Try new experience
with our app

INSTALL

Sebotol Anggur Untuk Kekasihku 

Kisah Dari Grand Theater

   Sudah sore hari aku baru siuman dari pingsanku di samping rel tempat aku dan teman-teman sering berkumpul. Aku bangun dan tanganku terasa sakit. Aku kira, aku akan dihakimi masa karena perkataanku di bis namun ternyata penumpang malah memujiku karena aksiku berhasil menggagalkan copet itu. Aku heran padahal maksudku tadi memang akan membantu pencopet itu namun karena aku terbawa suasana konser jadi suaraku terlalu kencang dan membuat aku gagal mendapat persenan dari pencopet tersebut. Pape datang dengan membawa sekantong plastik penuh makanan dan minuman. 


   “Nih minum, tanganmu sudah di obati tadi. Untung tadi penumpang tidak mengeroyok kau gara-gara omonganmu di bis tadi.” Ucap Pape seperti menggerutu, Aku hanya tersenyum lalu aku teringat malam ini aku mau ajak Jenny ke Bioskop.
“Oh ya Pe, Aku pinjam uangmu dulu hasil ngamen tadi.” Sambil tanganku kuacungkan ke arah Pape.
“Buat apaan?” Tanya Pape penuh selidik.
“Ini malam, sebelum bulan purnama muncul aku akan ajak Jenny ke bioskop.” Ucapku semangat.


  Pape geleng-geleng mendengar ucapanku, “Jim, belum jadi orang sukses saja kau sudah kebanyakan mimpi. Hati-hati kau Jim, bisa diabetes kalau kau banyak bermimpi!” Tukasnya mengejek. “Duitku saja, gak cukup untuk bayarin kau ke bisokop Mall Atrium itu.” 
“Heh, Pala Peyang. Aku mau ke Grand Theater di pertigaan bukan ke Atrium.” Jawabku kesal.


  Memang benar, di kawasan Senen ada dua bioskop terkenal yang mewakili zamannya, adalah Grand Theater di depan Pasar Raya Senen dan bioskop jaringan XXI yang berada di dalam Mall Atrium tepat di seberang Grand Theater. Akibat persaingan Grand Theater yang pada masanya adalah primadona bagi masyarakat kelas atas harus banting setir sebagai bioskop esek-esek. Kebanyakan penonton Grand Theater adalah pekerja kelas bawah dan pedagang kecil di pasar Senen, mengingat tarifnya sangat murah hanya lima ribu sampai delapan ribu rupiah, tergantung film yang diputar. Selain para pekerja kelas bawah dan pedagang kecil ada pula sekumpulan laki-laki hidung belang yang menjadi fans fanatik dari Grand Theater mereka berkumpul bersama beberapa waria dan pekerja seks komersial.


  Aku bersiap, setelah mendapatkan pinjaman uang dari Pape sebesar sepuluh ribu rupiah ditambah dengan uang hasil konserku tadi siang kurasa cukup dan kini terkumpul sebanyak dua puluh ribu lima ratus perak.  Aku memakai baju terbaikku yang kudapat dari pemberian teman, baju dengan motif kotak dan terbuat dari bahan flanel berwarna merah. Aku menunggu Jenny di pertigaan dekat Pasar Raya Senen. Jenny bekerja sebagai pemandu karaoke di perusahaan jasa menyanyi bernama Dajjal Production atau lebih populer dengan istilah Dangdut Jalanan Production. Perusahaan ini menganut sistem nomaden dan selalu berpindah tempat setiap jam dan menitnya, sebuah konsep perusahaan yang mutakhir. 


  Pertemuanku dengan Jenny bermula saat aku masih kecil, kira-kira umurku sekitar tujuh tahun saat itu. Ibuku meninggalkanku di Stasiun Senen sendirian. Ibuku merasa malu karena telah melahirkanku. Hidup di Jakarta memang tidak cukup dengan sebuah keberanian saja, kita juga harus memiliki tekad yang kuat, ditambah sedikit kecerdikan untuk menyiasati segalanya. Dengan statusnya sebagai perantau saja sudah membuat Ibuku susah untuk makan. Apalagi harus merawatku, seorang anak yang mengingatkannya kepada lelaki yang telah membuatnya menyesal untuk diajak tidur. Aku tidak marah kepada Ibu tapi aku mengutuk kepada tindakannya itu yang tega meninggalkanku sendirian di tempat orang-orang yang tak kukenali sama sekali. Disaat kekalutanku, Jenny kecil dengan murah hati mendatangiku, dia mengulurkan tangannya dan memberikanku air dalam kemasan untuk kuminum. Saat itu aku hanya melihat uluran tangannya, kuberanikan sedikit melihat wajahnya lalu kutatap dalam-dalam aku melihat bayangan kasih Ibuku di matanya dan hamparan kebaikan yang tak ternilai. Dengan lesung pipitnya Jenny tersenyum kepadaku. Semua kemurunganku akibat ditinggal Ibu sirna, kini aku berubah menjadi seorang periang dan pemimpi itu semua karena Jenny. “Jimbot…” Sebuah suara mengagetkanku. Aku langsung tersadar dia adalah Jenny karena hanya dia yang memanggiku seperti itu. Aku menoleh kutebarkan senyum dari bibirku. Jenny langsung menghambur dari seberang jalan, klakson mobil terdengar bersahutan memarahi Jenny yang sembarang lewat. Seketika Jenny memelukku dengan erat. Kuciumi dia beberapa saat. Satu hal yang paling kusuka dari Jenny dia adalah anak yang periang dan tidak pernah terlihat sedih kecuali satu hal saat Ayahnya meninggal karena tertabrak kereta saat memulung.
“Kita mau nonton apa Jim?” Tanya Jenny antusias.
“Film China kali ini, tadi aku sudah tanya Bandi.” Sambil kutunjukan tiket tepat di depan muka Jenny.
Dengan senyum sumringah Jenny menjawab, “Pasti akan seru.”


  Aku hanya mengangguk lalu kami bergegas ke Grand dengan jalan kaki karena memang jaraknya tidak begitu jauh hanya beberapa meter. Masuk ke Grand tidak seperti ke bioskop di Atrium, pelataran Grand penuh dengan debu dan mobil rusak terparkir dengan tidak rapi. Menurutku, yang unik dari Grand adalah tangga menuju lantai dua. Sepanjang anak tangga dipenuhi oleh pekerja seks komersial duduk menunggu para penonton yang ingin menggunakan jasa mereka. Beberapa kukenal diantaranya, Windy alias Winarsih, Siska alias Sumiati, Aiko alias Ikom, dan yang terakhir pasti kalian tau namanya dia adalah Mawar alias Maesaroh gadis impian Pape.


  “Jimmy dan Jenny kalian memang pasangan favoritku. Romantis banget.” Ucap Mawar alias Maesaroh dengan semangat. Jenny dan Mawar memang berkawan dekat, mereka mengobrol sebentar aku menunggu di atas. 


  “Mae, dicariin sama Pape.” Ucapku mengejek. Wajah Maesaroh langsung kecut kesal “Please deh Jim, jangan sebut-sebut Pape di depanku.” Aku tertawa lalu mengajak Jenny ke atas karena film sudah mau mulai. Di depan pintu masuk pemeriksaan tiket Bandi berdiri untuk memeriksa tiket, sebenarnya yang dilakukan Bandi hanya formalitas saja. Bandi menyapaku dan memberikanku bonus sebuah pisang rebus dan kacang.  Jika di XXI kalian biasa menonton dengan popcorn dan soft drink, maka di Grand kalian akan menikmati teh hangat dan pisang rebus atau kacang rebus, sangat merakyat bukan. Aku memberikan dua puluh ribu kepada Bandi untuk tiket dan makanannya. Di dalam bioskop tidak jauh lebih baik jika di Bioskop konvensional seperti XXI kalian akan disambut dengan udara yang dingin dan bau wangi ruangan lalu ada karpet beserta lampu neon kecil mengiringi langkah kaki kalian. Di Grand Theater sama persis cuma bedanya baunya tercipta dari bau pesing bekas kencing pengunjung karena tak jauh dari pintu masuk adalah toilet, lantainya tidak dilapisi karpet dan untuk masuk, kalian harus menggunakan lampu penerang tersendiri atau kalian akan dapat bantuan cahaya dari proyektor yang menyinari layar.


  Film mulai diputar, keadaan mulai sunyi hanya terdengar suara proyektor yang mirip seperti suara mesin jahit. Ini yang aku suka dari Grand theater, semuanya serba asli dan lawas. Kalian akan menemukan sensasi di mana ditengah asik menonton film ruangan akan tiba-tiba menjadi gelap gulita karena projeksionisnya akan mengganti roll film terlebih dahulu beberapa menit, Itulah seninya. Pengalaman menonton seperti ini yang kalian tidak akan dapatkan di bioskop konvensional. Film yang kami tonton sudah berjalan setengah, suara lenguhan dan desahan sudah mulai terdengar dari sekeliling orang di belakang kami dan depan kami. Namanya juga bioskop esek-esek wajar saja jika seperti itu.  Sedangkan aku dan Jenny, kami tetap fokus menonton dengan sesekali kulancarkan ciuman mautku untuk membuat suasana semakin menarik. Film yang kami tonton menceritakan seorang pengawal kerajaan yang jatuh cinta kepada seorang dan rela mati untuknya, belakangan terkuak bahwa putri tersebut adalah orang yang menjadi penolong masa kecil pengawal saat terjatuh di jurang. Sungguh romantis cinta mereka, tentunya sepanjang film adegan panas selalu hadir untuk menjadi bumbu.


  Setelah menonton sekitar satu jam setengah akhirnya film selesai dan kami keluar. Begitu juga penonton lain yang sudah tersalurkan nafsunya, kini mereka bersiap melihat purnama bersama orang-orang yang sudah memadati Senen. Suara kerumunan masyarakat dan deru mesin terdengar bersahutan hingga ke lantai dua bioskop, aku dan Jenny turun untuk melihat situasi. Sesampainya di bawah aku melihat polisi sudah memasang barikade di perbatasan kawasan Senen. Dari kerumunan itu terlihat orang-orang dengan pakaian piyama sutra yang pasti datang dari kawasan Menteng atau bahkan datang dari Pantai Indah Kapuk sebuah kawasan yang dulu tempat jin buang anak dan penuh rawa kali ini menjadi kawasan penuh orang kaya. Malam ini Senen akan menjadi primadona, semua orang pasti berharap ingin menjadi warga Senen. Ingin jadi pemimpi. “pletak…” Tiba-tiba terdengar suara pentungan polisi mengenai seorang warga yang berniat menerobos, sontak membuat barisan yang tadinya rapi menjadi berantakan.