Contents
Seribu Kesempatan
Part 4
Entah sudah berapa kali gue terus mengulangi hari, sampai kewaspadaan gue terus meningkat dan nggak pernah mati konyol lagi. Lagi pula kadang gue juga selalu ceroboh sehingga menyebabkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi malah terjadi. Terkadang gue juga merasa bosan dengan semua ini. Karena gue sudah hapal dan tau apa yang akan terjadi, kenapa gue nggak memanfaatkan hal itu untuk kesenangan aja? Gue coba melupakan semua masalah gue untuk sementara, siapa tau gue dapat petunjuk untuk memperbaiki kehidupan gue yang aneh ini. Nggak ada yang tau kan? Akhir-akhir ini gue lagi memperhatikan seorang Polisi dan petugas Bank yang sedang mengisi ulang uang ATM. Gue sudah memperhitungkan semuanya, pertama petugas bank datang untuk mengisi ulang uang ATM, lalu dikawal seorang polisi yang memegang senjata laras panjang. Tapi nggak lama, Polisi itu pergi. Gue ikuti Polisi itu untuk memastikan, ternyata dia masuk ke WC dan dia buang air cukup lama. Gue balik lagi ke ATM, si petugas itu terlihat masih sibuk membuka atm. Gue berpura-pura ingin narik uang dari ATM itu, “Mas, ATMnya bisa dipakai nggak?” tanya gue ke petugas bank. Ketika petugas bank itu menoleh, gue langsung hantam wajahnya dengan sikut gue. Petugas itu terkapar di lantai. Nggak pakai lama, gue langsung ambil semua uang yang ada di koper itu dan pergi dari lokasi.
Seorang anak SMA dengan uang ratusan juta, Untuk apa lagi kalau bukan memuaskan hobinya. Saat itu gue langsung ke sebuah dealer motor besar untuk membeli satu unit motor besar. Gue langsung bawa motor itu untuk keliling kota, dan yang pasti dengan kecepatan penuh. Mustahil kalau gue nggak kecelakaan, pasti gue kecelakaan dan mati, sudah beberapa kali juga gue mati di atas motor besar ini, tapi gue nggak kapok, gue terus kebut-kebutan naik motor ini sampai akhirnya gue merasa bosan dan hendak beristirahat di sebuah jembatan layang.
Gue menghentikan laju motor gue nggak jauh dari seorang ibu-ibu yang berdiri sendiri di jembatan layang. Aneh juga, ini Ibu-ibu ngapain di atas jembatan layang melamun, gue sih nggak peduli sama dia. Gue bakar sebatang rokok dan duduk santai melihat kendaraan yang lalu lalang. Kadang gue merasa kasihan melihat orang-orang itu, mereka melakukan hal yang repetitive setiap harinya tapi tidak pernah puas. Gue kadang bersyukur di saat gue terus mengulangi hari, gue bisa melakukan apapun yang gue mau, contohnya seperti saat ini.
Sebatang rokok sudah habis terbakar, gue membuang puntung rokok lalu mulai naik ke motor. Hal yang membuat gue terkejut adalah ibu-ibu itu masih berdiri di pinggir jalan layang, gue mulai curiga, sepertinya ada yang nggak beres sama dia. Gue masih memperhatikan dia sebentar, tiba-tiba ia naik ke pembatas jembatan seperti ingin loncat bunuh diri. Gue langsung turun dari motor dan menarik ibu itu. Gue dan Ibu itu terjatuh di trotoar. Ibu itu berkata bahwa ia adalah wanita terbodoh dan ceroboh yang tidak bisa menyelesaikan semua tanggung jawabnya dan ia memilih bunuh diri untuk menyelesaikan itu semua walaupun ia tau bahwa ini adalah sebuah kesia-siaan.
Gue tau kalau pikiran ibu ini lagi kacau, tapi entah gimana caranya gue harus menenangkan Ibu itu untuk tidak bunuh diri. Ketika ibu itu udah tenang, kita duduk bareng di pinggir trotoar, lalu gue mulai bercerita banyak tentang pengalaman yang sudah gue lewati, termasuk kejadian aneh gue ketika mengulang hari secara terus menerus. Ibu itu tersadar lalu berterimakasih kepada gue seakan-akan mendapatkan jawaban dari gue, padahal gue cuma cerita banyak ke dia tentang hal gila yang pernah gue lakuin, dan gue rasa cerita gue juga nggak penting-penting amat. Tapi gue senang bisa membantu dia. Ibu itu berdiri, lalu tiba-tiba berlari ke jalan raya untuk menabrakan dirinya, Gue udah yakin kalau pikiran ibu ini udah nggak beres, gue langsung mengejar Ibu itu untuk menyelamatkannya, eh tapi malah gue yang ketabrak mobil. Lagi-lagi gue bangun di kamar, masih memikirkan si ibu itu. Apa gue harus bantu ibu itu agar kehidupan gue kembali normal? Apakah gue harus berbuat baik dan membantu sesama?. Saat ini Gue mulai berpikir jernih.
Lalu hari ini gue putuskan untuk mulai minta maaf ke Mama dan Adel. Adel masuk ke kamar gue, seperti biasa ngoceh nggak jelas. “Del, gue minta maaf. Gue sebenernya nggak suka kalau lo pacaran sama pacar lo itu, karena gue khawatir sama lo, sebagai kakak, gue itu sayang banget sama lo. Tapi kalo itu membuat lo senang, gue seharusnya ikut senang juga. Gue minta maaf Del” ucap gue dengan serius. Adel tercengang, tidak percaya apa yang barusan gue katakan. Tiba-tiba aja Adel memeluk gue, sambil meneteskan air matanya. “Maafin Adel juga bang, selama ini Adel ngira Bang Gilang itu Abang paling jahat sedunia!” ucap Adel. Nggak lama, Mama masuk ke kamar, melihat Adel yang lagi menangis di pelukan gue.
“Adel.. kamu kenapa sayang?” tanya Mama. Adel belum bisa menjawab, tangisannya malah semakin pecah, karena ia sadar ternyata Mama sangat perhatian sama kita, hanya saja kita yang nggak pernah merasa seperti itu. “Ma.. Gilang juga mau minta maaf sama Mama, selama ini Gilang udah bikin Mama repot bolak-balik ke sekolah cuma untuk tanggung jawab semua perbuatan nakal Gilang di sekolah. Mulai saat ini Gilang berjanji untuk selalu berbuat baik sama Mama, Adel, teman-teman, bahkan guru di sekolah. Gilang menyesal Ma, Mungkin Gilang sedang tertimpa karma” Ucap gue dengan serius. Mama gue melihat gue, merasa tersentuh, lalu Mama memeluk gue sama Adel. Kali ini gue merasa dekat lagi dengan Mama dan Adel setelah sekian lama tidak ada obrolan serius. “Yang terpenting dalam hidup, setiap kita melakukan apapun itu, kita harus ikhlas. Jangan ada paksaan dalam menjalani hidup, dan kita juga harus bertanggung jawab atas semua hal yang kita perbuat” jelas Mama. Saat itu gue merasa ditampar dengan kata-kata Mama. Gue merasa diri gue itu nggak berguna, maka dari itu gue berbuat semau gue, karena nggak ada orang yang peduli juga sama gue. Tapi pikiran seperti itu ternyata salah. Gue masih punya Mama sama Adel, yang lebih perhatian sama gue.
“Kamu mandi dulu gih, udah hampir telat kamu.” Kata Mama. “Ma Adel berangkat dulu yaah” Adel pun mencium tangan Mama dan tangan gue, lalu dia langsung pergi sekolah. Gue ambil handuk dan buru-buru mandi, ketika gue masuk kamar mandi, gue terpeleset dan kepala gue terbentur lantai. Gue pikir semua udah normal, ternyata gue masih terbangun di kamar gue dan terus mengulangi hari. Entah apa lagi yang harus gue perbuat. Mungkin mulai saat ini gue hanya perlu menjalani hari dengan ikhlas, dan membantu banyak orang…
Bersambung