis di depan Kak Iky. 

 "Nggah usah. Aku yakin kamu akan menemukan teman yang lebih baik dariku." Aku mencopot kalung kesayangan berbandul huruf R. Lalu memberikan kalung itu Kak Iky. "Ini buat kamu, kalau kamu rindu aku, lihat kalung ini aja. Aku yakin sebelum umur 25 tahun kita pasti akan bertemu lagi."

 ***

 Mataku berkaca-kaca melihat kado anniversary satu tahun dari Riant Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Aku nggak sanggup berkata-kata lagi. Dia memberikn cincin serta kalung. 

 "Maaf ya, aku cuma bisa memberikan kalung dan cincin perak. Gaji pertamaku cuma cukup buat beli itu. Nanti kalau gajiku naik, aku belikan yang emas beneran. Tolong dijaga sampe kita nikah ya."

"Ya ampun, Yang. Ini aja udah lebih dari cukup kok. Aku makin sayang deh sama kamu," ucapku manja. 

 ***

 Kring ...! 

 Bunyi gaduh jam beker membikin mataku terbuka. Barulah aku sadar tadi itu mimpi. Sial. Kenapa saat aku sudah yakin dengan pilihanku malah dikasih mimpi Riant dan Mas Rizky secara bersamaan. Aku jadi galau lagi. 

 Aku memandangi jam beker yang berisik tadi. "Hah? Udah jam 7? Soal cowok singkirkan dulu. Mending kerja aja dulu sampe tetangga mikir jadi simpanan Om-Om."

 ***

 "Mama? Ngapain ada di sini?" Betapa terkejutnya aku ketika melihat Mama sudah di teras. Terlebih di sebelah Mama ada dua koper besar. Firasatku ada yang beres. 

 "Emang nggak boleh Mama ke sini nengokin anaknya? Kamu sih tahun ini nggak mudik."

"Kan lagi pandemi, Ma. Ribet rapid tes. Mama ngapain sih jauh-jauh dari Lampung ke Yogyakarta. Pasti terjadi sesuatu nggak beres."

 Pletak! 

 Mama menjitak kepalaku. Aku mengusap sambil meringis. "Apaan sih. Masih aja jitak kepaku."

"Lagian jadi anak suuzonan aja sama orang tua."

"Bukan suuzon Ma, yang sudah-sudah Mama ke Yogya kalau nggak lagi berantem sama Papa, ya minta sesuatu dariku."

"Nah, kalimat terakhir itu bener. Hehehe."

"Ya udah, masuk dulu yuk biar enak ngobrolnya."

 Aku membantu membawakan koper Mama. Lalu Mama keliling ruang tamu. "Kontrkanmu enak juga ya. Ber-ac lagi."

"Ma, langsung aja deh bilang, Mama mau apa dariku sampe bela-belain ke Yogyakarta. Transferan bulanan kurang emang?" 

 10% gajiku memang rutin ditransfer ke Mama. Uang segitu nggak akan balas jasa Mama selama ini, tapi setidaknya cukuplah buat belanja online. Yup, Mama nggak jauh beda dariku. Sama-sama maniak belanja online. 

"Enak aja. Bukan soal duit."

"Lalu apa?"

"Jadi gini, dua hari lalu Mama arisan, salah salah member arisannya tuh songong banget pamer calon mantu PNS. Kan hati Mama jadi panas. Kamu dah punya pacar?"

Firasatku yang buruk akan jadi nyata. "Udah, Ma."

"Siapa? Orang mana? Profesinya apa? Minimal PNS atau dokter ya. Kalau nggak PNS, nggak Mama restui. Mending kamu Mama jodohin sama anak kades."

 Aku melotot. Mama apa-apaan sih, belum juga kegalauanku memilih antara Rean dan Mas Rizky beres, muncul yang baru. Mama ngebet minta mantu PNS. Nggak sengaja pandanganku ke jam dinding menempel di sudut ruang tamu. Ini waktu yang tepat untuk kabur dari Mama. 

 "Ma, mon maaf nih, udah jadwalnya ke kantor. Aku pamit kerja dulu ya. Nanti pulang kantor kita bahas lagi. Mama diem di rumah aja. Ini kunci serep dan kamarku. Semu bahan makanan ada di dapur. Kalau ada apa-apa telepon aku."

 ***

 Sebelum ke kantor, aku mampir dulu ke rumah Susan.

Tok ... Tok! 

 Susan membukakan pintu dengan baju dan rambut berantakan. Sambil menguap pula. Ini anak pasti baru bangun. Aku lupa, dia kan miss kalong. Tidurnya subuh bangun tengah hari. 

 "Ya ampun, ngapain lu pagi-pagi udah ke sini? Udah kangen aja ma gue?" 

 "GR. Gawat. Mama gue datang." Aku pun menceritakan permintaan Mama serta kegalauan hatiku tentang Rean atau Mas Rizky. 

 "Ya elah, gitu aja pakek galau. Kowe suruh aja Rean dan Mas Rizky datang ke rumah buat kenalan sama Mamamu. Biarin Mamamu yang milih mantu yang tepat. Ridho Allah terletak di ridhoborang tua, kan?" 

 Susan itu memberi sarannya enteng banget, tapi kok benar? Sialnya aku nggak kepikiran sama sekali. Otak penulis novel kriminal emang beda. 

 Aku bergegas ambil HP dan buka aplikasi WA. Ada banyak chat, aku abaikan dulu. Aku bikin Brodcast/siaran baru ke Mas Rizky dan Riant. Efek malas japri satu-satu. 

 Nanti malam bisa ke rumah? Mamaku datang dari Lampung. Beliau mau kenalan sama kamu.

 ***

 Di kantor aku nggak fokus. Otakku lagi-lagi tertuju sama dua cowok itu. Gimana kalau Mama nggak ada yang suka antara Mas Rizky atau Riant? Aku bakal tetap dijodohin sama anak kades dong? Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi. 

"Ranti, kamu bikin tiga cover hasil event Goceng season 3 ya. Requesan penulisnya orangnya itu polos backgroundnya batik warna hijau."

 Aku mendengar suara Pak Sahrial, tapi aku pikir dia lagi memerintah Helen atau Kak Suk. Makanya aku diem aja. 

 Tiba-tiba Pak Sahrial mengibaskan tangannya ke depan mataku. 

 "Hello, Ranti. Masih napas nggak?" 

 Aku kaget. "Loh, Pak Sahrial ngomong sama saya? Saya kira lagi nyuruh Helen atau Kak Sukma."

"Nggak. Saya lagi ngomong sama tembok. Ya sama kamulah." Nada Pak Sahrial sudah mulai meninggi. Aku hanya bisa menunduk. 

 "Lagi galau efek baru dilamar kali, Pak," celetuk Helen mengompor Pak Sahrial. 

 "Mau dilamar kek, mau putusan kek, saya nggak mau tahu. Yang penting cover kelar dalam waktu tiga jam."

"Baik, Pak. Bay the way, tadi Pak Sahrial nyuruh bikin cover apa ya?" 

 Mata Pak Sahrial melotot. "Nggak ada siaran ulang. Kamu tanya aja Helen atau Sukma, barangkali di antara mereka ada yang dengar ucapan saya tadi."

 Aku hanya bisa pasrah dan mengelus dada. Heran aku itu Pak Sahrial aslinya punya masalah apa sih? Ngegas mulu jadi orang.