Contents
Jodoh Salah Alamat
Chapter III (Ranti Septiani)
"Ranti, cover Bukan Salah Jodoh tolong direvisi sedikit sesuai permintaan penulis. Dia minta bunga Sakura di bawah ini ditaruh di belakang dua gambar vektornya itu. Fontnya cari yang lebih manis dikit. Terus warna dasarnya lebih soft lagi. Deadline revisi satu jam dari sekarang ya," titah Pak Sahrial.
Sekarang kalian tahu kan betapa menyebalkannya Pak Sahrial dalam memberikan kerjaan dan deadline. Andai mencari kerja gampang, sudah lama mau keluar. Namun, tempat lain gajinya belum tentu sebagus di sini. Bisa atasan tempat lain lebih lucknut dari Pak Sahrial. Jadi ya disabar-sabarin dulu ajalah.
Pak Sahrial melambaikan tangan kanannya ke mataku. "Hello, masih napas nggak? Kok bengong? Kamu dengerin saya nggak sih?"
"Denger kok, Pak. Otak saya tadi lagi mencerna perintah revisian dari Pak Sahrial."
"Pokoknya saya nggak mau tau, revisian cover udah kudu kirim ke email saya, satu jam kemudian."
"Iya, Pak."
Pak Sahrial keluar dari ruangan. Aku mulai melototin photoshop.
Selang lima menit.
Tok... Tok... Tok
Pasti Pak Sahrial. Dia itu pelupa akut. Kalau menyuruh bikin cover atau minta revisi selalu kurang detail dan kelupaan bilang. Ujung-ujungnya balik ke ruanganku lagi.
"Apalagi, Pak? Ada yang ketinggalan nyuruh revisinya?"
"Maaf, saya bukan Bapak-bapak. Saya calon ibu anaknya Mas Ragiel. Hehehe." Terdengar suara cempreng dari seorang wanita.
Di kantor AT Press yang bersuara cempreng bak Arafah Rianti cuma satu. Sukma.
"Eh, maaf Kak Suk."
"Dek Ranti ini ada paket."
Telunjuk kiriku ke sembarang arah. "Taruh aja di meja sana. Aku lagi sibuk revisi cover nih."
"Oh, ya udah paket saya taruh di meja sini ya."
Satu jam kemudian.
Revisian cover telah selesai. Aku olahraga kecil merenggangkan otot-otot yang pegal. Lalu mengecek kembali cover. Barangkali masih ada tipo. Pepatah mengatakan 'Setitik nila rusak susu sebelanga' bagi dunia penerbitan pepatah itu berubah menjadi 'Setitik tipo ambyar revisian'
Setelah dirasa beres aku kirim ke surel Pak Sahrial. Mendadak ingat paket yang diberikan Sukma. Aku bangkit dari tempat duduk dan menuju meja.
Hah? Aku kaget paketnya besar banget. Aku merasa terakhir belanja itu beli novel terjemahan. Aku cek nama penerima benar nama Ranti. Namun, nggak ada pengirimnya.
Aku mencoba berpikir positif, mungkin dari keluarga atau teman yang telat kirim kado ulang tahunku. Rasa penasaran membuncah aku buka paketnya. Isinya teddy bear jumbo. Di tengahnya warna love pink bertuliskan 'I Love You'
Aku penasaran siapa pengirimnya. Nggak mungkin dari keluarga, teman apalagi Riant. Mereka tahu aku nggak suka boneka.
Akhirnya aku WA Mas Rizky.
Mas, salah alamat lagi ya kirim paketnya?
Mas Rizky kurir : Benar kok itu paket untuk Mbak Ranti.
Aku : Pengirimnya siapa?
Mas Rizky Kurir : Dari saya
Aku : Hah? Nggak salah nih kasih boneka ke saya? Why?
Mas Rizky kurir : Saya lagi di depan kantor AT Press, coba Mbak Ranti keluar. Saya akan kasih tau alasannya di luar.
Aku keluar dulu sambil bawa boneka. Benar ada Mas Rizky.
"Maaf saya lancang nih, saya ngasih boneka itu karena saya sudah lama memendam rasa ke Mbak Ranti. Baru sekarang berani memberikan sesuatu ke Mbak. Berhubung saya nggak tau Mbak sukanya apa, jadi saya belikan boneka aja. Mbak mau nggak jadi pacar saya? Kalau nggak mau pacaran, saya siap kok melamar Mbak Ranti bawa orang tua," cerocos Mas Rizky panjang x tinggi x lebar.
Aku melongo bak sapi ompong. Mimpi apa aku semalam? Nggak ada angin nggak ada hujan tahu-tahu hari ini ditembak kurir.
"Gimana, Mbak? Mau nggak?"
Aku menggaruk kepala nggak gatal. "E... Anu ... Saya bingung mesti jawab apa. Ini terlalu mendadak buat saya. Boleh minta waktu untuk menjawabnya?"
"Iya, nggak apa kalau nggak bisa jawab sekarang. Seribu tahun pun saya akan tunggu jawabannya. Kalau gitu saya permisi dulu. Mau lanjut antar paket."
"Ciyeeee ... Yang abis dilamar kurir manis."
Aku tersipu malu. "Au ah gelap. Aku mau lanjut kerja lagi."
***
Sepulang dari kantor, aku melihat Susan lagi di sebelah pagar. Dia habis buang sampah.
"Ciyeee ... bawa boneka. Dari siapa tuh? Nggak mungkin beli, kan? Aku tahu kowe nggak suka boneka."
"Dari Mas Rizky," ucapku malu-malu.
"Hah? Mas Rizky kurir manis kemarin itu?"
Aku mengangguk pelan. Lalu kuceritakan secara detail insiden penembakan Mas Rizky.
"Hah? Serius kowe dilamar kurir? Kalau aku nyambi nulis FTV bakal tak kasih judul 'Dilamar Kurir Manies.'"
Susan itu pekerjaannya penulis novel kriminal. Sejak kecil dia suka banget nonton Detektif Conan, terus bercita-cita jadi detektif. Berhubung nggak kesampaian, dia tuangkan semua impiannya dalam bentuk tulisan.
Aku menempelkan jari telunjuk ke hidung. "Sttt ... jangan keras-keras. Nanti semua tetangga pada denger."
"Yo wes, kita ngobrolnya di rumahmu aja."
Aku buka pagar. Lalu kami mengobrol di teras.
"Menurutmu gimana ya? Apa Mas Rizky aku tolak aja? Secara aku kan nggak kenal karakternya, keluarganya, bahkan aku aja masih pacarnya Riant."
"Eh, jangan. Siapa tau jodohmu sebenere emang Mas Rizky. Kalian pedekate aja dulu. Langkah pertama kowe tanya zodiac dia apa."
Alis kananku terangkat. "Kok larinya ke zodiac sih?"
"Soalnya dari zodiac bisa tahu karakternya dia."
Aku kali ini menurut saja sama Susan. Aku ambil HP dan WA Mas Rizky.
Aku : Mas, aku boleh nanya nggak? Zodiacmu apa?
Mas Rizky kurir : Scorpio. Lahir 21 November 1993. Kenapa?
Aku : Nggak. Nanya aja sih.
"Zodiac Mas Rizky Scorpio."
"Karakter cowok yang berzodiac Scorpio itu pintar, nggak mudah tertipu, susah jatuh cinta, pekerja keras, ambisius, fokus meraih impiannya, selalu curigaan, sosok yang tangguh."
"Terus cocok nggak sama gue yang berzodiac Virgo?"
"Cocok. Virgo akan belajar pentingnya toleransi dengan Scorpio. Terlebih, saat sikap kritisnya membuat Scorpio tertekan. Keduanya akan membentuk ikatan yang memuaskan karena mau bekerja sama. Meski tidak romantis, mereka bisa saling memahami untuk jangka panjang."
"Itu kan menurut zodiac. Kebenarannya masih diragukan."
"Kalau kowe masih tagu sama Mas Rizky, gelem ra tak bantuin nyari info soal Mas Rizky. Mumpung lagi gabut. Siapa tau pas menyelidiki Mas Rizky, aku muncul ide buat novel baru."
Wajahku berbinar mendengar tawaran Susan yang terakhir. "Itu baru temenku yang paling baik sedunia. Nggak sia-sia aku curhat karo kowe," ucapku sambil merangkul Susan.