Try new experience
with our app

INSTALL

Jodoh Salah Alamat 

Chapter VII (Ranti Septiani)

"Jadi selama ini kamu bermain sama Rizky di belakang aku?"


 

Rean apa-apaan sih tahu-tahu menuduhku aneh-aneh. "Kamu kalau nggak tahu apa-apa nggak usah asal nuduh deh. Asal kamu tahu ya, aku tu baru aja tahu kemarin bahwa Rizky cinta pertamaku. Sebenarnya aku dah lama mau putus sama kamu."


 

"Kamu mau mutusin aku karena udah ada Rizky, kan?"


 

"Bukan karena Rizky. Kamu yang berubah. Nggak sehagat dulu. Lama-lama cinta yang ada di hatiku memudar. Aku juga merasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku."


 

Belum sempat aku dengar jawaban dari Riant, Mas Rizky muncul dengan ekspresi murung. Aku jadi penasaran Mama menanyakan apa saja ke dia?


 

"Bro, sekarang giliran lu yang masuk. Semoga gagal deh." Mas Rizky mengembalikan ucapan Riant tadi.

Lima belas menit aku menunggu, Riant keluar dengan memancarkan ekspresi percaya diri yang tinggi.


 

"Mama nanya apa aja sama kamu?"


 

"Biasalah. Pertanyaan calon mertua. Aku pulang dulu ya. Salam ke mamamu dan ditunggu keputusannya.

Selepas kepulangan dua cowok itu, aku masuk ke rumah menanyakan langsung k Mama.


 

"Ma, tadi Mama nanya apa aja ke mereka berdua?"


 

"Eh, Ranti. Sini duduk. Mama mau bicara sama kamu."


 

Aku duduk di sebelah Mama.

"Mama bangga deh sama kamu karena diperebutkan dua cowok. Tapi setelah Mama ngobrol sama mereka berdua, kayaknya Mama lebih suka sama Gusti Riant deh. Dia baru lulus jadi PNS. Masa depanmu akan lebih cerah sampai tua kalau Riant."


 

Aku terdiam. Sejak kapan dia jadi PNS? Kok nggak pernah cerita? Apa selama berbulan-bulan ini dia nggak memperhatikan aku karena fokus CPNS? Aduh, jadi merasa bersalah padanya.


 

"Oh, iya, Ran bilang ke Riant ke rumah lagi bawa orang tua buat lamaran resmi. Terserah mau di Yogyakarta atau Lampung lamarannya."


 

Aku menutup wajah frutrasi. Bagaimana mungkin aku mengatakan itu? Jika aku melakukannya, artinya aku menyakiti hati Mas Rizky.


 

***


 

Bawel, Mamaku dah ngasih keputusan. Dia memilih kamu untuk jadi menantunya. Kamu disuruh ke rumah lagi bawa ortu buat lamaran resmi.


 

Sent ke Gusti Riant.

 

Selama pacaran lima tahunan, kami nggak pernah manggil sayang, honey, ayang, beb, apalagi Papa Mama, Ayah Bunda, Mimi Pipi. Kata Riant sih geli kayak anak ABG. Riant seumuran sama Mas Rizky. Namun, aku lebih nyaman manggil 'bawel' karena kebawelan Riant di atas rata-rata. Emak-emak aja kalah.


 

Sejak mengirimkan chat ke Riant, hatiku tambah galau. Nggak bisa tidur. Harusnya aku bahagia karena Mama memilih Riant jadi menantunya, itu artinya aku nggak jadi dijodohkan dengan anak kades. Namun, entah kenapa hatiku merasa ada yang janggal dan berat untuk menikah dengan Riant.


 

Mendadak aku ingin curhat ke Susan. Siapa tahu dia menemukan solusi atas kegalauan hatiku. Aku WA dia dulu. Takut ganggu dia mengetik novel.

 

San, kowe sibuk nggak?

Susan : kenapa? Mau curhat again?

Aku : Hehehe. Tau aja. Bisa?

Susan : Ya udah, kita ke Malioboro aja. Aku mau cari angin dan makan mendadak lapar.


 

Aku menyambar jaket dan siap keluar rumah. Untung Mama sudah tidur. Jadi aman dari kekepoan beliau.

Rumahku itu Gg. Satrowijayan. Jalan kaki bentar aja sudah sampai di Malioboro. Susan sudah nangkring di wedangan. Aku menghampirinya.


 

Susan mesan wedhang ronde dan sego kucinng lauk tempe kering pedas. Aku jadi ikutan mesan itu.


 

"Mau curhat opo?"


 

"Mamaku lebih memilih Riant jadi menantunya."


 

"Wah, bagus dong. Itu artinya kowe ra sido dijodohin karo anake kades." Susan menoleh ke arahku lalu mengambil kerupuk. "Terus kenapa ketoke kowe ra bahagia?"


 

Aku bingung dia kok bisa tahu. Menang ketara banget wajahku nggak bahagia?


 

"Entah kenapa hatiku merasa ada yang janggal dan berat untuk menikah dengan Riant."


 

"Hmmm... Kayaknya aku tahu nih arah pembicaraan selanjutnya. Pasti kamu minta aku buat nyelidiki Riant, kan?"


 

Njir, belum diutarakan eh dia sudah tahu duluan isi pikiran. "Kowe emang punya baat cenayang yo, San?"


 

"Aku tu ndak cenayang. Cuma kita udah berteman terlalu lama. Jadi jalan pikiranmu udah ketebak kayak sinetron. Wes, kowe tenang wae pasti tak bantuin," ucapnya sebelum memasukkan nasi kucing ke mulut.


 

Aku memeluk Susan erat. "Makasih ya. Kowe emang sohib paling the best."


 

Ting!


 

Muncul balasan WA Riant.


 

Maaf baru bales. Baru pulang kerja. Alhamdulillah. Bilang ke mamamu makasih udah milih aku jadi menantunya. Minggu depan insyaallah aku ke rumahmu lagi bawa ortu buat lamaran resmi.


 

***


 

Hari lamaran tiba. Orang tua Riant sudah datang dari Tanjungpinang Kepulauan Riau. Sayang, papaku yang nggak bisa datang karena lagi di Malaysia dan terjebak lockdown.


 

Agak kecewa aslinya padahal aku ingin pendapat langsung ke Papa tentang Riant. Penilaian Papa lebih objektif daripada Mama yang hanya dari satu arah saja. Materi. Padahal namanya kebahagiaan pernikahan itu nggak melulu dihitung dari materi.


 

Aku tersenyum manis dengan mengenakan kebaya warna toska. Segera kucium tangan kedua orang tua Riant.


 

"Ya ampun, Riant. Kamu ternyata pinter cari calon istri. Sudah cantik, sopan pula anaknya."


 

Pipiku memerah dipuji seperti itu. "Makasih, Tante."


 

"Mulai sekarang panggil Mama aja."


 

"Daripada bertele-tele langsung saja kita tentukan tanggal baik dan tempat pernikahan Riant dan Ranti."


 

"Saya tuh sebenernya mau pernikahan mereka itu meriah. Secara Riant anak tunggal kami. Tapi mau gimana lagi pandemi gini. Iya kan, Pa."


 

"Gimana kalau akad aja dulu? Akhir bulan Desember. Cukup kan ya persiapan sederhanya."


 

"Kalau saya sih tergantung Riant dan Nak Ranti."


 

Aku bisa mendengar pembicaraan mereka. Namun, aku hanya diam. Pikiranku tertuju ke Mas Rizky dan Susan. Ah, kenapa Susan sampai sekarang belum memberikan laporan hasil penyelidikan Riant?


 

Mama menyenggol tanganku. Seketika tersadar dari lamunan.


 

"Nak Ranti kok melamun? Kamu nampak memikirkan sesuatu atau seperti nggak bahagia menikah dengan Riant. Ada apa?" tanya Mama Riant.


 

"Maaf, Ma. Bukan gitu. Aku bahagia kok menikah dengan Mas Riant. Kan kami sudah lima tahun pacaran. Aku lagi kurang enak badan sama lagi sariawan aja." Aku beralasan.


 

"Gimana setuju nggak akad nikahan kalian dua minggu lagi?" tanya Mamaku.


 

"Soal tanggal aku serahkan ke Mas Riant dan kalian saja."


 

Berhubung Riant akan jadi suamiku, mulai sekarang aku membiasakan diri memanggil dia dengan sebutan 'Mas'.