Try new experience
with our app

INSTALL

Symphony Cinta Masa Lalu 

Kenangan Yang Masih Kembali Hidup

“Ma.. mama kenal pianist namanya Ranendra?” pertanyaan putriku ini membuatku tersedak ketika sedang menyantap makan malam kami.
“Mama kenapa?” tanyanya sembari aku meminum segelas air putih.
“Gak apa-apa sayang. Tadi kamu sebut siapa? Ranendra?” tanyaku kemudian untuk meyakinkan telingaku tidak salah dengar.
“Iya ma, Ranendra. Tadi dia yang isi seminar ternyata. Jago banget ma main pianonya.” Kata-kata putriku ini perlahan memelan sampai tidak ada suara yang terdengar. Aku begitu shock mendengar nama itu. Ranendra? Dia kembali?

  Pagi hari yang cerah, aku masih belum bisa mencerna atau lebih tepatnya tidak percaya apa yang dikatakan putriku semalam. Setelah 22 tahun ia pergi tanpa kabar dan berjanji akan kembali setelah semuanya selesai, mengapa baru sekarang?
 

“Mama antar kamu ke kampus ya..” kataku pada Bella yang terdiam sejenak menatapku heran.
“Tumben ma, ada apa?” jawabnya.
“Gak apa-apa cuma lagi mau antar kamu aja.” Jawabku santai berusaha menutupi apa yang sedang aku pikirkan.
 

  Gedung itu masih sama, setiap sudut sisinya menyimpan banyak kenangan. Aku menyusuri gedung itu sampai langkahku terhenti ketika alunan musik itu terngiang ditelingaku. Berat kakiku melangkah ke ruangan itu, namun harus ku pastikan apakah dia ada disana namun ternyata ruangan itu kosong. Air mata hampir jatuh di pipiku, melihat kembali kenangan yang kami buat di dalam ruangan itu.
 

  Tangaku menghampiri piano yang ada disana, membelainya dengan lembut agar bisa merasakan kehangatan yang tidak pernah terlupakan. Lalu aku mendengar langkah kaki mendekatiku. Langkah kaki yang sepertinya ku kenal, namun berat tubuhku menoleh. Aku tidak siap kalau itu bukan dia, harapanku terlalu besar.
 

“Lerina?” panggilnya menyebut namaku dengan suaranya yang berat. Tubuhku lemas, hampir terjatuh namun aku lebih memilih menoleh untuk memastikan siapa yang menyebut namaku.
 

  Dia yang ada di ambang pintu, menatapku dalam dengan senyum penuh rasa penyesalan. Dia yang hanya bisa ku rindukan. Dia yang selama ini ku tunggu. Dia yang mulai melangkah agar bisa dekat denganku, lalu meraih tanganku.
 

“Maafkan aku, Lerina.” Katanya yang membuatku tidak bisa lagi menahan air mata yang daritadi sudah ingin jatuh.
“Aku merindukanmu.” Katanya kemudian memelukku dengan erat, aku hanya bisa diam menerima perlakuannya. Ingin rasanya aku memberontak dan menghujaninya dengan banyak pertanyaan tapi aku tidak bisa. Aku juga merindukannya.

 

-THE END-